Memahami Pengertian Wahdatul Wujud


Memahami Pengertian Wahdatul Wujud
Memahami Pengertian Wahdatul Wujud

Secara etimologi, wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud. 

Wahdat artinya adalah penyatuan, satu, atau sendiri, sedangkan al-wujud artinya ada (eksistens). 

Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi.

Selain itu al-wahdah digunakan oleh para sufi sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak atau lahir dengan yang batin, antara alam dengan Allah, karena alam dan seisinya berasal dari Allah. 

Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujudnya Khalik. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara keduanya. 

Kalau dikatakan berlainan dan berbeda wujud makhluk dengan wujud Khalik, itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan singkatnya akal dalam mengetahui dan mencapai haqiqat. 

Wahdatul Wujud mempunyai pengertian bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. 

Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. 

Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.

Dengan demikian dapat dikatakan, Wahdatul Wujud adalah Satu Wujud atau Satu Ada yaitu Tuhan saja yang Ada, tidak ada yang lain-Nya (secara hakikat). 

Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. 

Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.

Wahdatul Wujud, sebenarnya adalah suatu ilmu yang selayaknya tidak sembarangan disebarluaskan ke orang awam, namun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. 

Hal ini karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. 

Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj, Ibn Arabi, dan Ibnu Sab’in. Ketiga tokoh ini dianggap sebagai figur yang mewakili munculnya wahdatul wujud.

Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.

Dalam pemahaman wahdatul wujud mengandung penghayatan manunggaling kawula gusti. 

Ini bisa dicapai melalui memuncaknya penghayatan fana hingga fana al-fana dalam dzikir, dan bisa pula dari pendalaman rasa cinta rindu yang memuncak pada manuk cinta (sakar) di dalam Tuhan, atau dari kedua-duanya (dari mendalamnya cinta dalam dzikir dan fana al-fana).

Mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. 

Kemudian dari wahdat al-syuhud memuncak jadi wahdatul wujud atau monisme, segala yang ada ini adalah Allah. 

Wahdatul Wujud dalam pengertian lain maksudnya adalah suatu paham yang menyatakan antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. 

Oleh ahli filsafat dan sufistik sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. 

Tokoh Aliran Wahdatul Wujud 

1. Muhyiddin Ibn Al Arabi. Lahir di Marcia, Spanyol tahun 598 H. (1102 M.)

Namanya Muhammad bin Ali Ahmad bin Abdullah dengan gelar Abu Bakar, beliau disebut juga Muhyiddin dan dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi dan Al Hattami. 

Beliau mengembara dari Andalusia ke Timur, sesudah menuntut ilmu pengetahuan Fiqih Asy-Syibliyah (Sevilla). 

Dia pernah mengembara ke Mesir, Hejaz kecil, dan Asia Kecil. 

Akhirnya dia tinggal sampai wafatnya di Damaskus negeri Syam. Dia tinggal di sana dan wafatnya pada tahun 638 H. (1240 M).  

Dia adalah sufi sekaligus penulis yang produktif. Menurut Hamka, Ibn Arabi disebut sebagai orang yang telah mencapai Wahdatul Wujud. 

Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat tasawufnya.

Ibnu Arabi tumbuh dalam fikiran ahli-ahli tasawuf Islam. Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan fikir filsafat dan dzauq tasawuf

Meskipun karena takut ancaman orang awam, senantiasa dia berjalan berbelit-belit sehingga lantaran kesanggupannya mencari dan memilih kata serta kefasihan dan keahliannya menyusun karangan yang dapat menghanyutkan orang, hanya sedikit yang dapat mengetahui dasar pendiriannya. 

Ia menyajikan aliran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit agar terhindar dari tuduhan, fitnah dan ancaman dari kaum awam. 

Bagi Ibn al-’Arabi, wujud (yang ada) itu hanya satu. Pada hakikatnya tidak ada pemisah antara manusia dengan tuhannya.

Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. 

Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). 

Ibnu Arabi telah menegakkan paham serba Esa dan menolak paham serba Dua. Segala sesuatu hanyalah satu. 

Hal ini hampir sama dengan paham phitagoras dalam dunia filsafat, yang menyatakan bahwa ”jiwa segala bilangan adalah satu”.

Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu: 
  • Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal. 
  • Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya. 
  • Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. 
Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan / terbagikan (indivisible) dan seragam (homogen).

Jika dipandang antara Khalik dan makhluk itu satu wujud, kenapa nampaknya dua? 

Ibnu Arabi menjawab,

”Sebabnya ialah karena insan tidak memandang dari wajah yang Satu. 

Mereka memandang kepada keduanya dengan pandangan bahwa wajah pertama ialah Haqq dan wajah yang kedua ialah Khalik”. 

Namun jikalau dipandang dalam ’ain yang satu dan wajah yang satu, atau dia adalah wajah yang dua dari hakikat yang satu, tentulah manusia akan memperdekat haqiqat Zat Yang Esa, yang tiada berbilang dan tidak berpisah.

Intinya adalah satu kesatuan yang utuh. 

Hakikat interpretasi ini mengandung makna bahwa wajah sebenarnya satu, tetapi jika kita perbanyak cermin maka ia menjadi banyak. 

2. Ibnu Sab’in Ibnu Sab’in adalah seorang sufi dan juga Filosof dari Andalusia, yang mempunyai nama lengkap, ‘Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr.

Beliau adalah seorang ahli sufi terkenal dalam aliran wahdatul wujud dan mencampurkan tasawuf dengan filsafat. 

Dia dipanggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin, kadang juga dipanggil Abu Muhammad. 

Beliau lahir tahun 614 H. (1217-1218 M) di Murcia. Dalam suatu pendapat dia lahir pada tahun 613 H. (1215 M.). 

Ibnu Sab’in tumbuh dalam keluarga bangsawan, Ayahnya adalah penguasa di Murcia. Ibnu Sabin berguru kepada Ibnu Dihaq yang dikenal dengan Ibnu Mir’ah (wafat 611 H.) pen-syarah karya al Juwaini, al-Irsyad, selain itu Ibnu Sab’in juga berguru pada al-Yuni (wafat 622 H.), dan al-Hurrani (wafat 538 H.), keduanya ahli huruf dan nama.

Mulanya Ibnu Sab’in seorang ahli Fiqih, kemudian tertarik mendalami Ilmu Tasawuf sampai menjadi salah seorang imamnya dan mengungkapkan pendapatnya dari hasil pengalaman spiritualitasnya.

Hubungan antara Ibnu Sab’in dan para gurunya banyak terjalin lewat kitab dari pada secara langsung.

Pada tahun 640 Ibnu Sab’in dan muridnya pergi ke Afrika, karena faktor-faktor politik di negerinya, dia dianggap melemahkan Dinasti al-Muwahhidin serta berakhirnya kebebasan berfikir di Andalusia. 

Ibnu Sab’in singgah di kota Ceuta, Afrika Utara, di kota ini pula dia menikahi seorang wanita dan membangun zawiyah, dia banyak menelaah kitab-kitab tasawuf dan memberikan pengajaran. 

Penguasa kota, Ibn Khaladh, mengusirnya dari kota ini karena dianggap sebagai Filosof. 

Kemudian dia pergi ke ‘Adwah, Bijayah, terus ke Qabis, Tunisia. 

Pada tahun 648 H. Ibnu Sab’in sampai di Kairo, tetapi para fuqoha di dunia Islam bagian barat mengirim surat ke Mesir yang menyatakan dia adalah atheis. 

Ibnu Sab’in memutuskan untuk ke Mekah.

Ibnu Sab’in ketika di Makkah memperoleh kehidupan yang tenang dan menyusun karyanya. 

Dan meninggal dunia pada tahun 669 Hijriyah dalam usia sekitar 54 tahun. Ibnu Sab’in meninggalkan empat puluh satu buah karya, yang menguraikan Ilmu Tasawuf. 

Pada umumnya karya beliau bercorak simbolik, karyanya yang terpenting Budd al-Arif.

Ibnu Sab’in, menganut paham Kesatuan Mutlak Wahdatul Wujud, yaitu wujud adalah satu alias Wujud Allah semata.

Tasawufnya menyerupai jalan tasawuf Suhrawardi dan Ibnu Arabi, yakni gabungan antara filsafat dan tasawuf. 

Madzhab Ibnu Sab’in tentang hubbul Ilahi dipengaruhi aliran Rabi’atul Adawiyah

Bahwasanya beramal bukan karena mengharap upah surga dan meninggalkan dosa dan bukan pula karena takut neraka, akan tetapi beramal itu karena cinta kepada Allah yang tetap ada dalam dirinya. 

Wujud-wujud lainnya hanya wujud Yang Satu itu sendiri. 

Jelasnya wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud Yang Satu semata. 

Dalam hal ini, Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. 

Sebab menurutnya, Wujud Allah adalah asal segala yang ada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. 

Sementara wujud yang tampak jelas justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniah. 

Berarti paham ini menafsirkan wujud dalam corak spiritual bukan materi. 

Bahkan dikatakan bahwa permulaan dan akhir (kesudahan) wujud adalah Allah. 

Dengan demikian yang ada itu hanya satu pada hakikatnya. 

Bahkan Allah merupakan wujud semesta. Alam yang nampak ini hanyalah wujud majazi (bukan hakiki). 

Pemikiran Ibnu Sab’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an, misal firman Allah: 
“Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin,” 
dan firman-Nya: 
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Zat Allah (yang tetap).”
Dia juga memperkuatnya dengan hadits Nabi Muhammad SAW, seperti Hadits Qudsi yang berikut : 
“Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya, terimalah! ia pun lalu menerimanya…”
Adapun tentang al-Hallaj sejarah hidupnya secara global sudah diungkapkan dalam kajian hulul

Dan nampaknya antara wahdatul wujud dan hulul punya hubungan yang erat. 

Yaitu sama-sama bentuk penyatuan antara manusia dan Tuhan; hanya bedanya dalam hulul eksistensi manusia dianggap ada (dalam penyatuan), sedangkan dalam wahdatul wujud eksistensi manusia dianggap hancur lebur.

Blog : Surau Tingga || Judul : Memahami Pengertian Wahdatul Wujud


Tidak ada komentar:

Posting Komentar