A. Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata ”tashowwafayatashowwafu- tashowwuf” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol (suuf), walaupun pada prakteknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol.
Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka.
Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya.
Bahkan ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al-Shuffah, yaitu para shahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW).
Menurut Dr. Mir. Valiudin bahwa, jika istilah sufi berasal dari kata shafa (suci/bersih) maka bentuk yang tepat seharusnya safawi dan bukan sufi. Tapi bila istilah sufi mengacu kepada shaff (baris pertama/terdepan) maka seharusnya shaffi bukan sufi. Namun bila istilah sufi merupakan turunan dari ash-hab al-Shuffah maka bentuk yang benar seharusnya suuffii bukan sufi. Lihat Mir Valiudin, Tasawuf dalam Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. II, h. 1-2.
Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT.
Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintah - perintah) Allah SWT.
Beberapa penulis mengira bahwa ada hubungan antara tasawuf dan zuhud. Oleh karenanya, setiap orang yang diketahui hidup zuhud dan mengonsentrasikan diri pada Allah dinisbatkan kepada tasawuf, seperti Fadhl bin Iyadh, Abdullah bin Mubarak, Ibrahim bin Adham, dan ahli-ahli zuhud lainnya seperti mereka.
Pada kenyataannya, ada pendapat lain yang membedakan antara zuhud dan tasawuf.
Zuhud di dunia adalah sebuah keutamaan dan amalan yang disyari’atkan dan disunnahkan, serta merupakan akhlak para Nabi, wali, dan hamba-hamba yang shalih yang mengutamakan apa yang disisi Allah di atas kenikmatan duniawi dan keterlenaan pada yang mubah.
Sedangkan tasawuf adalah konsep yang berbeda, karena jika seorang sufi mantap dalam kesufiannya, maka zuhud baginya adalah sesuatu yang tidak bermakna.
Ia terkadang membutuhkan zuhud pada permulaan tarikat sufistik, yang pada akhirnya ia harus mencela apa yang dibebankan padanya.
Dalam sebuah hadits disebutkan :“Izhad fiddun-ya yuhibbukallahu waz-had fii maa aydinnaasi yuhibbukannaas”. (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.
Dalam hal ini pokok-pokok ajarannya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang didiskusikan dengan para sahabatnya tentang apa-apa yang diperolehnya dari Malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman, Islam, dan ihsan.
Tiga segi ajaran ini sesuai dengan petunjuk hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Untuk mengetahui iman/rukun iman pelajarilah Ilmu Ushuluddin, untuk mengetahui Islam/rukun Islam pelajari Ilmu Fiqih, dan untuk mengetahui ihsan pelajari Ilmu Tasawuf. Lihat K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), cet. II, h. 4.
Ketiga sendi ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf .
B. Ruang Lingkup Kandungan Tasawuf
Ilmu tasawuf yang pada dasarnya bila dipelajari secara esensial mengandung empat unsur, yaitu:
1) Metaphisica, yaitu hal-hal yang di luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghoib.
Di dalam Ilmu Tasawuf banyak dibicarakan tentang masalah-masalah keimanan tentang unsur- unsur akhirat, dan cinta seorang sufi terhadap Tuhannya.
2) Ethica, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang baik dan buruk dengan melihat pada amaliah manusia.
Dalam Ilmu Tasawuf banyak sekali unsur - unsur etika, dan ajaran-ajaran akhlak (hablumminallah dan hablumminannas).
3) Psikologia, yaitu masalah yang berhubungan dengan jiwa.
Psikologi dalam pandangan tasawuf sangat berbeda dengan psikologi modern.
Psikologi modern ditujukan dalam menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni jiwa orang lain yang diselidikinya.
Sedangkan psikologi tasawuf memfokuskan penyelidikan terhadap diri sendiri, yakni diarahkan terhadap penyadaran diri sendiri dan menyadari kelemahan dan kekurangan dirinya untuk kemudian memperbaiki menuju kesempurnaan nilai pribadi yang mulia.
4) Aesthetica, yaitu ilmu keindahan yang menimbulkan seni.
Untuk meresapkan seni dalam diri, haruslah ada keindahan dalam diri sendiri. Sedangkan puncak keindahan itu adalah cinta.
Jalan yang ditempuh untuk mencapai keindahan menurut ajaran tasawuf adalah tafakur, merenung hikmah - hikmah ciptaan Allah.
Dengan begitu akan tersentuh kebesaran Allah dengan banyak memuji dan berdzikir kehadirat-Nya.
Oleh karena itu, dengan senantiasa bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah, maka akan membuahkan pengenalan terhadap Allah (ma’rifat billah) yang merupakan keni’matan bagi ahli sufi.
Hal ini bersumber pada mahabbah, rindu, ridho melalui tafakkur, dan amal-amal shalih.
Menurut analisa Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad, MA., bahwa obyek pembicaraan Ilmu Tasawuf itu meliputi tentang akal dan ma’rifat kemudian membahas mengenai hati dan riyadhah (latihan dalam spiritual).
Adapun status Ilmu Tasawuf yaitu menuntun sesuai dengan petunjuk, dan membuang apa yang tidak sesuai dengan tuntunan yang berlaku. Kemudian sekuat tenaga menuju ke jalan Ilahi.
C. Tujuan Mempelajari Ilmu Tasawuf dan Aplikasinya dalam Kehidupan
Esensi tasawuf bermuara pada hidup zuhud (tidak mementingkan kemewahan duniawi).
Tujuan hal ini dalam rangka dapat berhubungan langsung dengan Tuhan, dengan perasaan benar - benar berada di hadirat Tuhan.
Para sufi menganggap ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal (mahdhoh) belum merasa cukup karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dalam pandangan Sayyid Nur bin Sayyid Ali bahwasanya sufisme diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil.
2) Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3) Mengisi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4) Menggapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
5) Menstabilkan akidah persahabatan ketuhanan (shuhbah Ilahiyyah), dengan maksud Allah SWT melihat hamba-hambaNya dengan meliputi mereka dari segala arah ilmu, kekuasaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya.
Menggapai kekuatan iman yang dahulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah SAW, menyebarkan ilmu-ilmu syari’at dan meniupkan roh kehidupan kepadanya.
Mampu mengembalikan kepemimpinan mendunia secara global kepangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi, serta dapat menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada dari alienasi dan kehancuran.
Dengan mengimplementasikan nilai-nilai tasawuf secara benar, maka dapat memperkokoh keimanan, mencapai derajat ihsan, menyucikan jiwa (tazkiyatunnafs) dan memperbaiki hati (ishkahulqalb), sehingga memudahkan seseorang beriman menta’ati Allah dan Rasul-Nya SAW. Lihat Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa, (Surabaya: Karya Agung, 2008), cet.I, h. 36-37.
Oleh karena itu, bagi ahli tasawuf tidak mempunyai tujuan lain dalam ber-taqarrub kepada Allah SWT kecuali dengan tujuan untuk mencapai ”ma’rifat billah” yakni mengenal Allah dengan sebenar - benarnya dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasi diri dengan Allah SWT.
Bagi para sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah.
Dengan ma’rifatullah akan melahirkan malu berbuat maksiat karena Allah, cinta kepada Allah karena mengharap ridha-Nya, dan rindu (sabilurroja’) kepada-Nya.
Blog : Surau Tingga || Judul : Ilmu Tasawuf, Makna, Ruang lingkup dan Tujuannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar