Memahami Konsep Al-Hulul Al-Hallaj


Memahami Konsep Al-Hulul Al-Hallaj
Memahami Konsep Al-Hulul Al-Hallaj

Al-Hulul. Hulul berasal dari kata halla-yahillu-hulul, mengandung makna menempati, tinggal di, atau bertempat di.

Sedangkan dalam makna istilah hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh - tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat (bersemayam) di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Paham tentang Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu Lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). 

Al-Hallaj bernama asli Abu al-Mughis al-Husain ibnu Mansur ibnu Muhammad al Baidhawi. 

Beliau lahir pada tahun 244 H, atau 858 M, di al-Tur di dekat sebuah desa bernama al-Baida (Persia). 

Dia diberi gelar al-Hallaj karena pekerjaannya memang sebagai penenun. 

Tuhan pun, menurut al-Hallaj, mempunyai sifat kemanusiaan di samping sifat ke-Tuhan-annya. 

Dengan dasar Nasut dan Lahut itulah maka persatuan antara manusia dan Tuhan bisa saja terjadi. 

Dan persatuan inilah dalam ajaran al-Hallaj dinamakan al-hulul (mengambil tempat).

Menurut hemat penulis, pemahaman ini nampaknya ada hubungan dengan tafsiran dalam ayat :
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” QS. 50:16.
Paham al-Hallaj tersebut didasari dengan konsep penciptaan Adam. 

Menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan makhluk-Nya, Dia hanya melihat diri-Nya sendiri. 

Dalam kesendirian-Nya itulah terjadi dialog antara Dia dengan diri-Nya sendiri, dialog yang di dalamnya tidak ada kata-kata atau pun huruf. 

Yang dilihatnya hanya kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya. Dan Dia pun cinta terhadap Zat-Nya itu. 

Cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta ini yang menjadi sebab dari segala yang ada (makhluk-Nya). 

Kemudian Dia pun mengeluarkan dari yang tiada berbentuk dari diri-Nya dan bentuk itu adalah seorang Adam. 

Maka dalam diri Nabi Adam Tuhan muncul dalam bentuk-Nya. 

Sehingga pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan. 

Pemahaman tentang manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya, didasarkan pada interpretasi firman Allah dalam ayat berikut ini :
"Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. 
Menurut penafsiran dalam versi al-Hallaj, ayat ini dipandang sebagai perintah kepada para Malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam AS, karena pada diri Nabi Adam AS Allah bersemayam atau menjelma sebagaimana halnya dalam diri Isa AS.

Dalam pandangan itu berbeda penafsirannya dengan pemahaman ulama salafi, karena yang dimaksud sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

Oleh karena itu pemikiran tentang hulul ini merupakan hasil pengalaman dan kajian (ijtihad) seorang al-Hallaj yang pada akhirnya memunculkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. 

Bahkan dia sempat dibunuh. Dalam sebuah keterangan, golongan yang menolak itulah yang berusaha untuk membunuhnya.

Untuk pertama kalinya dia masuk kota Mekkah pada tahun 897 M., al-Hallaj mencoba mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. 

Namun setelah dia menemukan jalannya sendiri dan disampaikannya kepada orang lain, justru dia dianggap gila, malah diancam oleh penguasa Mekkah untuk dibunuh. 

Oleh karena itu dia meninggalkan Mekkah setelah bermukim di kota ini sekitar setahun, dan kembali ke Baghdad. 

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. 

Pandangan tasawuf yang agak ganjil dan nyeleneh menyebabkan seorang ulama fikih bernama Ibnu Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pemahaman al-Hallaj.

Dengan sebab itu al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. 

Namun satu tahun dipenjara dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sipir penjara. 

Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus (wilayah di Ahwaz). 

Setelah bersembunyi empat tahun lamanya di kota Sus dan tetap pada pendiriannya, ia akhirnya ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama delapan tahun. 

Akhirnya pada tahun 309 H. (921 M.) diadakan persidangan ulama di bawah pengawasan Bani Abbas, Khalifah al-Mu’tashim Billah. 

Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H. (921 M.) al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. 

Ia dihukum bunuh dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib sesudah dipotong kedua tangan dan kakinya, lehernya dipenggal dan dibiarkan tergantung di gerbang kota Baghdad. 

Kemudian dibakar dan abunya dibuang di sungai Tigris.

Menurut al-Hallaj untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dalam bentuk hulul, maka sufi terlebih dahulu harus menghilangkan nasut-nya melalui fana

Jika sifat-sifat kemanusiaan telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan (lahut) dalam diri manusia, maka pada saat itulah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu pula roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia (sufi). 

Perlu dicatat, pemahaman ini bukan bermaksud pengakuan al-Hallaj menjadi Tuhan. 

Sebab dalam sya’irnya dirinya mengatakan:
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar Yang Maha Benar bukanlah Aku, Aku hanya satu dari yang Benar, Maka bedakanlah antara kami.”
Dalam sya’ir ini, al-Hallaj dengan jelas mengatakan bahwa dirinya bukanlah Yang Maha Benar (Tuhan). 

Adapun perkataan ”Ana al-Haqq” (saya adalah Tuhan Yang Haqq) harus dipahami sebagai kata-kata yang keluar dari seorang sufi dalam keadaan fana dan tidak sadar karena sedang mabuk bercinta dengan Tuhan; dan ini dianggap sebagai kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj.

Dalam analisis Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh M. Alfatih, bahwa harus dibedakan persatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam ittihad, dengan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui hulu

Dalam persatuan melalui hulul ini, al-Hallaj dirinya tak hancur. Dan dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. 

Dengan kata lain, kalau dalam ittihad, yang dilihat oleh Abu Yazid al-Busthomi  hanya satu wujud yaitu Tuhan, sedangkan dalam hulul-nya al-Hallaj ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih Tuhan untuk ditempati. 

Di sisi lain nampaknya antara hulul dan ittihad ada kemiripan dalam hal penyatuan diri hamba (manusia) denganTuhan-nya.

Blog : Surau Tingga || Judul : Memahami Konsep Al-Hulul Al-Hallaj


Tidak ada komentar:

Posting Komentar