Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.

Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Perjalanan tahap kedua adalah usaha seorang murid untuk membangun komitmen (mubaya‘ah) kepada guru mursyidnya

Seorang murid harus mampu melaksanakan apa-apa yang sudah disepakati dengan guru mursyidnya, itu sebagai hal yang wajib dikerjakan berkaitan dengan janji (bai‘at) yang sudah dilaksanakan. 

Pelaksanaan bai‘at seperti itu juga dilaksanakan Rasulullah saw. terhadap para sahabat sebagai janji setia untuk bersedia mengikuti beliau: 
"Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar'. (QS. al-Fath : 10).
Janji seorang murid di hadapan guru mursyidnya hanyalah pelaksanaan syari‘at secara lahir sedangkan secara hakekat, saat itu sesungguhnya dia sedang berjanji kepada Allah Ta‘ala dengan saksi guru mursyidnya. 

Yang seperti itu juga dilaksanakan Nabi Musa as. kepada Nabi Khidhir as

Perjanjian itu dilaksanakan saat mereka berdua akan memulai perjalanan sejarah kemanusiaan itu. 

Allah Ta‘ala telah mengabadikan dengan firman-Nya di atas. (QS. 18 : 65-70.) 

Kita mengikuti kandungan makna ayat tersebut secara tafsiriyah : 

1. Nabi Musa as. telah melaksanakan beberapa tata cara pelaksanaan akhlaqul Karimah sebagai konsekwensi seorang murid kepada Nabi Khidhir as. sebagai guru mursyidnya

Itu merupakan pelajaran yang sangat berharga yang di abadikan Allah Ta‘ala di dalam kitab yang Mulia, Al-Qur‘an al-Karim. Pelajaran tersebut harus dijadikan sebagai "Uswah al-Hasanah" oleh seorang murid untuk menuntut ilmu kepada guru mursyidnya

Pelajaran berharga tersebut diantaranya:

a). Nabi Musa as. menempatkan dirinya sebagai pengikut dan memohom izin kepada Nabi Khidhir as. untuk mengikuti: "Hal Attabi'uka" (Bolehkah aku mengikutimu?). 

Hal tersebut menunjukkan pelaksanaan tawadhuk (rendah hati) yang sangat tinggi dari seorang murid. Meski Nabi Musa as. adalah seorang Rasul dan Nabi zamannya, untuk menuntut ilmu pengetahuan beliau tidak segan-segan merendahkan diri untuk menjadi pengikut guru mursyidnya, Nabi Khidhir as.  

Nabi Khidhir as.—di sini—disebutkan sebagai guru mursyid, karena jenis ilmu (Ilmu Laduni) yang dituntut Nabi Musa darinya adalah "Ilmu Hakikat". Oleh karena "Ilmu Hakikat" adalah buah amal ibadah dan pengabdian, maka tidak mungkin dapat diajarkan kepada seorang murid kecuali dengan melaksanakan Thoriqoh "secara bersama-sama", oleh seorang guru mursyid yang suci lagi mulia. 

Ketika pelaksanaan "akhlakul karimah" tersebut ditampilkan Allah Ta‘ala di dalam kitab suci Al-Qur‘an, berarti menjadi suatu keharusan bagi umat Nabi Muhammad saw. untuk bisa mengikutinya, hal tersebut sebagai syarat dan tata cara untuk menuntut ilmu pengetahuan secara benar. 

b). Nabi Musa as. berkata: " 'Alaa an tu'allimanii" (supaya engkau mengajariku ilmu), sebuah pernyataan dan pengakuan akan kebodohan  diri atas ke‘aliman seorang guru yang diikuti. 

Adalah syarat mutlak untuk sampainya ilmu seorang guru kepada seorang muridnya, seorang murid harus merasa lebih bodoh dibandingkan gurunya. 

Yang demikian itu ibarat orang mengosongkan gelas, supaya air yang dituangkan dalam gelas itu dapat masuk kedalamnya. 

c). Nabi Musa as. berkata : "Mimmaa 'ullimta" (sebagian dari apa yang sudah diajarkan kepadamu), ini juga menunjukkan pelaksanaan tingkat tawadhuk yang tinggi. Seakan-akan Nabi Musa as. berkata : 
"Aku tidak mengharapkan engkau menjadikan aku sama 'alimnya dengan dirimu, akan tetapi yang aku harapkan darimu hanya sebagian dari ilmumu"
Permintaan itu layaknya seperti permintaan si fakir kepada orang kaya akan sebagian kecil hartanya.  

Sebagai bentuk pengagungan seorang murid kepada gurunya, murid tidak boleh ingin mengungguli ilmu gurunya, baik dengan perasaan dalam hati maupun yang terekspresikan melalui ucapan dan perbuatan. 

Yang demikian juga, oleh karena "Ilmu" tidak seperti air, yakni ketika dituangkan ke tempat lain, air itu menjadi berkurang. 

Ilmu tidak seperti itu, tetapi seperti cahaya, betapapun ilmu itu diserap oleh orang banyak, selamanya ilmu itu tidak akan menjadi habis, bahkan bertambah. 

Hal itu merupakan pahala amal ibadah, ketika ilmu pengetahuan diajarkan kepada orang lain, ilmu itu tidak semakin berkurang melainkan semakin bertambah. 

d). Dari perkataan : "Mimmaa 'ullimta rusydan". Mengandung suatu pengakuan terhadap apa-apa yang dimiliki oleh gurunya, seakan-akan Nabi Musa as. berkata:  
Dari apa-apa yang Allah mengajarkannya kepadamu, dengan itu barangkali menjadikan petunjuk di dalam urusanku untuk mendapatkan ilmu yang bermanfa‘at dan amal yang sholeh.  
Mengandung pengakuan akan tingkat kwalitas ilmu yang dimiliki gurunya dan menunjukkan kebutuhan dirinya akan kemanfa‘atan ilmu tersebut, yang demikian itu menjadikan hati seorang guru tersanjung.  

Ilmu yang dimiliki Nabi Musa as. adalah ilmu syari‘at,  yaitu ilmu tentang hukum dan fatwa yang berkaitan urusan-urusan yang lahir baik dari perkataan atau perbuatan manusia, sedangkan ilmu Nabi Khidhir as. adalah ilmu tentang urusan-urusan yang bathin yang berkaitan dengan rahasia kejadian-kejadian yang ghaib. 

e). Nabi Musa as. berkata: "Hal attabi'uka 'alaa antu'allimanii". (Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu?). 

Pertama mengikuti dan yang kedua mempelajari. 

Merupakan kewajiban yang pertama bagi seorang murid adalah mengabdi kepada guru mursyidnya baru kemudian mencari ilmu darinya.  

Ketika hati seorang guru merasa senang dengan pengabdian seorang murid kepadanya, maka bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit, "Ilmu Laduni" itu akan memancar terus menerus ke dalam hati muridnya. 

Ilmu Laduni tersebut bisa transfer melalui do‘a dan munajat gurunya setiap saat, walau si murid tidak pernah diajari ilmu secara langsung oleh gurunya: 
"Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,……… demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan". (QS. ar Ra‘d : 17). 
Bagaikan lembah-lembah di muka bumi, hati seorang murid akan menerima pancaran do‘a-do‘a (Ilmu Laduni) guru mursyidnya sesuai kemampuan hati itu menampung ilmu yang dipancarkan secara ruhaniyah.

2. Firman Allah SWT (Bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?). 

Maksud ayat, menunjukkan sangat tidak mungkin bagi seseorang untuk berbuat sabar terhadap musibah sebelum terlebih dahulu ia mengetahui secara pasti akan hikmah dan rahasia musibah yang sedang dihadapinya, walau ia telah memberikan kesanggupan yang kuat untuk berbuat sabar.  

Diantara syarat seorang murid mendapatkan akan ilmu dari gurunya adalah "sabar" terhadap apa yang diperbuat oleh seorang gurunya, hal tersebut sebagai tahapan ujian yang harus dijalani oleh seorang murid. 

Ketika —di ayat inisabar dikaitkan dengan rahasia di balik kejadian yang sedang dihadapi, maka hakikat sabar itu adalah cemerlangnya matahati sehingga sorotnya mampu menembus hal ghaib yang ada di balik kejadian yang lahir tersebut. 

Oleh karena tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah, maka jalan mencapai kesabaran itu hanyalah memohon pertolongan kepada Allah : 
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu‘. (QS. al-Baqoroh : 45). 
3. Firman Allah SWT.  (Dan aku tidak menentangmu dalam sesuatu apapun). 

Menunjukkan bahwa kesabaran seorang murid menghadapi ujian-ujian yang diberikan seorang guru adalah hal yang wajib dilakukan yang juga akan menentukan keberhasilannya dalam menuntut ilmu. 

Karena bagi yang menentang akan mendapatkan siksa: 
"Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya baginya neraka jahannam". (QS. 72: 23).
Artinya ketidaksabaran itu adalah termasuk bentuk perbuatan durhaka.  

4. Firman Allah SWT: (Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai kepadamu), 

atau aku sendiri menerangkannya kamu jangan meminta diterangkan rahasia-rahasia di balik ujian itu sebelum aku sendiri yang memberitahukan kepadamu. 

Di saat seorang murid menjalani tes (ujian) di sekolah saja, murid itu dilarang nyontek kepada temannya, apalagi bertanya kepada guru terhadap jawaban materi tes tersebut. 

Jika hal tersebut dilakukan berarti tujuan ujian menjadi gagal dan bila guru itu menjawab berarti guru itu telah mengkhianati fungsinya sebagai penguji.  

Terlebih lagi untuk menghadapi ujian hidup di lapangan. Seorang murid harus mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya sendiri. 

Mereka harus mampu memadukan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat, juga menyikapi kesulitan hidup sebagai tantangan. Dengan didukung husnudh-dhon (berbaik sangka) yang kuat, penalaran seorang murid akan menjadi tumbuh dan berkembang dari dalam hatinya sendiri. 

Itu merupakan bentuk latihan yang efektif, terlebih ketika yang demikian itu terjadi berulang kali, hasilnya akan dapat mengasah akal dan pikir manusia menjadi cerdas. 

Demikian pula Nabi Musa as. ketika masa ujian itu tiba, beliau dilarang bertanya sesuatu kepada Nabi Khidhir as.. Maksudnya : 
Karena apabila aku (Khidhir) yang menjawab, maka jawabannya hanya satu, hanya seperti yang aku sampaikan kepadamu, akan tetapi ketika kamu diam, sambil akalmu berfikir, mencari tahu jawabannya melalui pengembaraan akal dan fikir dengan disertai prasangka yang baik, serta berharap mendapat petunjuk dari Allah, maka boleh jadi jawabannya menjadi berkembang. Jawaban itu akan menjadi bagaikan ”tambang inspirasi yang tidak akan habis-habis”. Barangkali itulah yang dimaksud dengan istilah, "Diam adalah Emas". 
Seakan-akan sang guru berkata :  
"Ketika kamu melihat sesuatu hal yang belum kamu pahami, jadikanlah akal dan fikirmu sebagai pintu masuknya ilmu, bukan telingamu. Sedangkan bagi telingamu, gunakanlah pintu sabar, sampai ia mendapat bagiannya sendiri dari Allah SWT. melalui ilham-Nya". ( Sebagian dikutip dari tafsir Fahrur-Rozi) 

Komentar

| Older >

View

Random Artikel

JINGGA NEWS || www.jingganews.com

Populer Minggu Ini

Memahami Konsep Muroqobah dan Tingkatannya

Muroqobah Muroqobah. Muroqobah dalam makna harfiah berarti awas mengawasi atau saling mengawasi (dalam Ilmu Shorof dalam kategori bina musyarokah).  Secara bahasa muroqobah mengandung makna  senantiasa mengamat - amati tujuan atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian (mawas diri).  Sedangkan menurut terminologi berarti melestarikan pengamatan kepada Allah SWT dengan hatinya dalam arti terus menerus kesadaran seorang hamba atas pengawasan Allah SWT terhadap semua keadaannya.  Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum - hukum-Nya dengan penuh perasaan kepada Allah SWT. Dalam pandangan Imam al-Qusyairy, muroqobah ialah: “ keadaan/kesadaran seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati diketahui Allah .” Artinya, muroqobah ialah keadaan hamba tahu dan sadar dengan sepenuh hati bahwa Tuhan selalu melihatnya. Muroqobah merupakan ilmu untuk meliha...

Memahami Konsep Fana dan Baqa Dalam Ilmu Tasawuf

Fana dan Baqa Fana dan Baqa . Dalam kajian tasawuf antara fana dan baqa tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan baqa merupakan sisi lain yang terikat dari fana. Bahkan dalam Sayyid Mahmud Abul Faidh al-Manufi al Husaini menggabungkan tema kajian fana dan baqa (pada satu judul) dalam karyanya Jamharotul Awliya.  Fana diambil dari kata faniya (fana)-yafna-fana ’, secara bahasa berarti menjadi lenyap, hilang, dan tak kekal. Dalam sumber lain berasal dari kata fana-yafni- fana ’ yang mengandung makna hilang hancur. Sedangkan baqa berasal dari kata baqiya-yabqa- baqa ’ yang berarti dawam atau terus menerus, tidak lenyap dan tidak hancur. Fana dalam istilah Ilmu Tasawuf  adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi yang tertinggi menjelang ke tingkat ittihad , yakni hilangnya kesadaran tentang dirinya dari seluruh makhluk dan hanya ditujukan kepada Allah semata, serta yang ada hanya Allah SWT.  Dengan perkataan lain suatu keadaan mental hubungan manusia dan alam...

Takhalli, Tahalli, dan Tajalli

Takhalli, Tahalli, dan Tajalli Untuk menyingkap tabir yang membatasi diri dengan Tuhan, ada sistem yang dapat digunakan untuk riyadhah al-nafsiyah.  Karakteristik ini tersusun dalam  tiga tingkat yang dinamakan takhalli , tahalli , dan tajalli .  Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kotor hati, maksiat lahir dan maksiat batin.  Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama.  Sifat-sifat tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Tahalli merupakan pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin.  Hati yang demikian ini dapat menerima pancaran Nurullah dengan mudah.  Oleh karenanya segala perbuatan dan tindakannya selalu berdasarkan dengan niat yang ikhlas (suci dari riya). Dan amal ibadahnya itu tidak lain kecuali mencari ridha Allah SWT.  Untuk itulah man...

Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fikih dan Psikologi Agama

Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fikih dan Psikologi Agama Memadukan antara tasawuf, Ilmu Kalam, filsafat, fiqih, dan Ilmu Kalam sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan merupakan dengan tujuan pemahaman terhadap masalah keagamaan dapat dipahami dan dimengerti secara utuh.  Sehingga hal itu bisa mengimplementasikan makna-makna yang terkandung dalam ajaran tasawuf dan memberikan  penjelasan secara tepat terhadap istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahpahaman seperti zuhud, hubbuddunya (cinta dunia) dan lain-lainnya serta memberikan interpretasi baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip nilai Ilahiyah yang lurus. a. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam  Nama lain dari Ilmu Kalam adalah Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Aqidah; di dalamnya dibicarakan tentang persoalan - persoalan kalam Tuhan, dengan diiringi dasar-dasar argumentasi aqliyah dan naqliyah.  Penjelasan materi-materi yang tercakup dalam Ilmu Kalam nampaknya tidak menyentuh dzau...

Memahami Pengertian Wahdatul Wujud

Memahami Pengertian Wahdatul Wujud Secara etimologi, wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud.  Wahdat artinya adalah penyatuan, satu, atau sendiri, sedangkan al-wujud artinya ada (eksistens).  Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi. Selain itu al-wahdah digunakan oleh para sufi sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak atau lahir dengan yang batin, antara alam dengan Allah, karena alam dan seisinya berasal dari Allah.  Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujudnya Khalik . Pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara keduanya.  Kalau dikatakan berlainan dan berbeda wujud makhluk dengan wujud Khalik, itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan singkatnya akal dalam mengetahui dan mencapai haqiqat.  Wahdatul Wujud mempunyai pengertian bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki ata...

Filosof Adalah Wong Gendeng

Filosof Adalah Wong Gendeng Pada masanya, orang-orang yang kamu anggap cerdas sekarang itu terkadang oleh masyarakat dizamannya dianggap manusia-manusia gak becus.  Banyak Filosof yang tulisan dan fikirannya kamu kenal sekarang itu, ternyata dahulunya, dimasa hidupnya dianggap sampah oleh masyarakatnya.  Hidupnya dianggap gak becus karena hari-harinya dihabiskan dengan klontang-klantung tidak jelas, hanya bawa-bawa pena dan buku, juga melupakan kerja.  Hidupnya menggelandang, gak pernah taat dan berbaur dengan masyarakatnya juga gak taat pada aturan agama dan negaranaya.  Disuruh Nyembah  Pohon Pisang, Filosof Bilang Pohon Pisang cuma makananku. Disuruh sujud pada rajanya filosof bilang raja sama seperti saya.  Disuruh gabung ama masyarakatnya guna mengikuti festival kelahiran dewa pisang , Filsof bilang, kamu lebay...! Kata-kata nyeletuk dari Filosof kepada kebisaan rakyat, agama dan pemerintahannya pada masa itu dianggap menyalahi pakem.bahkan ia dijuluki...