Hikmah Perjalanan Tahap Pertama Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.


Hikmah Perjalanan Tahap Pertama  Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Hikmah Perjalanan Tahap Pertama  Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Perjalanan tahap pertama ini, yaitu tahap pencarian seorang murid untuk menemukan guru pembimbing (mursyid) dalam rangka meningkatkan kualitas ilmu yang sudah dimiliki. 

Perjalanan dua karakter tersebut (karakter Musa dan karakter Khidhir) hendaklah dijadikan sebagai i‘tibar dan muqoddimah dari sebuah perjalanan spiritual yang akan dilakukan. 

Perjalanan tersebut sebagai dasar yang harus diketahui, dijadikan kajian dan landasan oleh seorang salik untuk menjadi bekal bagi usaha dan tahapan pencarian yang berikutnya. 

Ilmu yang sudah dimiliki adalah ilmu teori, sedangkan ilmu yang dicari adalah penerapan ilmu itu dalam menghadapi kejadian yang aktual secara aplikatif, baik untuk urusan vertikal maupun horizontal.  

Tahap pertama ini, seorang murid harus mampu melaksanakan beberapa hal: 

1) Niat yang kuat dan bekal secukupnya. 

Seorang salik harus meninggalkan dunia yang ada di sekitarnya, mengadakan perjalanan panjang mencari guru mursyid untuk belajar Ilmu Laduni darinya, hal itu dilakukan semata atas petunjuk dan hidayah Allah Ta‘ala. 

Oleh karena tahap ini adalah tahap awal, maka terkadang datangnya petunjuk tersebut boleh jadi melalui mimpi-mimpi yang benar, karena mimpi yang benar adalah empat puluh lima persen bagian dari alam kenabian. 

2) Perjalanan itu adalah perjalanan antara dua dimensi ilmu pengetahuan
"Hai Musa, Aku dengan ilmu dari ilmu Allah yang mengajarkannya kepadaku tapi tidak diajarkannya kepadamu sedangkan engkau dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah mengajarinya kepadamu akan tetapi tidak diajarkannya kepadaku". 
Ilmu Nabi Musa adalah ilmu syari‘at sedangkan ilmu Nabi Khidhir adalah ilmu hakikat

Hakikat perjalanan itu adalah bentuk pelaksanaan "thoriqoh" (perjalanan spiritual) yang harus dijalani oleh seorang salik

Sebab, tanpa pelaksanaan thoriqoh mustahil seorang hamba dapat menemukan apa-apa yang dicari dalam hidupnya. 

3) Ada tempat pertemuan yang ditentukan, yaitu tempat pertemuan antara dua samudera ilmu pengetahuan. 

Itulah titik klimaks sebuah proses peningkatan tahapan pencapaian secara ruhaniyah, dimana saat itu hati yang sudah lama mati "berkat mujahadah yang dijalani" kadang-kadang menjadi hidup lagi. 

Adalah suatu saat, ketika kondisi seorang seperti dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar bahkan sedang tidur, atau kesadaran itu sedang diliputi oleh sesuatu padahal sesungguhnya dalam keadaan sadar : 
"Ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya". Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar". (QS. anNajm : 16-18).
4) Tujuan yang jelas ialah; dengan ilmu syari‘at yang sudah dimiliki, Nabi Musa ingin mendapatkan ilmu hakikat melalui Nabi Khidhir

Yang demikian itu adalah hakikat pelaksanaan "tawasul secara ruhaniyah" dari seorang murid kepada guru mursyidnya, supaya sampainya harapan kepada Allah Ta‘ala melalui guru mursyid (Nabi Khidhir as.). 

Sebab, yang dinamakan "Ilmu Laduni" itu adalah ilmu yang didatangkan dari Allah Ta‘ala bukan dari makhluk-Nya, maka fungsi guru adalah bagaimana seorang murid dapat menemukan sumber Ilmu Laduni tersebut yang ada dalam hatinya sendiri. Jalannya, yaitu melaksanakan mujahadah yang dijalankan bersama. 

5) Bahwa sesungguhnya, seperti juga ilmu Nabi Musa, ilmu Nabi Khidhir adalah hanya sebagian kecil daripada ilmu Allah Ta‘ala yang maha luas; 

Air yang ada di paruh burung itu ibarat ilmu yang telah dikuasai seluruh makhluk di alam ini sedangkan air di seluruh samudera adalah ibarat ilmu Allah dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala hakikat perkara.  

6) Fungsi Nabi Khidhir adalah sebagai guru pembimbing (guru mursyid) supaya seorang murid (Nabi Musa as.) mendapatkan Ilmu Laduni yang diharapkan dari Tuhannya. 

Yang demikian itu, betapapun Ilmu Laduni adalah ilmu yang didatangkan dari Allah Ta‘ala langsung di dalam hati seorang hamba, tapi cara mendapatkannya haruslah melalui sebab bimbingan manusia, bahkan dari sebab diwarisi guru mursyidnya.  

Konkritnya, sumber Ilmu Laduni yang diharapkan dapat terbuka di dalam hati seorang salik tersebut, haruslah dibuka berkat rahasia-rahasia (sir) hati seorang hamba yang hubungannya dengan pusat sumber ilmu itu telah terlebih dahulu terbuka. 

Maksudnya, hati manusia tidak mungkin mendapatkan "futuh" (terbukanya pintu hati untuk menerima Ilmu Laduni serta rahasia ma‘rifatullah) kecuali melalui "futuh guru mursyidnya". 

Allah Ta‘ala mengisyaratkan yang demikian dengan firman-Nya:
"Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong". (QS. al-Isro‘ : 80). 
dan firman-Nya : 
"Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam hambahamba-Mu yang saleh". (QS. an-Naml : 19). 
dan firmanNya: 
"Hai jiwa yang tenang - Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah di dalam hamba-hamba-Ku - dan masuklah ke dalam surga-Ku". (QS. al-Fajr : 27-30)
Sekarang kita mengikuti ayat-ayat tersebut di atas (al-Kahfi ayat 60 s/d ayat 82) secara tafsiriyah: 

"Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun - tahun * Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu * Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" * Muridnya menjawab : "Tahukah  kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu  tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu  mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh  sekali." * Musa berkata : "Itulah (tempat) yang kita  cari".  Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak semula". (QS. 18/60-64). 

Allah SWT. mengabarkan kepada Nabi Musa as. perihal orang Alim ini, Nabi Khidhir as. tapi tidak menunjukkan dengan jelas dimana tempat tinggalnya berada. Yang demikian itu supaya Nabi Musa as. mampu mencarinya sendiri. 

Seperti itu pula yang dialami para Ulama‘ terdahulu dalam menuntut ilmu kepada gurunya. 

Sebagai seorang murid mereka harus siap menghadapi segala konsekuensi yang ditimbulkan akibat usahanya dalam rangka mencari ilmu dari gurunya. 

Mereka melaksanakan perjalanan jauh mendatangi tempat gurunya dengan berjalan kaki. 

Hal itu kemudian mampu membentuk kesiapan mental ruhani yang dapat mempermudah menyerap ilmu dari guru-gurunya.  

Ini adalah ujian pertama yang harus dijalani, Nabi Musa as. kemudian menjawab tantangan itu dan berkata: "Aku tidak akan berhenti mencarinya sampai batas pertemuan dua lautan atau bila perlu akan aku habiskan waktu dan usiaku hingga aku dapat menemuinya". 

Ini adalah kesanggupan yang sangat luar biasa dari seorang Nabi Bani Isra‘il yang utama itu, Beliau meninggalkan dunia rame dan umatnya, siap melaksanakan pengembaraan dan menjalani penderitaan yang bagaimanapun beratnya. 

Yang demikian itu mengandung pelajaran: Bahwa dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan, meski hanya untuk mencari "suatu penyelesaian" dari satu permasalahan saja, seseorang harus rela melakukan perjalanan dari arah barat ke arah timur umpamanya, yang demikian itu adalah hal wajar. 

Firman Allah SWT. yang menunjukkan kesanggupan seorang murid yang luar biasa itu dalam rangka "mencari guru" tersebut ialah: 
(Laa abrohu sampai. au amdhiya huquban). lafad. “laa abrohu”,
 artinya tidak berhenti-henti mengikuti jarak tempat atau dimensi ruang. adapun lafad “au amdhiya huquban” artinya tidak berhenti-henti mengikuti dimensi zaman. 

Jadi, arti pernyataan Nabi Musa as. itu adalah sebagai berikut: "Meskipun bumi sudah terlewati tapi belum juga dia menemukan orang yang dicari itu, maka umurnya yang akan dihabiskan di dalam perjalanan itu". 

Itu mengandung suatu pelajaran bahwa untuk mendapatkan Ilmu Laduni orang harus mempunyai kemauan yang sangat keras. Seakan-akan bila perlu seluruh kesempatan dan seluruh umurnya dipertaruhkan untuk itu. 

Firman Allah Ta’ala :
"Majma'al bahroini", (pertemuan antara dua lautan). 

Kalau perjalanan yang dilaksanakan itu perjalanan darat di alam lahir, maka pertemuan  antara dua lautan itu barangkali adalah pertemuan antara laut Paris dan laut Roma. 

Namun jika yang dimaksud perjalanan itu adalah pengembaraan ruhaniyah seorang hamba kepada Tuhannya, maka pertemuan dua lautan itu adalah batas antara lautan alam akal dan lautan alam hati/ruhaniyah, atau batas antara rasio dan rasa atau batas pertemuan antara ilmu syari‘at dan ilmu hakikat

Di dalam batas pertemuan dua alam itulah "Potensi Interaksi Ruhaniyah" antara dua alam dapat terkondisi dan rahasia-rahasia Ilmu Laduni mulai dapat dicermati, karena disitulah tempat pertemuan antara dua sosok tersebut, sosok Musa dan Khidhir sebagai sosok karakter bukan sebagai sosok personal. 

Karakter-karakter itu harus mampu menjadi karakter dirinya terlebih dahulu. 

Dengan dasar karakter Musa (ilmu syari‘at yang kuat), seorang salik harus menempuh perjalanan ruhaniyah—dengan Thoriqoh yang dijalani, sampai menemukan titik kulminasi antara dua karakter tersebut, menuju karakter Khidhir (ilmu hakikat) yang luasnya bagai samudera yang tidak bertepi. 

Adalah perjalanan dan pengembaraan ruhaniyah yang harus dijalani seorang salik, menempuh segala rintangan dan tantangan, menyelesaikan segala tahapan pencapaian. 

Dari pengalaman perjalanan spiritual tersebut, dengan izin Allah Ta‘ala seorang salik mampu menemukan rahasia sumber Ilmu Laduni

Oleh karena itu, seorang santri dituntut tidak harus pandai membaca kitab kuning saja, tapi lebih dari itu. 

Setelah dia menguasai kitab-kitab kuning tersebut "yang dipelajari di Pondok pesantren" dengan baik, para santri itu harus menempuh suatu perjalanan ibadah dengan terbimbing. 

Mereka harus menjalankan thoriqoh mengikuti guru mursyid yang suci lahir batin lagi mulia. 

Menyelesaikan tahapan-tahapan pencapaian dengan bimbingan gurunya, baik secara lahir (jasmaniyah) maupun batin (ruhaniyah). 

Mengamalkan ilmu syari‘at yang sudah dimiliki untuk membentuk karakternya menjadi karakter Khidhir. Karakter seorang hamba yang mampu berma‘rifat kepada Tuhannya.  

Kalau tidak demikian, maka ilmu membaca kitab kuning tersebut, boleh jadi tidak dapat membuahkan kemanfaatan yang berarti. 

Bahkan karena sudah bertahun-tahun hidup dalam gemblengan alam pondok pesantren yang khusus, setelah kembali kepada masyarakat umum yang alamnya berbeda, yang bisa diperbuat para alumnus santri itu terkadang hanya ketidak mengertian. 

Mengamalkan ilmu kepada masyarakat umum ternyata jauh lebih sulit daripada mencarinya

Bahkan seringkali mereka akhirnya terjebak dengan salah paham. 

Orang lain yang latar belakang kehidupannya berbeda harus sama dengan dirinya, kalau tidak, berarti orang tersebut dianggap salah.  

Akibatnya, ilmu-ilmu yang disampaikan kepada masyarakat kurang mendapatkan penerimaan yang baik. Ilmu itu hanya membuahkan kebingungan yang berkepanjangan bagi masyarakatnya. 

Demikianlah yang terjadi dalam fenomena, sehingga kebanyakan alumni pondok pesantren tersebut "di lingkungan masyarakat yang heterogen" kadang-kadang kurang mendapatkan tempat yang terhormat di hati masyarakatnya.  

Bukannya mereka gagal mendapatkan ilmu saat digembleng di ponpes (kawah candradimuka), tapi penerapan ilmu yang sudah dimiliki kepada masyarakat umum dan awam adalah membutuhkan perangkat ilmu lagi, untuk itulah Ilmu Laduni dibutuhkan. 

Karena dengan rahasia ilmu laduni yang sudah dimiliki, seorang hamba akan mendapatkan transfer ilmu pengetahuan yang aktual dan aplikatif secara berkesinambungan sesuai yang dibutuhkan umat saat itu. 

Dengan demikian, para Kyai muda itu akhirnya dapat diterima di masyarakatnya dengan penerimaan yang baik. 

Bukannya ilmu membaca kitab kuning itu tidak berguna bila diterapkan kepada masyarakat umum, akan tetapi kualitas cara menyampaikannya harus lebih ditingkatkan. 

Manakala isi kitab kuning itu dapat disampaikan dengan cara yang arif dan penuh "rahmatan lil alamin", maka bagaikan mata air yang tidak berhenti memancarkan air, seorang santri akhirnya menjadi Ulama‘ yang disegani di tengah masyarakatnya. 

Karena kitab-kitab kuning itu "hasil jerih payah Ulama salaf yang mulia" adalah bagaikan gudang perbendaharaan ilmu yang tidak mungkin dapat habis untuk selama-lamanya. 

Apabila ilmu kitab kuning itu dipadukan dengan penguasaan rahasia Ilmu Laduni dalam hatinya, maka hasil karya yang utama itu akan menjadi relevan sepanjang zaman. 

Namun sebaliknya, apabila penguasaan karakter Khidhir tanpa didasari penguasaan karakter Musa dengan kuat, maka manusia cenderung berbuat semaunya sendiri karena telah merasa benar sendiri. 

Mereka menjadi sembrono dan cenderung meninggalkan syari‘at. Seperti, sering kali timbulnya pernyataan di masyarakat: "Kalau sholat itu untuk dzikir (ingat) kepada Allah, seperti firman-Nya: "Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (QS. Toha : 14)., maka, menurut mereka, kalau sudah dapat ingat kepada Allah, mengapa harus melaksanakan sholat lagi..?". 

Yang demikian itu karena penguasaan ilmu hakikat tanpa dilandasi penguasaan ilmu syari‘at yang kuat. 

Memang benar, tanpa mampu meninggalkan syari‘at, orang tidak mungkin dapat merasakan manisnya hakekat, karena syari‘at itu ibarat kulit dan hakekat itu adalah isinya. 

Seperti contoh makan durian misalnya, orang yang mau makan buah durian bukannya harus meninggalkan buah durian, tapi melepaskan tangannya dari kulit durian untuk mengambil buahnya. 

Jadi, untuk merasakan hakekat sholat itu tidak dengan meninggalkan sholat, tetapi melepaskan kulitnya sholat supaya orang dapat menikmati isinya sholat. 

Apabila amal ibadah yang dilakukan salik tersebut tanpa mendapatkan bimbingan seorang guru mursyid yang ahlinya, maka bisa-bisa mereka malah mengaku sebagai guru mursyid padahal tidak pernah berguru kepada seorang guru mursyid secara lahir dan langsung. 

Katanya mereka berguru dari hasil mimpi-mimpi, yang tentunya kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.  

Akibatnya, keberadaan mereka dimana-mana selalu membuat fitnah di tengah masyarakatnya, karena statemen (pernyataan) yang disampaikan selalu membingungkan orang lain. 

Selanjutnya, sebagaimana yang marak sekarang, aliran sesat berkembang dimana-mana. 

Kalau yang demikian itu dampaknya tidak segera diantisipasi dengan cermat, maka penyakit tersebut akan cepat menyebar di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya dapat merusak aqidah masyarakat yang kurang kuat. 

Sebagai umat Muhammad saw., pelaksanaan sholat "baik yang wajib maupun yang sunnah" adalah tanda-tanda dan ukuran yang mutlak, apakah pola pikir dan jalan hidup seseorang itu benar atau tidak, bahkan orang dinilai sebagai orang Islam atau orang Kafir hanya dilihat dari melaksanakan sholat atau tidaknya. 

Meskipun seseorang telah mendapatkan kelebihan-kelebihan seperti karomah para waliyullah umpamanya, kalau dia meninggalkan sholat dengan sengaja berarti orang tersebut telah tersesat jalannya. Orang itu telah terjebak tipu daya setan yang terkutuk dan kelebihan-kelebihan itu hanyalah "istidroj" belaka. 

Sebab, seluruh para Nabi dan para Rasul serta para Waliyullah melaksanakan sholat, bahkan Rasulullah Muhammad saw.—sebagai panutan umat manusia sepanjang zaman, beliau melaksanakan sholat berjama‘ah lima waktu bersama para Sahabatnya yang mulia

Ilmu Laduni itu tidak selalu identik dengan kelebihan-kelebihan (karomah), tapi dengan apa yang sudah didapatkan, baik ilmiyah, amaliyah maupun karomah, dengan itu bagaimana seorang hamba dapat mengenal (ma‘rifat) kepada Tuhannya. 

Oleh karena itu, pelaksanaan thoriqoh yang benar adalah kebutuhan yang mutlak adanya, supaya seorang salik mampu mendapatkan Ilmu Laduni yang diharapkan.

Blog : Surau Tingga || Judul : Hikmah Perjalanan Tahap Pertama Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar