Syari'at ( Ajaran - Ajaran Dalam Tasawuf ) |
Syari’at, Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat Untuk mencapai derajat kemuliaan menjadi kekasih Allah (waliyullah), dalam dunia sufi dikenal istilah taraqi, yaitu jalan yang ditempuh dalam melaksanakan suatu ibadat.
Taraqi merupakan pendakian menuju Tuhan melalui proses riyadhah, atau proses berlatih diri untuk bisa mengenal dan akrab dengan Allah.
Jalur ini ibarat jalan terjal yang mendaki penuh kerikil tajam.
Untuk mencapai ke tingkat kesanggupan mengenal Allah, bahkan mencapai derajat kekasih Allah, mungkin akan mengalami proses jatuh bangun. Lihat Basyar Isya, Menggapai Derajat Kekasih Allah, (Bandung: Qalbun Salim press, 1997), cet .I, h. 9.
Langkah ini merupakan sebagai jalan supaya tercapai kedudukan insan kamil yang sangat dekat dengan Tuhan.
Jalur taraqi ini ditempuh dengan menjalani perjalanan Syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.
Dalam hal ini tujuan pendakiannya adalah mencapai ma’rifatullah. Sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Kifayatu al-Adzqhiya wa Minhaj al-Ashfiya. Karya Abu Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi, sebagai berikut.
“Sesungguhnya jalan menuju akhirat itu melalui jalan Syari’at, tahriqat, dan hakikat; maka dengarlah contoh-contoh dari ketiganya.”
Tentang Syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat telah banyak dibicarakan dalam kitab-kitab tashawuf yang merupakan bagian tak terpisahkan antara satu dengan lainnya dalam kajian ini untuk mengantar dan mendahului pembicaraan selanjutnya, ada baiknya keempat bagian pokok ini diketengahkan.
Syari’at Dari segi bahasa artinya tata hukum.
Syari’at biasanya menekankan perbuatan lahir (af’al al-mukallafin). Ada tidaknya konsekuensi hukum tergantung pada perbuatan itu. Ketika suatu perbuatan betul-betul sudah menjadi tindakan konkrit, maka dengan sendirinya ia akan membawa konsekuensi hukum.
Disadari bahwa di dalam alam semesta ini tidak ada yang terlepas dari hukum. Dalam hal ini termasuk manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan, perlu diatur dan ditata sehingga tercipta keteraturan yang menyangkut hubungan antar manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Maha Pencipta.
Dalam ajaran Islam, melaksanakan aturan dan ketentuan hukum tanpa menghayati dan memahami tujuan hukum, maka pelaksanaannya tidaklah memiliki nilai yang sempurna.
Dalam kaidah ini tujuan hukum adalah kebenaran (hakikat).
Pengamalan agama oleh kaum sufi berwujud amal ragawi berupa ibadah sesuai dengan syari’ah dan berwujud aktifitas rohani.
Akan tetapi dalam proses menuju peningkatan maqam dan hal, titik berat kegiatan ditampilkan pada kegiatan rohani.
Dalam hal ini diantara sufi ada yang beranggapan bahwa syari’at hanyalah alat, oleh karena itu jika tujuan telah tercapai maka alat tidak diperlukan lagi.
Paham ini dikoreksi oleh seorang sufi juga yaitu Abu al-Qasim alQusyairi (w. 1072 M) yang menyatakan bahwa tidak benar orang menuju hakikat dengan meninggalkan syari’at.
Menurut kaum sufi, Syari’at itu kumpulan lambang yang memiliki makna tersembunyi.
Shalat misalnya, bagi kaum sufi bukanlah sekedar sejumlah gerakan dan kata-kata, tetapi lebih dari itu merupakan percakapan spiritual antara makhluk dengan khaliq. Demikian juga ibadah lain seperti haji.
Dalam aplikasinya, yang menjadi beban (taklif) ialah segala aktifitas manusia, khususnya berupa ibadah dan mu’amalah yang pada dasarnya berkenaan dengan keharusan, larangan, kewenangan untuk memilih, dengan rincian berupa hukum yang lima, yaitu wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Bagi kaum syari’ah dunia ini bukan sesuatu yang kotor, melainkan tempat untuk beramal, disamping sebagai amanat dari Tuhan.
Penetapan bahwa manusia ialah khalifah Allah di bumi berarti manusia tidak boleh meninggalkan dunia dan materi.
Bahkan dalam Al-Qur’an ada ditegaskan agar manusia tidak melupakan hidupnya di dunia ini.
Karena itu manusia harus mengolah dunia ini untuk mencari rizki sesuai dengan aturan hukum yang telah ditetapkan.
Dengan demikian cita-cita hidup manusia ialah bahagia di dunia dan akhirat. Sebagaimana kaum sufi tidaklah membenci dunia, tetapi mereka menjadikan dunia itu sebagai alat menuju Allah.
Menurut Shohibul Wafa, Tajul Arifin, pandangan kaum sufi itu tercermin dalam do’a mereka :
“Ya Allah jadikanlah dunia dalam genggaman kami dan janganlah dunia itu meresap dalam hati kami”
Ini adalah konsep zuhud yang diajarkan antara lain oleh Tarikat Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah.
Blog : Surau Tingga || Judul : Syari'at ( Ajaran - Ajaran Dalam Tasawuf )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar