Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur’an


Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur’an

Dalam literatur Barat, sufisme (tasawuf) masih sering diartikan sama persis denganmystisism (mistik), yang sekarang sudah punya konotasi lain, dan dalam beberapa hal di Indonesia sudah punya arti tersendiri pula, dan biasanya disamakan dengan kebatinan, sudah berbau jimat, dukun dan sebagainya. Bahkan ada yang menyamakan dengan syirik. 

Agaknya istilah sufism yang sering dipakai dalam literatur bahasa Inggris sudah memberi arti adanya perbedaan itu. Malah kadang diberi tambahan, misalnya Nicholson dengan kata Mystical Sufism.

Berkaitan dengan masalah itu, Al-Qur’an menjadi sumber dan dasar dari tasawuf serta amalannya, paling tidak tampak dari empat segi.

Pertama, Al-Qur’an penuh dengan gambaran kehidupan tasawuf dan merangsang untuk hidup secara sufi. 

Kedua, Al-Qur’an merupakan sumber dari konsep-konsep yang berkembang dalam dunia tasawuf. 

Ketiga, Al-Qur’an banyak sekali berbicara dengan hati dan perasaan. 

Di sini Al-Qur’an banyak membentuk, mempengaruhi, atau mengubah manusia dengan bahasa hati, bahasa sufi, agar menjadi manusia yang berkepribadian sufi yang menyatu dalam dirinya secara harmonis perasaan dekat, takut, dan cinta pada Tuhan yang tergetar hatinya saat mendengar ayat-ayat Al-Qur’an. 

Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi sumber yang sebenarnya dari metode tarekat. 

Keempat, Al-Qur’an sering menggambarkan Tuhan dengan gambaran yang hanya dapat didekati secara tepat melalui tasawuf.  

Bila gambaran itu didekati atau diterangkan dengan ilmu kalam atau filsafat akan tampak sebagai pemerkosa bahasa dan artinya menjadi dangkal. 

Pada hakikatnya, seorang ahli tasawuf Islami itu akan tunduk pada agamanya, melaksanakan ibadat-ibadat yang diperintahkan, iman itu diyakininya  dalam hati, menghadap selalu pada Allah memikirkan selalu sifat dan tanda-tanda kekuasaan Allah.

Tasawuf Islam yang lurus/benar adalah suatu usaha agar seorang mukmin dapat mencapai derajat yang benar melalui “Ihsan”. 

Ihsan dalam hadits Nabi yaitu manusia menyembah pada Allah yang seolah-olah manusia itu melihat Allah, dan jika manusia itu tidak dapat melihat-Nya, maka Allah itu melihat manusia tersebut. 

Imam Sahal Tusturi seorang ahli tasawuf telah mengemukakan tentang prinsip tasawuf, yaitu :

 “Prinsip kami ada enam macam”:
  1. Berpedoman kepada kitab Allah (Al-Qur’an). 
  2. Mengikuti Sunnah Rasulullah (Hadits). 
  3. Makan makanan yang halal. 
  4. Tidak menyakiti manusia (termasuk binatang). 
  5. Menjauhkan diri dari dosa. 
  6. Melaksanakan ketetapan hukum (yaitu segala peraturan agama Islam)”. 
Pandangan Imam Sya’rani tentang tasawuf: 
  1. Jalan pada Allah harus dimengerti dulu ilmu syari’at.
  2. Diketahuinya ilmu tersebut baik yang khusus maupun yang umum. 
  3. Memiliki keahlian dalam bidang Bahasa Arab. 
  4. Setiap ahli tasawuf haruslah sebagai seorang ahli fiqh. 
  5. Jika ada seorang wali yang menyalahi pandangan Rasulullah maka dia tidak boleh diikuti. 
Tasawuf telah mengajak kepada akhlak yang utama yang dianjurkan dalam Islam. 

Akhlak yang mulia itu dijadikan sebagai landasannya, menyucikan jiwanya dengan cara berhias diri dengan keutamaan akhlaknya yaitu berupa ‘tawadhu’ ( yaitu rendah diri atau rendah hati ), meninggalkan diri dari akhlak yang tercela, memberikan kemudahan dan lemah lembut, kemuliaan dirinya diikuti dengan sifat qana’ah (merelakan diri), menjauhkan diri dari perkara yang berat, perdebatan maupun kemarahan. Lambangnya adalah Al-Qur’an.

Bila ditinjau dari sudut bahwa Al-Qur’an penuh gambaran dan anjuran untuk hidup secara sufi, maka Al-Qur’an adalah sumber dari ajaran amaliah tasawuf.

Ini juga menunjukan bahwa Al-Qur’an standar dari cara hidup atau amaliah sufi. 

Dengan kata lain, menurut standar Al-Qur’an, ajaran tasawuf menetapkan bahwa hidup ideal secara moral harus berpijak pada pensucian hati dengan cara mengatur jarak diri dengan dunia dan dengan beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat kebaikan kepada sesama manusia (QS. 22:77).

Hidup sufi menurut Al-Qur’an bersifat seimbang dan harmonis, hidup untuk akhirat tidak melupakan dunia tapi tidak tenggelam di dalamnya.

Firman Allah  sebagai berikut:  

Bila telah selesai shalat dikerjakan, maka bertebaranlah di muka bumi dan berbisnislah mencari anugerah Allah.”  ( QS. 62:10 )

Bila kamu telah selesai melaksanakan shalat, maka dzikirlah kamu kepada Allah dengan berdiri dan duduk…” ( QS. 4:103 )

Ini jelas atas keseimbangan dalam hidup yang ditetapkan Al - Qur’an yang harus menjadi gaya hidup setiap muslim. 

Disatu pihak Al - Qur’an mendorong kasab, usaha mencari kehidupan duniawi dan membenarkan menikmati keindahan duniawi secara wajar, ( Secara umum oleh Al-Qur’an ditegaskan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu sama dengan menjadikan nafsunya sebagai Tuhan yang membuat seluruh pendengaran, penglihatan dan hatinya tertutup dari kebenaran ( QS. 45:23; 28:60; 3: 185; 57:20 ).

Dipihak lain Al-Qur’an menekankan bahwa apa yang ada pada Allah baik pahala maupun keridhoan-Nya jauh lebih berharga dari dunia.

 “Dialah yang telah menjadikan bumi mudah, maka kerjakanlah dipojok-pojoknya dan makanlah apa-apa dari rizki-Nya dan kepada-Nyalah kembali.” ( QS. 67:15 )

Wahai manusia, makanlah dari apa-apa yang telah Allah rizkikan kepadamu yang halal dan baik, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Karena, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata untukmu.” ( QS.2:168 )

Kaum sufi berusaha untuk senantiasa taqarrub (dekat) kepada Allah, hal ini sebetulnya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat  yang menunjukan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan, diantaranya:

Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka aku dekat dan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil.” ( QS. 2:186 )

Tuhan disini mengatakan bahwa Ia dekat pada manusia dan mengabulkan permintaan yang meminta. 

Oleh kaum sufi do’a disini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan orang yang ingin dekat pada-Nya. 

Timur dan Barat adalah kepunyaan Tuhan, kemana saja kamu berpaling disitu ada wajah Tuhan.” ( QS. 2:115 )

Kemana saja manusia berpaling, demikian ayat ini, manusia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikianlah dekatnya manusia kepada Tuhan. 

Ayat berikut dengan lebih tegas mengatakan betapa dekatnya manusia kepada Tuhan.

Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya.” ( QS. 50:16 ) 

Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia. 

Faham sama diberikan ayat berikut : 
 
Bukanlah kamu– tapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar, tetapi Allah-lah yang melontar.” ( QS. 8:17 )

Dapat diartikan dari ayat ini bahwa Tuhan dengan manusia sebenarnya satu. 

Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. 

Bukan ayat-ayat Al-Qur’an saja tetapi juga Hadits ada yang mengabarkan dekatnya hubungan manusia dengan Tuhan. 

Orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui Tuhan.” 

Menurut Imam Nawawi (W 676 H) bahwa hadits itu “Laisa hua bi tsabitin” (tidak bisa dijadikan penetapan hukum). Sedangkan menurut Ibnu Hajar “la ashla lahu” (tidak punya dasar). Lihat Al-Imam al-Nawawi,Fatawa al-Imam al-Nawawi, (Beirut: Dar alFikr, tt.), h. 178.

Hadits ini juga mengandung arti bahwa manusia dengan Tuhan adalah satu. 

Untuk mengetahui Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya dan mencoba mengetahui dirinya. Dengan kenal pada dirinya ia akan kenal pada Tuhan.

Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka kenal pada-Ku.”  ( Penulis belum mengetahui perawi dan kedudukan hadits ini ) 

Hadits ini mengatakan bahwa Tuhan ingin dikenal dan untuk dikenal itu Tuhan menciptakan makhluk. 

Ini mengandung arti bahwa Tuhan dengan makhluk adalah satu, karena melalui makhluk Tuhan dikenal. 

Jadi terlepas dari kemungkinan adanya atau tidak adanya pengaruh dari luar, ayat-ayat serta Hadits–hadits seperti tersebut di atas dapat membawa kepada timbulnya aliran sufi dalam Islam, yaitu kalau yang dimaksud dengan sufisme ialah ajaran-ajaran tentang berada sedekat mungkin dengan Tuhan.

Disisi lain Al-Qur’an juga penuh dengan pujian dan anjuran untuk senantiasa beribadah dengan penuh kekhusyuan siang dan malam. Al-Qur’an banyak memuji orang yang senang i’tikaf, taubat, dan hatinya senantiasa tergetar karena menyadari akan menghadap Allah Ta’ala ( QS.17:107,109 ).

Amaliah Tasawuf yang dipandang paling penting adalah dzikir.

Al-Qur’an juga menempatkan dzikir dan orang-orang yang suka dzikir setiap saat dan setiap keadaan dalam kedudukan istimewa yang mempunyai pengetahuan dan kesadaran mendalam ( Ulil Albab ) adalah orang yang senantiasa dzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk dan sambil berbaring disamping merenungi penciptaan langit dan bumi.  ( QS. 3:191; 4:103; 2:200; 33:41 dan 42 )

Dzkir merupakan konsep sentral dalam ibadah menurut tasawuf, juga adalah konsep sentral dalam ibadah menurut Al-Qur’an. 

Itulah sebabnya disamping menempatkan dzikir dalam tempat istimewa dan sistem ibadah Islam, Allah memerintahkan manusia untuk dzikir sebanyak-banyaknya.

“…dan berdzikirlah kamu semua kepada Allah sebanyak-banyaknya agar kamu sekalian mendapat kebahagiaan.” ( QS. 62:10 )

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan :

Dari Abu Musa al-Asy’ari ra: Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda, bila meninggal anak seorang hamba, maka Allah berfirman pada malaikat-Nya, kamu telah mencabut anak hamba-Ku. Mereka menjawab “ya”. 

Allah berfirman, kamu ambil buah hatinya, mereka menjawab “ya”. 

Kemudian Allah bertanya Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku? Dia memujimu dengan istirja ( Mengembalikan kepada Allah dengan mengucapkan : Inna lillahi Wa inna ilaihi raji’un ketika tertimpa musibah )

Maka Allah berfirman  Bangunkanlah untuk Hamba-Ku ini sebuah rumah di Surga dan berilah namanya dengan nama rumah pujian” ( HR. Ibnu Hibban, Abu Daud, dan Imam Ahmad serta Imam al Turmudzi ).

Hampir semua konsep dalam tasawuf berasal dari Al-Qur’an. Konsep-konsep maqamat seperti taubat, sabar, rido, tawakkal, khalwat, dan dzikir, semuanya diambil dari Al-Qur’an. 

Demikian juga halnya, konsep-konsep yang berkaitan dengan tasawuf nadzari seperti hubb, musyadah, kasyf, dan ilmu laduni. 

Konsep-konsep kejiwaan yang beredar dikalangan tasawuf pun berasal dari Al-Qur’an, seperti : nafsu, ammarah, lawwamah, dan mutma’innah. 

Oleh karena itu, sangat mengherankan pandangan yang mengatakan bahwa tasawuf Islam bersumber dari luar Al-Qur’an. 

Konsep lain dalam tasawuf yang berasal dari Al-Qur’an adalah al-shabr (sabar). Kata al-shabr dengan kata-kata jadiannya seperti al-shabir, al-shabirin, ishbir, shabara, dan seterusnya banyak bertebaran dalam Al - Qur’an yang diungkapkan dalam berbagai kaitan. 

Tampaknya, esensi sabar dalam Al-Qur’an menunjukan sifat daya tahan atau kemampuan jiwa untuk memikul tekanan beban penderitaan, kesulitan, atau perjuangan dengan perasaan tegar dan kuat. 

Oleh karena itulah, konsep sabar menjadi bagian yang amat penting dan begitu akrab bagi kehidupan tasawuf. 

Sifat sabar dipuji Al-Qur’an sebagai sifat para Rasul ‘alaihimus salam’.

Ayat - ayat Al - Qur'an, disamping mengandung pujian atas sifat kesabaran para Rasul, juga memerintahkan kepada Rasul terakhir untuk mempunyai sifat demikian. 

Ada 25 kali perintah sabar dari Allah dalam berbagai keadaan. 

Ini mengandung pengertian , di satu sisi bahwa sabar yang merupakan konsep yang penting dalan tasawuf, juga menunjukan bahwa konsep-konsep tasawuf adalah dari esensi ajaran Al-Qur’an.

Menurut Al-Qur’an, sabar sifat yang amat baik bagi para pemiliknya ( QS. 13:24; 16:126; 4:25; 49:5 ). 

Sabar ada yang berkaitan erat dengan tawakkal ( QS. 16:42; 29:59; 14:12 ) dan yang berkaitan dengan amal shalih pada umumnya ( QS. 11:11 ).

Salah satu jenis orang yang sangat dicintai Tuhan adalah orang yang bersabar. ( QS. 3:146 )

Hanya pahala sabar dinyatakan Al-Qur’an tidak dapat dihitung. ( QS. 39:10 )

Bahkan Al-Qur’an menyatakan adanya kebersamaan Allah dengan orang-orang bersabar. ( QS. 2:153 ) 

Dan itulah sebabnya sabar adalah sejajar dengan kebenaran yang dua-duanya merupakan ajaran yang mesti saling dipesankan sesama orang beriman agar hidup tidak merugi. ( QS.103:1-3 )

Termasuk konsep Sufi yang urgen adalah masalah ridha dan tawakkal. 

Kedua konsep ini juga berasal dari Al-Qur’an yang dikembangkan oleh para sufi. 

Dalam tasawuf penekanan penggunaan kata ridha adalah ridha hamba pada Tuhan, sedangkan Al-Qur’an menyebutkan hal itu secara timbal balik, ridha Tuhan pada manusia, dan ridha manusia pada Tuhan.

Firman Allah yang menyebutkan: " “Allah ridha atas mereka dan mereka juga ridha kepada-Nya.” (QS. 5:119; 9:100; 58:22; 98:8 ). 

Dengan kata lain, Al-Qur’an menyatakan bahwa hamba Allah yang shalih akan kembali kepada-Nya dengan rela dan direlai oleh-Nya. 

Dari sini jelas sekali bahwa konsep ridho dalam tasawuf baik dalam arti sebagai sebuah nama fase perjalanan sufi menuju Tuhan-Nya, maupun sebagai sesuatu yang jadi dambaan Hamba ternyata bersumber dari Al-Qur’an. 

Konsep tasawuf yang cukup banyak sumbernya dari Al-Qur’an adalah mengenai tawakkal. 

Menurut Imam Al-Qusyairi bahwa tempat tawakkal adalah hati, sedangkan gerakan lahiriah tidak menanggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang dari Allah SWT., hingga jika sesuatu didapati kesulitan maka ia akan melihat takdir di dalamnya, dan jika sesuatu dimudahkan kepadanya maka ia melihat kemudahan dari Allah SWT di dalamnya.

Tentang hakekat tawakkal, Ibnu ‘Atha mengungkapkan, “Tawakkal adalah, hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipun engkau sangat membutuhkannya, dan hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung kepada kebutuhan - kebutuhan duniawi itu.

Istilah tawakkal itu bukan sesuatu yang asing dalam Islam, tetapi sepenuhnya dari sifat nilai Islam. 

Walaupun perlu diakui adanya kecenderungan dikalangan beberapa sufi untuk memberi tekanan fatalistik pada konsep tawakkal itu.

Sebenarnya masalah Tawakal itu sendiri harus memiliki keyakinan yang kuat, dan memang hal ini Allah telah berfirman, yang artinya:

Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah cukup sebagai penolongnya” ( QS. 65:3 ).

Ini berarti bahwa Allah akan cukup baginya untuk diminta segala macam pertolongan dari segala macam kebutuhan yang akan diminta oleh orang itu.

Disamping itu Al-Qur’an juga menjadi sumber dari konsep - konsep al-madzaqat dalam tasawuf. 

Konsep itu berkaitan dengan rasa yang amat dalam dari pengalaman keagamaan sufi seperti Al-Hubb, al-ma’rifat, al-kasf, al-‘ilm al-laduny, dan yang sejenisnya. 

Al-Hubb yang menggambarkan cinta yang amat dalam pada Tuhan yang membuat sufi tertentu mabuk dan mendapat balasan cinta dari Tuhan bukanlah barang bid’ah tetapi bersumber dan dipuji Al-Qur’an. 

Bahkan, Al - Qur’an mencela orang yang mencintai harta benda atau mencintai sesuatu melebihi cintanya pada Tuhan.

Dalam pengertian ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar dari pada cinta kepada yang lainnya. Orang yang sudah cinta atau mahabbah kepada Allah, maka Allah juga cinta kepada orang itu ( QS. 2:165; 5:54 ). 

Cinta kasih Allah kepada hamba-Nya berarti Allah memberikan nikmat dan Ridha-Nya kepada mereka. Allah SWT mengaruniai pahala dan nikmat yang besar kepada mereka baik di dunia maupun di akhirat. 

Cinta sebagai anugerah Illahi menuntut manusia agar mencintai Tuhan sebagai pengejawantahan sempurna dari semua nilai moral, yang lebih penting dari segala sesuatu yang lain.

Sebagai bentuk perintah Allah, agar manusia berlaku baik dan mencintai orang tua, terutama kepada ibu yang telah mengandung dan melahirkannya dengan susah payah.

Kewajiban mencintai itu diperluas lebih jauh hingga meliputi kerabat, anak-anak yatim, orang-orang yang membutuhkan, tetangga yang dekat dan jauh, dan para musafir.

Kebaikan adalah membelanjakan sebagian dari harta yang kita cintai untuk Tuhan, teman, anak-anak yatim, orang yang membutuhkan, musafir, dan fakir miskin.

Nabi mengasihi orang-orang yang beriman, dan semua ciptaan, selalu ramah dalam bergaul dengan masyarakat.

Salah satu ciri dan akhlak orang-orang yang beriman adalah bahwa mereka berlaku kasih sayang dan mencintai satu sama lain lainnya, mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan selalu siap memaafkan, mereka juga ramah terhadap sesamanya, memaafkan dan mau melupakan kesalahan orang lain, meskipun mereka dalam keadaan marah.

Blog : Surau Tingga || Judul : Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur’an


Tidak ada komentar:

Posting Komentar