Sejarah Pertumbuhan dan PerkembanganTasawuf |
Istilah tasawuf dimasa Nabi SAW tidak ada, demikian pula dimasa para sahabat Nabi SAW dan tabi’in belum ada istilah itu.
Istilah tasawuf itu muncul setelah banyaknya buku-buku pengetahuan yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan sebenarnya istilah ini berasal dari kata Sufia (Sophia), dalam istilah bahasa Arab berarti kelompok ahli ibadat untuk menyatukan batinnya hanya kepada Allah semata, sebab tujuan semata untuk mengadakan hubungan dengan yang Maha Benar. (Haqiqatul Haqaiq).
Dalam masalah ini belum ada seorang pun pengkaji masalah tasawuf yang sampai dalam batasan ilmiah untuk mengetahui tokoh sufi pertama dalam Islam dan siapa yang meletakkan batu pertama bagi pemikiran tasawuf ini.
Tasawuf merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, baik dalam segi wacana, perilaku, maupun akidah.
Tasawuf terjadi pada setiap umat dan agama-agama, khususnya Brahmana Hinduisme, filsafat Iluminasi Yunani, Majusi Persia, dan Nasrani Awal.
Lalu pemikiran itu menyelinap ke dalam pemikiran Islam melalui zindik Majusi. Kemudian menemukan jalannya dalam realitas umat Islam dan berkembang hingga mencapai tujuan akhirnya, disusun kitab-kitab referensinya, dan telah diletakkan dasar - dasar dan kaidah-kaidahnya pada abad ke-empat dan kelima Hijriyah.
Beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi munculnya sufisme di kalangan umat Islam, apakah teori ini benar atau salah susah untuk dibuktikan.
Walaupun begitu, tanpa pengaruh dari luar pun sufisme bisa timbul dalam Islam.
Perlu diketahui, menurut pendapat lain tasawuf itu mulai berkembang sekitar akhir abad ke-2 Hijriyah/ke-8 Masehi.
Tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru muncul setelah masa sahabat dan tabi’in.
Nabi SAW dan para sahabat pada hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya.
Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada masa sahabat dan tabi’in.
Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnya tasawuf.
Ilmu Tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain.
Di masa awalnya, embrio tasawuf ada dalam bentuk perilaku tertentu.
Ketika kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal paska Nabi dan sahabat, ketika itu pula kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani.
Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke-2 Hijriyah.
Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang Kasyf al-Dzunnun, orang yang pertama kali diberi julukan al-sufi adalah Abu Hasyim al-sufi (wafat 150 H).
Dalam sejarahnya, bahwa dakwah Nabi di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Kemudian Nabi melakukan tahannus di gua Hiro sebelum turunnya wahyu pertama.
Kegiatan ini dalam rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Dalam proses ini Rasulullah melakukan riyadhah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia.
Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut jiwa Rasulullah SAW telah mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga benar-benar siap menerima wahyu melalui Malaikat Jibril.
Dengan memperhatikan praktek-praktek Nabi SAW di atas menunjukkan Islam merupakan agama yang memiliki akar tradisi spiritual yang tinggi.
Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan.
Pertama periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial.
Periode ini berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in.
Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk kemudian mereka mencoba menjalani hidup zuhud.
Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Bashri (110 H.) dengan konsep khouf dan Robi’ah al-Adawiyah (185 H.) dengan konsep cinta (al-Hubb).
Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru.
Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam.
Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan budi pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antar keduanya.
Dalam hal ini kemudian muncul tema-tema seperti ma’rifat, fana’, dzauk, dan lain sebagainya.
Tasawuf mulai berkembang dan menjadi suatu disiplin ilmu yang berbeda dengan fikih, tafsir, hadits, dan kalam.
Para tokoh pada masa ini diantaranya Imam al-Qusyairi, Suhrawardi al-Baghdadi, Al-Hallaj, dan Imam Ghazali.
Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru.
Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi.
Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf, Sunni dengan coraknya amali dan Falsafi dengan corak iluminatifnya.
Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi al-Maqtul (549 H.), Ibnu ’Arabi (638 H.), dan Ibnu Faridh (632 H.)
Jika dilacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan dapat ditemukan pembenarnya.
Meski secara tersurat istilah zuhud tidak terdapat dalam Al-Qur’an (kecuali satu tempat, itupun bukan dalam konteks tasawuf). Namun banyak sekali ayat-ayat yang secara tersirat mengindikasikan hal itu.
Dalam pandangan Islam, zuhud bukanlah upaya untuk memusuhi dunia materi dan harta. Zuhud dalam Islam tidak seperti istilah kependetaan dalam Yahudi dan Kristen. Zuhud bukanlah ’uzlah yang dalam artian menjauh dari hiruk pikuk bumi dan berada dalam kesendirian serta tidak menghiraukan kehidupan sosial.
Melihat pada praktek zuhud yang terjadi pada dua abad pertama, orisinalitas konsep itu benar-benar dapat dirasakan.
Seperti sahabat Usman bin ’Affan dan Abdurrahman bin ’Auf adalah sebagai teladannya.
Dengan kekayaan, kedudukan dan kemewahan yang dimilikinya mereka tetap dianggap sebagai zahid dalam pengertian yang sebenarnya menurut Islam.
Dalam hal ini, Islam benar-benar memiliki konsep zuhud yang murni, tanpa harus dicurigai bahwa konsep zuhud terdapat penyusupan - penyusupan pengaruh dari luar Islam.
Pertumbuhannya tasawuf terus berkembang seiring dengan meluasnya wilayah Islam yang sebelumnya mungkin sudah mempunyai pemikiran-pemikiran mistik, seperti pengaruh filsafat Yunani, Persi, India, atau pun yang lainnya.
Dalam perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat dibedakan dalam beberapa periode, yaitu:
Pertama, perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Masa ini menyangkut perkembangan tasawuf pada dekade sahabat yang dipelopori oleh Abu Bakar Shiddiq (w. 13 H.), Umar bin Khaththab (w. 23 H.), Usman bin ’Affan (w.35 H.), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H.), Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Huzaidah bin al-Yaman, dan Miqdad bin Aswad.
Dalam dekade ini juga termasuk pada masa tabi’in; tokoh-tokohnya adalah Hasan Bashri (22– 110 H.), Rabi’ah al-Adawiyah (96– 185 H.), Sufyan ats-Tsauri (97– 161 H.), Daud ath-Thaiy (w. 165 H.), dan Syaqiq al-Bulkhi (w. 194 H.).
Tasawuf yang berkembang pada abad ini pengamalannya mencontoh kehidupan Rasulullah SAW.
Hidup mencerminkan kesederhanaan, banyak berdzikir, syukur, shalat tahajjud, sabar, ridha, qana’ah, dan zuhud.
Hidup dengan lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, sehingga tasawuf yang muncul pada abad ini disebut fase asketisme (zuhud).
Lihat Amsal Bakhtiar,Tasawuf dan Gerakan Tarekat, Bandung: Angkasa, 2003), cet. I, h. 9.
Kedua, perkembangan tasawuf pada abad ketiga dan ke-empat Hijriyah.
Tokoh-tokoh yang terkenal pada abad ketiga adalah Abu Sulaiman ad-Darani (w. 215 H.), Ahmad bin al-Hawary ad-Damasyqi (w. 230 H.), Dzun al-Mishri (155– 245 H.), Abu Yazid al-Butamy (w. 261 H.), Junaid al-Baghdadi (w. 298 H.), dan Al-Hallaj (lahir 244 H.).
Sedangkan pada abad ke-empat Hijriyah para pengembangnya adalah Musa al-Anshari (w. 320 H.), Abu Hamid bin Muhammad ar-Rubazy (w. 322 H.), Abu Zaid al-Adami (w. 314 H.), dan Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab as-Saqafi (w. 328 H.).
Ketiga, perkembangan tasawuf abad kelima Hijriyah ditandai dengan sosok Imam Ghazali yang mengkompromikan para ulama Fiqih dengan ajaran tasawuf yang berpaham syi’ah.
Imam Malik menyatakan bahwa, barang siapa bertasawuf tanpa mempelajari Fiqih sungguh ia berlaku zindik (lahirnya iman, batinnya tidak); dan barang siapa berFiqih dengan tidak bertasawuf, maka ia dapat menjadi Fasiq (bermaksiat); dan barang siapa yang mengamalkan keduanya, itulah yang ahli hakikat.
Lihat Ahmad bin Muhammad bin Ujaibah al-Hasani,Iqadz al-Himam fi Syarh al-Hikam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 6-7.
Ke-empat, perkembangan tasawuf pada abad ke-enam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah.
Pada abad ke-enam Hijriyah sufi yang terkenal adalah Suhrawardi al-Maqtul (w. 587 H.), dan Al-Ghaznawi (w. 545 H.).
Pada abad ketujuh yang berpengaruh adaalah Unzar Ibnul Faridh (576– 632 H.), Ibnu Sab’in (613– 667 H.), dan Jalaluddin ar-Rumi (604– 672 H.).
Pada abad kedelapan Hijriyah yang muncul adalah pengarang kitab Tasawuf, yaitu Al-Kisany (w. 739 H.), dan Abdul Karim al-Jily dengan karyanya Al-Insan al-Kamil.
Kelima, perkembangan tasawuf pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriyah serta masa berikutnya.
Pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriyah nasibnya kurang menguntungkan karena dianggap sudah kehilangan kepercayaan masyarakat (penyimpangan ajaran Islam).
Namun ajaran tasawuf tidak hilang begitu saja. Ini terbukti masih adanya ahli tasawuf yang memunculkan ajarannya dengan mengarang kitab dan mendirikan tarekat yang berisikan ajaran-ajaran tasawuf, antara lain :
1. Abdul Wahhab asy-Sya’rani (898– 973 H.). Karyanya berjudul Al Lathaa-iful Minan (Ketulusan Hati).
2. Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar at-Tijani (1150-1230 H.). Ia mendirikan tarekat Tijaniyah.
3. Sidi Muhammad bin Ali as-Sanusy (lahir 1206 H.). beliau adalah pendiri tarekat Sanusiyah.
4. Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1322 H.) seorang penulis kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalah ’Allamil Ghuyub dan termasuk pengikut tarekat Naqsabandiyah.
Blog : Surau Tingga || Judul : Sejarah Pertumbuhan dan PerkembanganTasawuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar