Membahas Teori Pemikiran Wahdatul Wujud


Membahas Teori Pemikiran Wahdatul Wujud
Membahas Teori Pemikiran Wahdatul Wujud
Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filsafat. 

Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. 

Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab’in yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. 

Ada lagi yang ekstrem yang menyatakan bahwa seluruh yang berwujud selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari asma’ dan sifat-sifat tuhan. 

Namun Mulla Sadra melihat bahwa Yang Ada Sebagai Yang Ada meskipun Satu, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang nama Yang Ada. 

Sifat Yang Ada-nya Tuhan Mutlak, sementara yang ada lain hanya bersifat Yang Ada Dalam Kemungkinan. 

Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. Yang Harus Ada berbeda dengan Yang Mungkin Ada. 

Teori wahdatul wujud sebagai teori tentang Yang Ada menekankan pada Kesatuan Yang Ada yang hadir pada segala sesuatu. 

Tuhan Memiliki Sifat Yang Ada, begitu juga dengan manusia, benda - benda mati. 

Apakah Yang Ada setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru ada karena adanya yang lain. 

Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara Yang Ada-Nya Tuhan dengan yang Ada selain-Nya? 

Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa Yang Ada itu Satu, sementara di dunia Yang Ada kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. 

Lalu berapa jumlah Yang Ada?

Persoalan itu dalam metafisika dikenal dengan istilah problem antara yang satu dan yang banyak. 

Pertama, ada yang disebut dengan istilah composite existence dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. 

Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka yang adanya pasti akan terbatas. 

Akhirnya, secara teologis, konsep Yang Ada dari Mulla Sadra di atas mengajak kita memahami makna the Ultimate Reality di mana Ada-Nya Tuhan memiliki sifat partikular juga menyatu dalam maknanya yang sangat unik. 

Meskipun wahdatul wujud atau Yang Ada Itu Menyatu namun tidak terjebak pada teori panteisme, karena yang ada entitas-entitas selain-Nya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Allah : 
“aku lebih dekat denganmu daripada dirimu sendiri.”(QS. 50:16)
Manusia yang berbalut nafsu (nuruti rahsaning karep) sesungguhnya masih menjadi yang ada individual, belum menjadi manusia esensial yang kekal abadi. 

Agar manusia menjadi sejatinya manusia yang hidup dan bukan sekedar bangkai, maka harus beranjak dari Yang Ada Individual menjadi Kesatuan Yang Ada (wahdatul wujud). 

Namun demikian untuk menjadi wahdatul wujud tidak serta merta bagai membalikkan tangan, mengubah pola pikir (mind set) dan sekedar kenyang syari’at saja. 

Ada beberapa tahap yang harus dilalui manusia meraih jati diri sebagai Kesatuan Yang Ada (insan kamil mukamil).

Tahapannya dari syari’at menuju thariqat, kemudian haqiqat, dan selanjutnya ma’rifat.

Ada dua dalil dalam membuktikan ke-Wahdatul Wujud-an Tuhan ini. 

Kita perhatikan paparan berikut:

Dalil Pertama 

Salah Satu Sifat Tuhan adalah Wujud/Ada. Kalau ditanyakan, Adanya Tuhan itu apakah terbatas ataukah tidak terbatas? 

Kita pasti mengatakan tidak terbatas. 

Maka dengan demikian, karena Adanya Tuhan tidak terbatas, maka tidak mungkin ada tempat, ruang, derajat, posisi, dan lain-lain yang kosong yang bisa ditempati oleh derajat lain selain Tuhan. 

Sehingga dikatakan ia ada dan ia bukan Tuhan. Salah satu contoh sederhana:

”Kalau ada air tidak terhingga ditempat lain lalu di tangan saya ada air cuma sesendok dan dikatakan bahwa air sesendok ini bukanlah air yang tak terhingga itu. 

Pertanyaannya, apakah air yang tak terhingga itu tetap tidak terhinggakah? 

Tentu saja tidak! 

Sekalipun sangat banyak dan kita tidak dapat mengetahuinya, ia tetaplah terhingga. 

Alasannya adalah karena ada air lain lagi yang sedikit, sesendok, yang bukan merupakan air tak terhingga itu.

Jadi kalau ada keberadaan lain selain Tuhan biar kecil, biar papah, biar lemah, dst. kalau dia bukan Tuhan maka Tuhan menjadi terbatas. 

Argumentasi ini kan jelas. Adanya Tuhan Tak Terbatas. 

Ketika Tuhan Tidak terbatas. maka tidak mungkin ada tempat, ruang, derajat kosong yang ditempati wujud lain selain Tuhan.”

Dalil kedua 

Pertama, setiap keberadaan terbatas seperti manusia, hewan, pohon, atom, neutron, bumi, matahari, bintang, dan lain-lain. 

Sebenarnya memiliki dua unsur yaitu Eksistensi/Ada dan Esensinya/ Batasannya. 

Contoh Adanya pohon dan batasannya pohon. 

Kedua, esensi/Batasan satu sama lain adalah berbeda. 

Esensi pohon berarti ia bukan manusia, kambing, gunung, dan lain-lain. 

Tapi Eksistensi/Adanya, sepertinya Adanya manusia, Adanya kambing, Adanya gunung, Ada yang dipakai dimana-mana adalah sama dari sisi makna yaitu Ada itu sendiri. 

Makna ini di dalam Filsafat disebut Musytarakun Maknawi 

Ketiga, alasan Ada/Wujud cuma memiliki satu makna. 

Penjelasananya sebagai berikut. 

Ada lawannya adalah Tiada. 
Tiada itu jumlahnya satu saja. 
Tak mungkin Tiada ada dua. 
Karena kalau Tiada ada dua, maka ada Tiada A dan ada Tiada B. 

Dengan demikian berarti ada perbedaan diantara Tiada A dan Tiada B. 

Bagaimana bisa kita mengatakan perbedaan atau ciri diantara A dan B sedangkan yang dibedakan itu Tiada? 

Karena ada perbedaan maka haruslah yang dibedakan pun harus Ada. 

Dengan demikian maka kesimpulan kita bahwa mustahil Tiada itu dua atau banyak. 

Nah, Tiada yang satu ini lawannya adalah Ada. 
Karena Tiada itu satu dan lawan dari Ada, berarti Ada itu juga satu. 

Mungkin akan timbul pertanyaan, “Mengapa Ada harus satu bukan dua atau tiga? 

Kenapa Tiada yang satu, sebagaimana yang telah kita buktikan diatas bahwa Tiada hanyalah satu, tidak boleh berlawanan dengan Ada yang dua?” 

Karena kalau Ada A dan Ada B lawannya pun haruslah Tiada A dan Tiada B. 

Kalau kita contohkan A adalah Pohon dan B adalah Gunung, maka lawan dari Ada Pohon haruslah ke-Tiada-an Pohon. 

Lalu, karena Tiada cuma satu, apakah bisa Ada Gunung lawannya juga adalah Tiada Pohon? 

Tidak bisa! 
Lawannya Ada Gunung haruslah Tiada Gunung. 
Karena masing-masing mempunyai ciri yang berbeda. 

Adanya Pohon lawannya ketiadaan Pohon, adanya Gunung lawannya ketiadaan Gunung. 

Dengan demikian maka tidak mungkin lawannya Tiada yang satu adalah Ada yang berbeda-beda. 

Perbedaan yang kita saksikan sehari-hari itu adalah Esesnsi/Batasan bukan Eksistensinya. 

Ke-empat, Ada tidak bisa “disentuh” oleh Esensi. 

Alasannya karena Ada yang di Pohon bisa dipakai di Bumi. Kalau Ada “disentuh” oleh Esensi Pohon maka Ada itu tidak bisa dipakai oleh Bumi. 

Maka haruslah yang Ada hanyalah Pohon selainnya Tiada. 

Artinya Ada itu bisa dipakai dimana-mana Manusia Ada, Gunung Ada, Pohon Ada, Gunung Ada dan lain-lain. 

Dengan demikian yang namanya Eksistensi hanyalah satu, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Inilah yang disebut Wahdatul Wujud.

Dengan semua penjelasan di atas, siapa yang harus Ada? Tuhan atau kita? 

Sudah pasti jawabannya Tuhan. Karena keberadaan hanyalah satu maka itulah Tuhan. 

Perdebatan yang menanyakan kalau yang Ada hanyalah Tuhan lalu kita ini apa? Pohon ini apa? 

Jawabannya jelas bahwa kita adalah Esensi, Pohon adalah Esensi bukan Eksistensi. 

Lalu posisinya sebagai apa? 

Dalam Filsafat Esensi/batasan adalah Non-Ada dan Non-Tiada. 

Contoh Esensi adalah Manusia. Ia tidak bisa dibilang Ada atau Tiada. Karena kalau Manusia Ada maka ia selalu Ada ia tidak boleh Tiada. 

Karena selalu Ada maka tidak ada sebabnya. Seperti Tuhan tak ada sebabnya. Ia tak boleh mati karena setelah mati ia Tiada. Tiada pun tidak bisa menjadi zat dari Manusia. 

Karena dengan begitu manusia tidak boleh Ada. Padahal kenyataannya kita dapat menginderanya. 

Dengan demikian Manusia disebut Mumkinul Wujud (Wujud Yang Mungkin). Yaitu Wujud yang dua daruratnya tiada, Darurat Ada dan Darurat Tiada.

Dengan demikian maka Manusia tidak bisa dikatakan Ada. Artinya Ada-nya Manusia bukan bagian dari Esensi Manusia. 

Jadi Ada itu hanyalah satu. Apakah ia di Manusia, Pohon, Gunung, atau di mana pun, yang namanya Ada hanyalah satu. Inilah yang disebut Wahdatul Wujud.

Apapun yang kita lihat bukanlah Ada, tapi tanpa itu semua kita tidak dapat mengenali Ada. 

Tanpa Pohon kita tak dapat mengenal Ada, tanpa Gunung kita tak dapat mengenal Ada. Dengan melihat Pohon, Gunung, Matahari, Bulan, dll kita mengatakan Ada. 

Tapi karena kita terhijabi hatinya, karena belum melakukan Suluk, maka yang Nampak adalah Pohonnya bukan Ada-nya. 

Dengan Pohon minimal kita dapat mengetahui bahwa Ada itu ada sekalipun tidak dapat dilihat. 

Dengan demikian fungsinya Pohon adalah memberitahukan kepada kita tentang Ada. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan argumentasi di atas bahwa Ada itu hanyalah Satu saja tidak lebih. 

Itu pun tidak bisa dikenali, hanya dapat dirasakan. 
Artinya dapat dikenali tapi tidak secara langsung yaitu melalui ayat-ayatnya, melalui wajah - wajahnya. 

Sama seperti wajah kita. Kalau kita melihat seseorang lalu hanya memperhatikan matanya, berarti kita tidak berhadapan dengan orang tersebut tapi berhadapan dengan matanya saja. 

Tapi kalau kita melihat wajahnya lalu yang diperhatikan adalah dia, maka wajahnya dijadikan tumpuan untuk memperhatikan orang itu. Dengan demikian

Pohon, Gunung, Matahari, dan lain-lain hanyalah tumpuan untuk memperhatikan Ada itu. 

Tapi karena kita ter-hijab-i maka Ada tidak nampak pohonnya yang nampak. 

Adanya tidak nampak tapi Nangka yang nampak. 

Makanya arah kehidupan kita tidak mengarah ke Tuhan tapi ke mana-mana. 

Dengan demikian kalau ditanya, kalau Ada itu hanyalah Tuhan maka kita ini apa? 

Sudah jelas bahwa kita ini cerita tentang Tuhan. Bahwa kita ini tiada, cuma Tuhan yang Ada. 

Sebutan alam ini dalam Al-Qur’an sebagai “Bayang-bayang”, 

Allah SWT berfirman: 
“Apakah kamu tidak memperhatikan Tuhanmu, bagaimana Dia membentangkan bayang-bayang.” QS. Al-Furqan [25]: 45.
Yang dimaksud sebagai bayang-bayang di sini. Apakah bayang-bayang itu Ada atau Tiada? 

Definisi Bayang-bayang adalah, “Ketiadaan Cahaya”. 

Berarti ia Tiada. Tapi kalau mau dibilang Tiada ia bisa kita lihat, berarti Ada. 

Tapi kalau dibilang Ada ia adalah ketiadaan. Nah, alam ini juga begitu. 

Kalau mau Pohon dibilang Ada tidak mungkin, sebagaimana penjelasan di atas tentang Esensi, karena yang Ada hanya Tuhan. Tapi kalau mau dibilang Tiada ia bisa dilihat. 

Jadilah kita ini, menurut AlQur’an, adalah bayang-bayang. Nama lain bayang-bayang adalah Manifestasi Ada, Cerita Ada, Tajalli Ada. Itu merupakan logika pemikiran. 

Pembahasan tentang wahdatul wujud erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. 

Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. 

Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik. 

Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam. 

Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). 

Ke-empat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.

Dalam memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, 
untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif kontemplatif
dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi. 

Bentuk penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman.

Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. 

Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. 

Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. 

Penyebutan keterpisahan ini sebagai ‘yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq altsani) yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. 

Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memeroleh visi tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya.

Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang. 

Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. 

Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan serapan manusia. 

Istilah keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada‘manusia’ sebelum dia menjadi manusia.

Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. 

Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. 

Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau di luar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas. 

Mereka mengakui Realitas di luar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan.

Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian berkembang dalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. 

Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni kuiditas yang secara ontologis merupakan substansi-nya dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. 

Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.

Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah Al-Qur’an, tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal, pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. 

Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai pensifatan esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan dan pembatasan-pembatasan dari Eksistensi yang mencakup semua menjadi bentuk-bentuk partikular. 

Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda dalam tindakan perluasan dan penyusutan berkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ‘Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas.

Konsep wahdatul wujud dalam Islam dapat dilacak dasar - dasarnya dalam Al-Quran yang berpengaruh terhadap setiap aspek kehidupan Muslim.

Paham Wahdatul Wujud sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat didalam al-Qur’an. 

Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa manusia dapat bersatu dengan tuhannya, seperti pada ayat berikut: 
" Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” QS. 50:16. “
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. 
Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” 
Yang dimaksud ’Disitulah wajah Allah’ adalah; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah. 
" Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” QS. 55:26-27. 
Dalam keterangan lain disebutkan,
 “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. 
Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa Wahdatul Wujud (penyatuan dengan Tuhan) dapat disimpulkan pada hakikatnya tidak ada pemisah antara manusia dengan Tuhan.

Dengan memperhatikan pembahasan diatas, dapat disebutkan bahwasanya yang berhak mempunyai wujud hanya Allah SWT Yang Maha Tunggal, selain Allah dianggap tidak ada dan sifatnya bayangan saja. 

Pemahaman ini kemudian memunculkan tentang konsep insan kamil. 

Insan kamil merupakan manusia pilihan Tuhan yang mempunyai derajat tertinggi dalam pandangan Yang Maha Tunggal.

Blog : Surau Tingga || Judul : Membahas Teori Pemikiran Wahdatul Wujud


Tidak ada komentar:

Posting Komentar