Sejarah dan Pertumbuhan Ilmu Akhlak Pada Beberapa Bangsa di Dunia |
Berbicara tentang sejarah akhlak berarti membicarakan semenjak adanya manusia, yaitu sudah ada sejak zaman Nabi Adam AS.
Sejarah ilmu akhlak yaitu sejarah yang mempelajari batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang.
Sejarah ilmu akhlak ialah sejarah yang menggali tentang tingkah laku baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuannya dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka dari masa ke masa.
Sejarah pertumbuhan ilmu akhlak ialah suatu peristiwa perkembangan pengetahuan tentang budi pekerti atau tingkah laku seseorang melalui berbagai macam metode yang disusun secara sistematis dari zaman ke zaman.
Sejarah pertumbuhan ilmu akhlak ialah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang budi pekerti atau tingkah laku seseorang melalui berbagai macam metode yang disusun secara sistematis.
Melacak sejarah pertumbuhan dan perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenarnya sudah dikenal manusia di muka bumi ini.
Yaitu, yang dikenal dengan istilah adat istiadat (tradisi) yang sangat dihormati oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat.
Selama lebih kurang seribu tahun para ahli fikir Yunani dianggap telah pernah membangun “kerajaan filsafat “, dengan lahirnya berbagai ahli dan timbulnya berbagai macam aliran filsafat.
Para penyelidik akhlak mengemukakan, bahwa para pakar akhlak banyak yang semata-semata berdasarkan fikiran dan teori-teori pengetahuan, bukan berdasarkan agama.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak akan dibahas melalui dua pendekatan. Yakni melalui pendekatan kebangsaan dan religi.
Pembahasan tentang sejarah Ilmu Akhlak dapat kita jumpai dalam karya Ahmad Amin berjudul Al-Akhlak.
Dalam buku tersebut Ahmad Amin membahas pertumbuhan dan perkembangan akhlak menurut pendekatan kebangsaan, religi dan periodisasi.
Dengan pendekatan seperti ini Ahmad Amin membahas pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, dalam abad pertengahan, pada bangsa Arab, pada agama Islam dan pada zaman baru.
Ilmu Akhlak (Moral) pada Bangsa Yunani
Munculnya pembahasan ilmu akhlak di bangsa Yunani ditandai dengan munculnya kaum Sophisticians (500-450 SM) yaitu orang-orang bijaksana (sufisme artinya orang-orang yang bijak).
Sebelum munculnya kaum tersebut, pembicaraan mengenai akhlak tidak dijumpai dalam bangsa Yunani, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Dasar yang digunakan pada pemikir Yunani dalam membangun Ilmu Akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia.
Ini menunjukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri dan hasil yang didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika tanpa adanya aspek agama dalam pemikiran tersebut.
Namun hasil pemikiran tersebut tidak sepenuhnya salah, karena manusia secara fitrah telah dibekali dengan potensi bertuhan, beragama dan cenderung kepada kebaikan, disamping itu juga memiliki kecenderungan kepada keburukan, dan ingkar pada Tuhan.
Namun kecenderungan kepada yang baik, bertuhan dan beragama jauh lebih besar dibandingkan dengan kecenderungan kepada yang buruk.
Filosof Yunani pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates (469-399 SM). Socrates dianggap sebagai perintis ilmu akhlak di Yunani.
Socrates dipandang sebagai pertintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama yang mengusahakan dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan dengan dasar ilmu pengetahuan.
Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan itu tidak menjadi benar kecuali didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat “keutamaan itu adalah ilmu pengetahuan”.
Karena itu tidak diketahuinya pandangan Socrates tentang tujuan yang terakhir tentang akhlak atau ukuran untuk mengetahui baik dan buruk sebuah perbuatan, maka timbullah beberapa golongan yang berbeda-beda pendapatnya tentang tujuan akhlak, lalu muncul beberapa paham mengenai akhlak sejak zaman itu hingga sekaranag ini.
Golongan yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai muridnya adalah Cynics (Kalbiyyun) dan Cyrenics (Qurinaiyyun).
Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444-370 SM. Ajaran ini sedikit berbeda dengan ajaran Socrates.
Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baiknya manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan.
Pengaruh Socrates ini sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan ilmu Akhlak. Beliau berusaha untuk mengalihkan pandangan masyarakat pada masanya dari pembahasan alam makro ke alam mikro, dari cakrawala kepada pembahasan insaniyah.
Kemudian selanjutnya datanglah Plato (427-347 SM). Ia seorang filsafat Athena dan murid dari Socrates.
Ia membangun akhlak melalui akademi yang ia dirikan, dan telah menulis buku yang mengandung ajaran akhlak yaitu Republik.
Pandangannya dalam bidang akhlak berdasarkan pada teori contoh.
Menurutnya bahwa apa yang terdapat pada yang lahiriah ini atau yang tampak ini hanya merupakan bayangan atau fotocopy.
Menurut Plato pokok-pokok keutamaan itu ada empat, yaitu:
(1) hikmat kebijaksanaan;(2) keberanian;(3) keperwiraan; dan(4) keadilan.
Ke-empat hal ini merupakan penegak kepribadian seseorang, masyarakat dan bangsa.
Setelah Plato, datanglah Aristoteles (394-322 SM).
Sebagai murid Plato, Aristoteles berupaya membangun suatu aliran yang khas dan para pengikutnya disebut dengan kaum Peripatetics, karena ia memberi pelajaran sambil berjalan, atau karena ia mengajar di tempata yang teduh.
Dia berupaya menyelidiki akhlak (Moral) secara mendalam dan menuangkannya dalam bentuk karya tulis.
Aristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah bahagia atau kebahagiaan.
Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya.
Ilmu Akhlak(Moral) pada Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tersebut dalam kitab Taurat dan Injil.
Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber Akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan - patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Selain itu agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan.
Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan yang dominan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan hawa nafsu syahwat.
Menurut para ahli filsafat Yunani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu adalah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan; menurut Agama Nasrani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu ialah cinta kepada Tuhan dan iman kepada-Nya.
Dengan demikian ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centris (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Karena itu tidaklah mengherankan jika ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta berdasarkan ajaran dalam kitab Taurat dan Injil (perjanjian lama dan perjanjian baru).
Ilmu Akhlak pada Bangsa Romawi
Pada abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja.
Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar.
Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah payah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh Tuhan.
Fenomena kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan banyak dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu kalangan gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta banyak menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Doktrin Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan ”hakikat” telah diterima dari wahyu. Prinsipnya adalah, apa yang diperintahkan wahyu pasti benar adanya.
Olah kerja filsafat diperbolehkan dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip (doktrin) yang dikeluarkan dari gereja.
Dalam hal ini berarti bersifat filosofis-teosentrik.
Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan Yunani dan ajaran Nasrani.
Ada 2 tokoh filosof yang terkenal pada masa itu yaitu Abelard (1079-1142 M) berkebangsaan Perancis dan Thomas Aquinas (1226-1274 M) berkebangsaan Italy.
Ilmu Akhlak pada Agama-agama Ardhi
Agama Ardhi yakni agama bumi, yang dimaksud dalam hal ini agama yang didapatkan dari hasil karya dan budaya manusia; dan ada yang menyebutnya dengan agama tabi’i, diantara cirri-cirinya adalah:
- (1) hasil pikiran dan perenungan manusia;
- (2) tidak mempunyai rosul;
- (3) tradisi rohani belaka; dan
- (4) mempergunakan perantara benda dan alam sebagai manifestasi.
a) Akhlak agama Hindu.
Pada agama ini berdasarkan kitab Weda (1500 SM). Tanda-tanda yang dipandang baik dalam akhlak agama Hindu adalah:
(1) kemerdekaan;(2) kesehatan;(3) kekayaan; dan(4) kebahagiaan.
Hal ini dapat dicapai jika seseorang patuh melaksanakan upacara keagamaan dengan baik dan sempurna.
Akhlaknya disandarkan kepada ajaran ketuhanan yang mereka anut sesuai dengan kitab Weda tersebut.
Prinsip-prinsipnya adalah patuh dan disiplin dalam melaksanakan upacara keagamaan.
Adapun alamat - alamat kejahatannya adalah:
(1) sakit;(2) fakir; dan(3) celaka.
Ketiga alamat kejahatan ini timbul karena tidak melaksanakan upacara keagamaan dengan hati yang penuh kesungguhan. Oleh karenanya dianggap sebagai akhlakul madzmumah.
Hindu adalah peraturan ajarannya dipandang sebagai sumber segala kemuliaan (akhlakul karimah).
b) Akhlak agama Budha.
Pokok-pokok akhlak dalam pengajaran Buda ada empat, yaitu:
- (1) sengsara dan sakit sebagai keadaan yang lazim dalam alam ini;
- (2) kembali ke dalam dunia (reinkarnasi) disebabkan kotornya roh dengan nafsu syahwat terdahulu;
- (3) untuk menyelamatkan diri dalam usaha pencapaian nirwana, maka hendaklah melepaskan diri dari segala pengaruh syahwat;
- (4) wajib menjauhkan segala rintangan yang menghalangi seseorang dalam melepaskan nafsu syahwatnya, yakni dengan menanamkan segala keinginan dan kesukaan.
Untuk mencapai cita-cita tersebut diadakanlah delapan perkara dengan pola:
- (1) melazimi kebaikan;
- (2) bersifat kasih sayang;
- (3) suka menolong;
- (4) mencintai orang lain;
- (5) suka memaafkan orang;
- (6) ringan tangan dalam kebaikan;
- (7) mencabut diri dari segala kepentingan (yang penting-penting); dan
- (8) mogok dari hajat kalau perlu dikorbankan untuk orang lain.
c) Akhlak ajaran Kong Fu Tse (Konfusius).
Menurut Konfusius, kesempurnaan itu hanya dapat dicapai oleh dua golongan manusia, yaitu:
- orang yang mendapat ilham dari langit semenjak lahir sampai wafatnya, yakni orang bijaksana; dan
- orang yang bijaksana yang mencapai (mempelajari) hikmah dengan terus-menerus belajar, berfikir, dan memeriksa dengan tidak mengenal lelah sehingga mencapai kebenaran yang membawa kesempurnaan.
Dalam kaitan ini, menurut Konfusius untuk membangun akhlak harus melalui tiga perkara:
- (1) pergi menyendiri beribadah kepada Tuhan seperti yang telah diperbuat oleh Lao Tse (guru Konfusius);
- (2) mengundang rakyat menghadiri pertemuan-pertemuan terbuka dan di sana memberi kursus-kursus akhlak; dan
- (3) membawa diri sendiri, baik pemerintah maupun cendekiawan, para pembesar dan diplomat melaksanakan akhlak yang setinggi-tingginya dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu Akhlak pada Bangsa Arab
Bangsa Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi filsafat sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok dan lain-lainnya.
Disebabkan karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada Bangsa yang sudah maju pengetahuannya.
Sekalipun demikian, Bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak, misalnya: Luqman el-Hakim, Aktsan bin Shoifi, Zubair bin Abi Sulma dan Hotim al-Thoi.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya:
Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan:
”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjukan kebaikan yang menentramkan, maka tidak akan ragu-ragu”.
Contoh lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany
”pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan batil tidak akan mungkin terjadi dan yang batil itu lebih utama buatnya. Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.
Simak apa yang dikatakan Aktsam ibn Shaify yang hidup pada zaman jahiliah dan kemudian masuk Islam. Ia berkata:
”jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah merusakkan: kejahatan adalah merusakkan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan; dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Baik sangka merusak, dan buruk sangka adalah penjagaan”.
Al-Adwany pernah berpesan kepada anaknya Usaid dengan sifat-sifat terpuji, ujarnya:
”Berbuatlah dermawan dengan hartamu, Memuliakan tetanggamu, bantulah orang yang meminta pertolongan padamu, hormatilah tamumu dan jagalah dirimu dari perbuatan meminta-minta sesuatu pada orang lain”.
Dengar pula apa yang dikatan Amr ibn Al-Ahtam kepada budaknya:
"Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat untuk lelaki pencuri; bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya diriku dalam kedudukan suci dan tinggi adalah orang yang belah kasih. setiap orang mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran memiliki jalannya sendiri bagi orang-orang yang baik."
Memang sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui pada bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, Zinon, dan Aristo, karena penyelidikan secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya perhatian orang terhadap ilmu kenegaraan.
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof Yunani kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada muatan-muatan akhlak.
Ilmu Akhlak pada Zaman Baru
Akhlak pada zaman baru ini berkisar pada akhir abad kelima belas Masehi, dimana Eropa mulai mengalami kebangkitan dibidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empirik dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang terdapat dalam ajaran agama. Sumber akhlak dari dogma dan doktrin agama mereka ganti dengan logika dan pengalaman empirik.
Beberapa tokoh etika dalam masa ini di antaranya:
1. Descartes (1596-1650) seorang ahli fakir Perancis yang menjadi pembangun madzhab rasionalisme.
Segala persangkaan yang bersalah dari adat kebiasaan harus ditolak.
Untuk menerima sesuatu akal harus tampil melakukan pemeriksaan. Dari awal akal lah yang menjadi pangkal untuk mengetahui dan mengukur segala sesuatu;
2. Spinoza (1632-1677) keturunan Yahudi yang melepaskan diri dari segala ikatan agama dengan menandaskan filsafatnya kepada rasionalisme.
Menurut dia, untuk mencapai kebahagiaan manusia haruslah berdasarkan akal (rasio);
3. Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia.
Ia berpendapat bahwa akhlak manusia selalu berubah sesuai dengan perkembangan evolusi alam;
4. Jhon Stuart Mill (1806-1873) yang memindahkan paham Epicurus ke paham Utilitarisme.
Pahamnya tersebar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar di sana.
Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik dan buruknya sesuatu ditentukan atas aspek kegunaannya; dan
5. Immanuel Kant (1724-1804) ahli pikir Jerman terkemuka.
Dalam bidang etika ia meyakini adanya kesusilaan. Titik berat etikanya ialah rasa kewajiban (panggilan hati nurani) untuk melakukan sesuatu. Rasa kewajiban melakukan sesuatu berpangkal pada budi.
Salah satu ajaran penting tentang etika pada masa ini adalah bersumber pada intuisi yang diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
- Intuisi mencari hakikat atau mencari ilmu pengetahuan;
- Intuisi etika dan akhlak, yaitu cenderung kepada kebaikan;
- Intuisi estetika yaitu cenderung kepada segala sesuatu yang mendatangkan keindahan, dan
- Intuisi agama yaitu perasaan meyakini adanya yang menguasai alam dengan segala isinya.
Blog : Surau Tingga || Judul : Sejarah dan Pertumbuhan Ilmu Akhlak Pada Beberapa Bangsa di Dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar