Tentang Insan Kamil


Insan Kamil

Insan Kamil. Insan Kamil berasal dari gabungan dua kata bahasa Arab, insan dan kamil. Insan berarti manusia, kamil berarti sempurna.

Jadi secara bahasa insan kamil mengandung makna manusia sempurna (Perfect Man), yakni manusia yang dekat (qarib dengan Allah) dan terbina potensi ruhaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal. 

Inilah manusia seutuhnya yang mempunyai ketinggian derajat di hadapan Tuhannya, sehingga mencapai tingkat kesempurnaan tauhid dan akhlak mulia. 

Manusia sempurna (insan kamil) menurut Abdul Karim al-Jilli (wafat 1428 M.) sebagaimana dikutip oleh A. Mustofa, adalah manusia cerminan Tuhan atau manusia kopi Tuhan. 

Dengan kata lain manusia yang sudah mengenal eksistensi dirinya sendiri dan memiliki sifat-sifat yang mulia.

Secara umum dalam ajaran tasawuf yang dimaksud insan kamil adalah manusia yang telah memiliki dalam dirinya Nur Muhammad yang disebut dengan Al-Haqiqatul Muhammadiyyah

Dalam pandangan Ibnu ’Arabi sebagaimana dikutip oleh M. Alfatih bahwa insan kamil dapat dibedakan atas manusia sempurna pada tingkat universal atau kosmik dan manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual.

Selanjutnya M. Alfatih menyebutkan, menurut W.C. Cittick (dikutip Kausar Azhari Noer) insan kamil pada tingkat universal adalah hakikat manusia sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen dari manusia sempurna individual, sedangkan insan kamil pada tingkat partikular adalah perwujudan dari manusia sempurna, yaitu para nabiyyullah dan para waliyullah.

Untuk menjadi insan kamil harus senantiasa dekat (taqarrub) dengan Allah SWT. 

Proses pendekatan ini membutuhkan perjuangan, kesabaran, dan istiqomah. 

Dalam kajian tasawuf diperlukan proses pendakian melalui (menuju) syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat. 

Hal ini merupakan pendakian yang dilalui dalam rangka menjadi hamba Allah yang Qorib sebagai insan kamil yang menjadi kekasih-Nya. 

Untuk mencapai kekasih Allah ini, dalam konsep lain disebutkan melalui tiga tingkatan, pendakian  (taraqqi), yaitu: bidayah, tawassuth dan khitam.

Bidayah (langkah permulaan), tawassuth (langkah pertengahan), dan khitam (langkah /pendakian puncak akhir).

Tajalli Tuhan yang paling sempurna terdapat dalam insan kamil. Untuk mencapai tingkatan insan kamil, sufi harus mengadakan pendakian (taraqqi) melalui tiga hal tersebut.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang, dan sebagainya (tajalli fi al-asma). 

Pada tingkatan tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu qudrat, dan lain-lain. 

Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi yang demikian dengan sifat-sifat-Nya. 

Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber–tajalli dengan dzat-Nya. 

Pada tingkat ini sufi pun menjadi insan kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat gambaran (surrah) Allah. 

Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan.

Di dalam logika tasawuf disebutkan bahwa seseorang bisa berhubungan dengan alam ghaib dan mencapai untuk makrifat kepada Allah. 

Orang yang seperti ini dipandang sebagai manusia pilihan-Nya dan mendapat predikat sebagai insan kamil (manusia yang mencapai kesempurnaan). 

Manusia semacam itu menurut ajaran tasawuf adalah orang-orang suci yang kehidupannya memancarkan sifat-sifat ke-Illahi-an atau bahkan merupakan pancaran sinar Tuhan di muka bumi.
Orang yang menempuh perjalanan syari’at, thariqat, hakikat, dan makrifat, kemudian berhasil dalam menempuh empat hal itu dengan menyeimbangkan diri antara syari’at lahir dan batin akan mendapatkan anugerah dari Allah menjadi insan kamil. 

Insan kamil pada hakikatnya adalah orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan (manusia seutuhnya) yang keberadaannya sesuai dengan kesholihan dan kehendak Ilahiyah; manusia yang tidak tergoyahkan hatinya oleh segala macam bentuk kejadian yang menggembirakan maupun yang menyedihkan. 

Inilah kepribadian yang stabil menuju ke hadirat Ilahy Robby

Umat Islam sepakat bahwa diantara seluruh manusia, Nabi Nuhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya.

Kemudian para Rasulullah/Nabiyyullah yang lainnya. 

Mereka yang termasuk dalam golongan ini adalah para Nabi, Rosul, dan para waliyullah.

Dan diantara semuanya, insan kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW.

Oleh karenanya sudah sewajarnya apabila beliau sebagai figur ideal bagi umat manusia. 

Keadaan seperti ini termasuk tujuan tasawuf Islami yaitu tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan di sisi Allah SWT. 

Insan kamil merupakan model kesempurnaan dan pembimbing spiritual bagi manusia. 

Di dalam dirinya mengandung lima kehadiran Ilahiyah, yaitu: 
  1. realitas dari realitas-realitas (kehadiran pengetahuan), 
  2. alam ruh, 
  3. alam imajinasi, 
  4. semesta jasmaniah, 
  5. kehadiran yang menyeluruh, yakni totalitas pencakupan dari insan kamil.
Selanjutnya Al-Jandi meringkas ajaran Ibnu Arabi dalam sepuluh ajaran prinsip:
  1. beribadah dan memurnikan akhlak secara kontinyu, 
  2. berdzikir tanpa putus, 
  3. menghapus pemikiran yang melenakan, 
  4. memonitor kesadaran diri (muroqobah) secara terus menerus, 
  5. menimbang setiap hari tindakan yang telah dilakukan (muhasabah), 
  6. memperhatikan sang syekh dengan penuh kesadaran batin, 
  7. membiasakan lapar, 
  8. berjaga dengan mengurangi tidur, 
  9. banyak berdiam diri, dan 
  10. merasa rendah dan banyak menangis dalam batin. 
Menurut hemat penulis, menangis di sini maksudnya menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan. 

Kemudian sepuluh prinsip tersebut di atas nampaknya menjadi prototipe seorang insan kamil habibullah.

Blog : Surau Tingga || Judul : Tentang Insan Kamil


Tidak ada komentar:

Posting Komentar