Mahabbah |
Mahabbah. Mahabbah Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata hubb yang mempunyai arti:
- a) membiasakan dan tetap,
- b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta.
Dalam bahasa Indonesia kata cinta, berarti:
- a) suka sekali, sayang sekali,
- b) kasih sekali,
- c) ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin ditindas makin terasa betapa rindunya, dan
- d) susah hati (khawatir) tiada terperikan lagi.
Cinta juga dapat berarti selalu teringat dan terpikat di hati, kemudian menimbulkan rasa rindu, khawatir, sangat suka, sayang, dan birahi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan.
Dengan demikian dapat dikatakan, Mahabbah adalah perasaan cinta yang mendalam secara ruhaniah kepada Allah.
Figur sufiyah tentang mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah.
Di dalam sejarah Islam klasik, ada dua tokoh terkenal yang bernama Rabî’ah; dan kesamaan nama ini terkadang mengaburkan penisbahan riwayat-riwayat kepada masing-masing tokoh.
Rabî’ah yang pertama hidup di Yerussalem, Palestina, dan wafat pada tahun 135 H./ 753 M., sedangkan Rabi’ah yang lebih muda berasal dan hidup di Bashrah, serta wafatnya pada tahun 185 H./ 800 M.
Tokoh yang dimaksudkan di sini adalah Rabi’ah muda yang secara lengkap bernama Ummu al-Khair Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-Qishiyyah.
Dia hidup pada abad II H./ VIII M. Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh namun sangat miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah.
Menurut riwayat, prosesi kelahirannya di malam hari berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidakmampuan sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia.
Untungnya, disebutkan bahwa orang tua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu.
Beliau berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud.
Sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya.
Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar.
Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan definisi di kalangan ulama.
Pendapat kaum Teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti;
- a) keridha-an Tuhan yang diberikan kepada manusia,
- b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan
- c) perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya.
Pengertian tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Sesungguhnya cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mentaati dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah dengan memberikan anugerah ni’mat, rahmat, pemeliharaan dan ampunan kepada mereka, serta pujian dan petunjuk Allah kepada mereka (QS. 3:31).
Imam al-Ghazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu.
Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan.
Sesungguhnya kecintaan kepada Allah adalah puncak dari maqam-maqam dari tingkatan-tingkatannya.
Hal ini dapat dilihat dari ucapannya,
"Barang siapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.”
Al-Ghazali berkata,
“ Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita.
Kalau pun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta, maqam itu akibat dari cinta saja.”
Harun Nasution (w.1998 M) mengemukakan bahwa mahabbah mempunyai beberapa pengertian:
- (Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya.
- Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
- (Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Yang dimaksud dengan kekasih ialah Allah.
Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup ke-sufi-an, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama.
Sejalan dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1) Cinta biasa,
yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2) Cinta orang shiddiq,
yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
3) Cinta orang ‘arif,
yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional.
Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam.
Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.
Mereka menggeser penekanan cinta ke arah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni.
Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya.
Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta.
Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Tuhan.
Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, yang sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi “diri yang dicintai”.
Oleh karena itu menurut Imam al-Ghazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari ma’rifat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bahkan dikatan oleh Imam al-Ghazali bahwa tetaplah hati para kekasih Allah itu antara menolak dan menerima, menahan dan sampai, tenggelam (meresap) dalam lautan ma’rifatullah dan berapi-api (bersemangat) menuju sinar cinta-Nya.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya.
Oleh karena itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan.
Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah.
Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.
Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).
Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.
Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan.
Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya.
Ia mengajarkan bahwa, yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya.
Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Dengan cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”.
Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab.
Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan.
Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut.
Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
"Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dari ku keindahan abadi-Mu.”
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabi'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid.
Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya.
Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah.
Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah SWT dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah SWT.
Mengajarkan pada manusia arti cinta Ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlak yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi.
Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan).
Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya.
Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi.
Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah.
Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Sebagai agama rahmatan lil’alamin, Islam menawarkan cinta kasih yang paripurna dan sempurna.
Cinta kasih juga menjadi tema sentral kitab-kitab suci, baik Al-Qur’an maupun kitab-kitab suci sebelumnya.
Berkaitan dengan mahabbah ilallah ini banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkannya, diantaranya: surat al-Baqarah ayat 165, Ali ’Imran ayat 30, dan al-Maidah ayat 54
Secara potensi kemanusiaan, kita berkewajiban untuk mencintai Tuhan, karena kita sangat butuh dan bergantung kepada-Nya.
Blog : Surau Tingga || Judul : Memahami Konsep Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar