Ilmu Laduni Sebagai Buah Takwa |
Allah berfirman:
"Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. al-Baqoroh (2); 282)
Kehati-hatian (al-ihtiyat) seorang hamba dalam berbuat, menentukan sikap dan memilih jalan hidup yang harus ditempuh, di hadapan Dzat yang ditakuti "yang diyakini setiap saat dapat melihat dan mengetahui dirinya dimanapun berada" serta pengharapannya untuk mendapatkan petunjuk dan hidayah dari-Nya, hal tersebut akan menjadi sumber inspirasi dan ilham yang tiada henti, namun itu manakala ketakutan tersebut hanya disandarkan kepada yang memberi kehidupan, hanya kepada Allah Sang Pemberi Nur kehidupan alam.
Hal tersebut bisa terjadi, karena interaksi dua dzikir telah terkondisikan, sebagai sunnah dan pelaksanaan janji yang tidak teringkari.
"Maka ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat pula kepadamu ". (QS. 2; 152)
Interaksi dua nur walau dipancarkan dari dua sisi yang berbeda, yang satu mencari dan satu-Nya memberi adalah ibarat orang yang menjemur diri di terik sinar matahari pagi, maka kehangatan sinar mentari seketika meresap ke seluruh badan melalui urat nadi.
Demikian pula Ilmu Laduni, ilmu warisan itu akan datang dengan menerangi matahati, datang dari hasanah perbendaharaan urusan rahasia Ketuhanan, datang sebagai buah ibadah yang ditekuni, datang sebagai akibat manakala sebab - sebabnya sudah terpenuhi secara terkondisi.
Awal terbukanya sumber Ilmu Laduni tersebut terkadang terbit dari hati yang sedang galau karena dirundung sedih.
Ketika jalan penyelesaian akhir yang harus dilewati pintu dan jendelanya seakan tertutup rapat-rapat oleh sebab-sebab yang tidak dimengerti.
Antara kecewa dan putus asa karena tidak mungkin makhluk dapat menolong diri sendiri, hati yang lemah itu kemudian bersandar kepada Ilahi Rabbi.
Mencari pertolongan, meleburkan segala asa dan cita, melahirkan rindu dan cinta, menyatukan antara harapan dan pasrah.
Ketika cinta telah menyatu dengan cinta, penyerahan telah lebur dalam penerimaan, maka dengan izin-Nya pintu yang semula tertutup menjadi terbuka.
Yang dimaksud sumber Ilmu Laduni adalah proses terbukanya pintu dan jendela itu, antara takut, kecewa, dan putus asa yang kemudian menjelma menjadi kegembiraan yang nyata.
Manakala peristiwa tersebut ditarik ke belakang oleh para pemerhati untuk dijadikan bahan kajian guna memperdalam pemahaman hati dengan menguntai mutiara-mutiara hikmah yang berserakan, memadukan antara ayat yang tersurat dengan yang tersirat, maka di situlah letak sumber "Ilmu Laduni" itu akan menampakkan diri.
Sumber Ilmu Laduni yang berupa sarana penggodokan jiwa dan "kawah candradimuka" untuk menciptakan konsep-konsep kehidupan dan resep keteladanan hidup.
Sebab, tanpa tantangan dan kesulitan, maka dalil dan argumentasi masih penuh dengan keraguan sehingga ilmu pengetahuan yang ada hanya bagai melayang di angan-angan,.
Meskipun sesungguhnya cara mendapatkan sumber "Ilmu Laduni" itu adalah sunnah (sistem) yang dimudahkan, namun seorang hamba tidak akan mampu mendapatkannya manakala di dalam hatinya masih terdapat penyakit basyariyah yang merugikan, seperti sifat bid'ah, sombong, riya’, cinta dunia, dan selalu condong berbuat kemaksiatan.
Seperti langit ketika diselimuti awan dan mendung, meski matahari sudah tinggi duduk di titik kulminasi, kehangatannya tetap saja tertahankan.
Seperti itu pula, walau seharian orang membentangkan jemuran, selama mendung dan awan masih ada, jemuran itu tetap saja tidak mendapatkan kekeringan.
Seperti itulah gambaran proses datangnya Ilmu Laduni, maka Allah menegaskan dengan firman-Nya:
"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi dengan tanpa alasan yang benar dari (memahami) ayat-ayat-Ku. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat-Ku mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan mereka terus menempuhnya, yang demikian itu dikarenakan mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya". QS. al-A‘raaf (7); 146.
Allah akan menutup sumber Ilmu Laduni di dalam hati yang sombong, sehingga sedikitpun hati itu tidak dapat merasakan pancaran sinarnya. Karena kesombongan itulah yang telah mencemari karakter manusia dan akan menghalangi dirinya sendiri untuk dapat memahami kandungan arti ayat-ayat Allah, baik terhadap ayat yang tersurat maupun yang tersirat.
Bahkan kesombongan itu juga akan menutup pintu iman dalam hati.
Tanda-tandanya, saat di depan orang yang sombong itu terpampang jalan kebaikan, mereka selalu menghindarinya dan sebaliknya ketika ada jalan kejelekan, malah mereka segera menjalaninya.
Jadi, kesombongan itulah yang sejatinya menjadi penyebab utama dari keingkaran dan kelalaian hatinya, sehingga mereka tidak dapat memetik buah amal yang dapat dikerjakan, semisal "Ilmu Laduni" yang diharapkan dapat menerangi hati.
Lebih jelas ditegaskan di dalam ayat yang lain Allah berfirman:
"Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan hari akherat suatu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya, Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja di dalam Al-Qur'an niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya". (QS. al-Isra‘(17); 45-46)
Keingkaran manusia akan hari akhirat menjadi penyebab terhalangnya orang itu untuk menerima rahasia Ilmu Laduni dan menjadikannya benci kepada kebaikan serta cenderung kepada perbuatan maksiat.
Artinya, ketika hati manusia ingkar kepada apa yang dijanjikan Allah di hari akhirat, maka berarti orientasi hidup manusia hanya cenderung mengikuti konsep duniawi saja.
Konsep matematika di mana satu ditambah satu hasilnya tidak mungkin menjadi sepuluh. Padahal urusan Ilmu Laduni tidaklah demikian, boleh jadi satu diambil satu malah menjadi sepuluh, karena yang satu itu adalah sebuah pengorbanan yang harus dijalankan.
Artinya, karena Ilmu Laduni adalah pahala yang dijanjikan, maka untuk mendapatkan pahala itu, jalannya haruslah dengan sebuah pengorbanan. Yaitu pengabdian yang hakiki semata melaksanakan kewajiban seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya.
Demikianlah keadaan Ilmu Laduni, setiap orang boleh berusaha dengan sungguh - sungguh untuk mendapatkannya. Tentunya dengan melaksanakan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya.
Namun demikian, meski dengan usaha yang bersungguh - sungguh, tidak seorangpun bisa dapat jaminan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Sebab, di jalanan yang akan dilalui itu banyak jebakan dan ranjau yang mengitari.
Seperti Nabi Musa, meski sudah melaksanakan perjalanan berat dan panjang dan bahkan sudah bertemu dengan orang yang akan mewariskan Ilmu Laduni kepadanya, yaitu nabi Khidhir, hanya karena sedikit kesalahan yang dilakukan, akhirnya Nabi Musa tidak berhasil mendapatkan ilmu yang diharapkan itu.
Nabi Musa dan Nabi Khidhir yang dikisahkan di dalam kisah perjalanan itu, (yang insya Allah akan penulis sampaikan di dalam pemaparan berikutnya), boleh jadi adalah sebagai personal dan boleh jadi juga sebagai karakter.
Yaitu karakter Musa dan karakter Khidir. Kalau mereka berdua hanya sebagai personal dan bukan karakter, barangkali kisah itu sudah tidak ada manfaatnya lagi bagi orang-orang yang membacanya. Kecuali hanya sekedar membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.
Oleh karena itu, di samping kisah perjalanan tersebut disimak secara gambaran personal, hendaknya seorang salik yang berharap mendapatkan sumber Ilmu Laduni menyimaknya juga sebagai perjalanan dua karakter.
Artinya, bukan hanya sebagai Nabi Musa dan Nabi Khidhir yang sudah lama wafat. Namun sebagai karakter Musa dan karakter Khidhir yang harus mampu dihidupkan di dalam jiwanya sendiri, dengan itu supaya jiwanya mampu dihidupi oleh dua karakter tersebut, sehingga selanjutnya dirinya mampu menghadapi setiap tantangan yang sedang menghadang di depan mata.
Karakter-karakter itu, manakala telah mampu diterapkan oleh seorang salik di dalam perilaku keseharian hidupnya, maka secara otomatis di akhir perjalanan, karakter-karakter itu akan menjiwai pelakunya.
Demikian itulah buah amal (latihan), maka siapapun dapat melakukannya, asal ada kemauan dan jalannya benar serta terbimbing oleh ahlinya.
Namun demikian, oleh karena Ilmu Laduni adalah ilmu warisan, maka hasil akhirnya bergantung kepada orang yang memberi, bukan orang yang meminta. Di situ ada rahasia besar yang harus terkuakkan.
Oleh karena itu, di samping cara usaha yang benar, kebersihan hati dalam berusaha adalah syarat utama untuk bisa mendapatkannya.
Di dalam kitab at-Tibyan fi 'Ulumil Qur‘an, Imam Ali ash-Shobuni mengutip pendapat beberapa Ulama‘ tentang Ilmu Laduni ini, berkaitan dengan ihwal kebersihan hati, yang menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan Ilmu Laduni.
Melalui syairnya yang terkenal, al-Imam asy-Syafi'i mengisyaratkan hal itu dengan indahnya:
"Aku mengadu kepada Al-Waqi‘ perihal jeleknya hapalanku, maka dia menunjuki aku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah Nur. Nur Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat".
Al-Imam as-Suyuti berkata:
"Banyak orang mengira, bahwa Ilmu Laduni itu sangat sulit untuk didapat. Mereka berkata; Ilmu Laduni itu berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk mendapatkan Ilmu Laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud."
Kemudian beliau meneruskan:
"Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas sekali. Bagaikan samudera yang tidak bertepi. Adapun Ilmu Laduni ini adalah alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayat-Nya".
Oleh karena itu, seseorang dilarang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an kecuali bagi mereka yang terlebih dahulu telah mendapatkan Ilmu Laduni ini.
Barangsiapa menafsirkan al-Qur'an tanpa alat Ilmu Laduni ini, boleh jadi mereka hanya akan menafsirkanya dengan akal saja (bir ro'yi) yang dilarang oleh agama. Sebab, pemahaman ilmu al-Qur'an yang hakiki adalah sesuatu yang sifatnya Qodim dan sumber Ilmu Laduni juga dari yang Qodim itu.
Oleh karena itu, orang tidak dapat menyentuh sesuatu yang Qodim kecuali dengan alat Dari yang Qodim pula.
Para Ulama' menyebut ini sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur'an, supaya dia berhasil sampai pada tingkat penafsiran terdalam dan tertinggi sesuai dengan kemampuannya dalam memahami, baik di saat sedang mendengarkan maupun membaca ayat - ayat-Nya.
Sungguh Allah telah memudahkannya dan telah memerintahkan pula untuk mengadakan penelitian, sebagaimana firman-Nya:
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran'. (QS. al-Qomar (54); 17).
Dan juga firman Allah :
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al- Qur'an, atau diatas hati-hati ada kuncinya". (QS. Muhammad (47); 24)
(Ali ash-Shobuni; At-Tibyan fi 'Ulumil Qur'an, 159)
Blog : Surau Tingga || Judul : Ilmu Laduni Sebagai Buah Takwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar