Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fikih dan Psikologi Agama


Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fikih dan Psikologi Agama

Memadukan antara tasawuf, Ilmu Kalam, filsafat, fiqih, dan Ilmu Kalam sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan merupakan dengan tujuan pemahaman terhadap masalah keagamaan dapat dipahami dan dimengerti secara utuh. 

Sehingga hal itu bisa mengimplementasikan makna-makna yang terkandung dalam ajaran tasawuf dan memberikan  penjelasan secara tepat terhadap istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahpahaman seperti zuhud, hubbuddunya (cinta dunia) dan lain-lainnya serta memberikan interpretasi baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip nilai Ilahiyah yang lurus.

a. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam 

Nama lain dari Ilmu Kalam adalah Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Aqidah; di dalamnya dibicarakan tentang persoalan - persoalan kalam Tuhan, dengan diiringi dasar-dasar argumentasi aqliyah dan naqliyah. 

Penjelasan materi-materi yang tercakup dalam Ilmu Kalam nampaknya tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). 

Sebagai contoh, Ilmu Tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha Berbicara), Iradah (Maha Berkehendak), Qudrah (Maha Kuasa), Hayat (Maha Hidup) dan sebagainya. Namun, Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah SWT mendengar dan melihatnya? 

Bagaimanakah pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an? dan Bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari Qudrah (Kekuasaan) Allah SWT? 

Pertanyaan-pertanyaan di atas sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada Ilmu Tauhid atau Ilmu kalam. 

Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah Ilmu Tasawuf. 

Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. 

Sementara pada Ilmu Tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, sebagaimana dijelaskan pula tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. 

Dalam kaitan antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf keduanya mempunyai fungsi sebagai berikut: 

Pertama, sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq dan wijdan) terhadap Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati dan teraplikasikan dalam prilaku. 

Dengan demikian, Ilmu Tasawuf merupakan penyempurna Ilmu Tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa Ilmu Tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari Ilmu Tauhid. 

Kedua, berfungsi sebagai pengendali Ilmu Tasawuf. Jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka itu merupakan penyimpangan dan harus ditolak. 

Ketiga,berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, Ilmu Kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. 

Di sinilah Ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga Ilmu Kalam tidak terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).

b. Hubungan Tasawuf dengan Filsafat

Filsafat landasan pemikirannya dengan logika, sedangkan tasawuf landasannya dengan hati sanubari. 

Dalam filsafat penuh dengan tanda tanya. Apa, bagaimana, dari mana, dan apa sebab? Sedangkan dalam tasawuf tidak mempertanyakan. 

Sehingga orang yang tidak memasuki alam tasawuf dengan sendirinya tidaklah akan turut merasa apa yang mereka rasakan (dalam keyakinan pemikirannya). 

Bahkan bagi kaum sufi, kuasa perasaan itu lebih tinggi dari kuasa kata-kata. Mereka tidak tunduk kepada susunan huruf dan bunyi suara. 

Bukankah kata-kata itu hanya dapat menunjukkan sebagian saja dari makna yang dimaksud? 

Dengan filsafat orang mengetahui makna pemahamannya.

Oleh karena itu, menjadi tinggi martabat tasawuf kalau diiringi dengan pengetahuan dan mempunyai keahlian berfilsafat. 

Dalam hal ini sebagai figurnya adalah Imam Ghazali, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Sehingga menjadi kacau dan rancu kalau tasawuf dimiliki oleh orang yang tidak mempunyai dasar ilmu pengetahuan. 

Dengan demikian jelas hubungan tasawuf dan filsafat sangat berkaitan. 

c. Hubungan Tasawuf dengan Fiqih 

Ilmu Fiqih berkaitan dengan amalan syari’at, sedangkan tasawuf berkaitan dengan batiniyah. 

Dengan syari’at kita dapat taat menuruti peraturan-peraturan Tuhan (agama). Dengan tasawuf kita dapat merasakan dalam batin kita dan mengenal Tuhan, untuk siapa dipersembahkan amal ibadah kita, dan sebagai pengawas jiwa untuk khusyu kepada-Nya. 

Tasawuf selain sebagai naluri manusia, maka ia juga merupakan olah batin serta olah rasa (dzauq) untuk semata-mata mencapai keridhoan Tuhan.

Dikarenakan kaum fiqih semata-mata berfikir, dan kaum sufi mengutamakan rasa terkadang bersebrangan. 

Maka ada kemungkinan terjadi pertentangan, karena berbeda latar belakang pemikirannya. Padahal para pemimpin tasawuf yang besar dan dalam pemahamannya memandang bahwasanya gabungan antara ilmu batin dengan ibadat yang lahir itu adalah puncak kebahagiaan dari tasawuf. 

Tasawuf adalah pakaian hati di dalam melaksanakan amal ibadat, rukun, dan syari’at. Dan pada puncaknya seorang ahli tasawuf yang sejati menjunjung tinggi syari’at dan menurutinya dengan tidak banyak tanya. Demikian juga para ulama fiqih berusaha untuk mengimplementasikannya sesuai dengan syari’at.

Di samping kaum fiqih menyelidiki ayat dan hadits untuk mengetahui suatu hukum, mereka pun menyelidiki ayat dan hadits untuk mengetahui rahasia kebatinan yang terkandung di dalamnya. 

Berkat yakinnya dan kebersihan jiwanya, mendaratlah dia dalam lapangannya, sebagaimana yang didapati oleh ahli tasawuf dalam lain lapangannya pula.

Kaum fiqih menyelidiki sanad riwayat tentang sembahyang sunnat misalnya. Dia menyatakan pendapat bahwasanya sembahyang sunnat yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi SAW) adalah sekian raka’at. 

Ada sholat sunnat Qabliyah dan ada Ba’diyah, ada sembahyang qiyamullail, dan ada sholat sunnat dhuha, dan yang lainnya dengan raka’atnya tertentu. 

Tetapi kaum sufi ada yang shalat sunnatnya yang mencapai raka’at sehari semalam. 

Junaid al-Baghdadi mewirid-kan shalat sunnat 400 raka’at sehari semalam. 

Dalam hal ini masing - masing pihak harus ada tasamuh(saling menghargai dan menghormati).

d. Hubungan Tasawuf dengan Psikologi Agama 

Psikologi agama mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya dalam penelaahan kajian empiris.

Dalam hubungan ini, ternyata agama terbukti mempunyai peranan penting dalam perawatan jiwa. Oleh karenanya metode yang digunakan dalam penelitian Ilmu Jiwa agama tidak berbeda dengan metode ilmiyah yang dipakai oleh cabang-cabang Ilmu Jiwa agama.

Ketika seseorang dalam perilaku kehidupan keberagamaannya baik dan sesuai dengan ketentuan nilai-nilai Ilahiyah, maka ada kemungkinan dalam tingkat spiritual keagamaannya tinggi. 

Inilah hasil dari implementasi dan aplikasi ke-tasawuf-annya. Dalam hal ini kejiwaan seseorang berpengaruh besar dalam kehidupan spiritual dan tingkah laku dalam pergaulannya. 

Berarti antara kesufian dan psikologi agama sangat berkaitan. Dan bukan hal yang tidak mungkin para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa.

Sering kali datang kepada syekh sufi, orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan, kemudian mereka mendapat wejangan yang mengarah pada hidup santun, perhatian, dan kemudian timbul perasaan tenang, damai, dan merasa aman. 

YaIni menunjukkan kaitan tasawuf dengan unsur kejiwaan karena dalam substansi pembahasannya tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia.

Hubungan ini tentunya dalam implementasi ilmu jiwa yang dimaksud adalah sentuhan-sentuhan rohani keislaman. 

Para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia yang mengarah dalam inti kehidupan manusia pada unsur spiritual atau kejiwaannya. 

Dalam pandangan sufi juga disebutkan, bahwa akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. 

Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu - nafsu hewani atau nabati, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. 

Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah perilaku insani.

Memang harus diakui, jiwa manusia terkadang sakit. Dalam hal ini, seseorang tidak akan sehat jiwanya secara sempurna kalau tidak melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. 

Jiwa manusia juga membutuhkan perilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat memilikinya tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.

Dalam kaitan ini berarti sangat diperlukan latihan-latihan kejiwaan dalam bentuk riyadhoh dan mujahadah menuju spiritual yang maksimal. 

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhannya maka dia akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman. 

Sehingga akan berpengaruh pada sikap dan tindak - tanduknya dalam kehidupan. Perilaku kehidupan keagamaan seseorang itu dipengaruhi dari jiwanya yang mengarah pada kebaikan atau keburukan. 

Dengan demikian sangat jelaslah keterkaitan tasawuf dengan psikologi agama (Ilmu Jiwa Agama). 

Blog : Surau Tingga || Judul : Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fikih dan Psikologi Agama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar