Ciri-Ciri Khusus dan Karakteristik Waliyullah |
Berkaitan dengan masalah karamah (kemuliaan) waliyullah ini, Ibnu Athaillah mengungkapkan bahwasanya Allah memuliakan manusia dengan tiga hal, yaitu :
1. Allah menjadikan manusia sebagai ahli dzikir kepada-Nya. Seandainya tidak ada karunia Allah, maka manusia bukan ahli dzikir untuk menjalankan (membiasakan) dzikir kepada-Nya.
2. Allah menjadikan manusia sebagai orang yang dikenal (ma’rifat) dengan sebab dzikirnya itu manakala Allah menyatakan nisbah-Nya kepada orang tersebut.
3. Allah menjadikan manusia sebagai orang yang disebut di sisi-Nya sehingga sempurnalah nikmat-Nya atas orang tersebut.
Berkenaan dengan karakteristik waliyullah, Imam al-Syaukani menyebutkan tentang kepribadian waliyullah dari segi tanda-tanda dan ciri-ciri khasnya, yaitu :
1. Do’anya senantiasa maqbul (diterima).
2. Ridha pada ketentuan Allah dalam segala hal.
3. Selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya (senantiasa bertakwa kepada Allah).
4. Zuhud dalam menghadapi dunia, dan menghindari tamak.
5. Tidak cenderung dengan kelezatan-kelezatan dunia, tidak berlomba menumpuk-numpuk harta kekayaan dan kedudukan dalam mencari nama hormat.
6. Apabila mendapat rizki yang sedikit maka bersyukur, dan apabila memperoleh rizki yang banyak maka bersyukur pula.
7. Dalam menerima pujian dan cacian dari orang lain memandang sama (batinnya tidak goyah), demikian pula dalam menerima kekayaan dan kefakiran tidak mempengaruhi keimanannya baik secara lahiriyah maupun batiniyah.
8. Tidak membanggakan diri (takabur) atas karunia Allah yang telah dia terima, namun dirinya merasa tawadhu’ (rendah diri kepada Allah dan rendah hati terhadap sesama manusia).
9. Mempunyai akhlakul karimah (akhlak yang terpuji), yakni mulia persahabatannya, besar lapang dadanya, dan suka berkorban demi umat Islam dan sesamanya dengan mengharapkan ridha Allah SWT.
Dari paparan yang dikemukakan Imam al-Syaukani tersebut, pada dasarnya karakteristik waliyullah itu adalah :
Pertama, memelihara ketakwaannya kepada Allah dan berakhlak mulia.
Hal ini karena tidak ada manusia yang paling mulia di sisi Allah melainkan orang yang benar-benar takwa kepada-Nya.
Yakni orang-orang yang konsekuen dalam menjaga nilai-nilai ketakwaan. ( QS. 49:13 )
Kedua, Syukur dan ridha atas kehendak Allah.
Kedua hal ini merupakan perbuatan yang sangat terpuji karena berhubungan dengan kerelaan hati seseorang dan sikap lapang dada sehingga menimbulkan ketenangan batin bagi yang memilikinya.
Hakikat syukur ada tiga hal, yaitu :
- Mengakui segala nikmat yang datang dari Allah, meskipun diterima melalui tangan manusia. Karena hal ini pada hakikatnya manusia digerakkan untuk meneruskan nikmat itu oleh Allah.
- Membesarkan syukur atas nikmat yang telah Allah anugerahkan (senantiasa bersyukur kepada-Nya).
- Mempergunakan segala nikmat untuk berbuat kebajikan dan kemaslahatan (mempergunakannya untuk beribadah).
Mensyukuri nikmat Allah merupakan suatu hal yang tidak boleh dilupakan oleh setiap manusia.
Allah sendiri telah mengeluarkan tantangan kepada manusia dipersilahkan menghitung nikmat (pemberian) Allah yang ada pada diri manusia, dengan firman-Nya:
“Dan seandainya kamu sekalian menghitung nikmat Allah (yang diberikan itu), niscaya tidak dapat kamu hitung” ( QS. 14:34 )
Demikian pula sifat ridha atas keputusan Allah merupakan hal yang perlu dimiliki manusia yang bertakwa.
Menurut Abdul Qadir Jailani menyebutkan bahwa apabila manusia ingin memiliki sifat ridha maka harus selalu ingat akan kematian, karena hal itu bisa meringankan musibah dan malapetaka.
Dengan demikian akan menemukan manisnya rela dan ketaatan kepada Allah.
Jadi pada intinya sifat syukur dan ridha kepada Allah itu akan mendatangkan kebahagiaan seseorang yang memilikinya.
Ketiga, Bersikap zuhud terhadap dunia.
Zuhud secara etimologi berarti tidak suka akan sesuatu.
Maksud dalam pemahaman ini adalah memandang dunia sebagai sesuatu yang pasti hancur dan dipandang kecil bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Sedangkan zuhud secara terminologi berarti tidak ada perhatian kepada yang lain kecuali Allah.
Oleh karena itu orang yang zuhud merasakan sesuatunya hanya kepada Allah.
Al-Hujwiri menyatakan bahwa para waliyullah itu disucikan dari hawa nafsu sehingga segenap pikirannya tertuju kepada Allah saja.
Oleh karena itu zuhud bisa mengendalikan hawa nafsu.
Diriwayatkan dari Abu ‘Ubaidah bin Abi Safar dari Syihab bin ‘Ubbad dari Khalid bin Amr al-Qurasyi dari Sufyan al-Tsauri dari Abi Hazim dari Sahal bin Sa’d al-Sa’idi dia berkata : Seorang laki-laki menghadap Nabi SAW dan berkata : “Ya Rasulullah! Tunjukkanlah kepada saya satu amalan yang apabila saya amalkan maka Allah dan manusia akan senang kepada saya” Nabi SAW bersabda: “Iz-had fiddun-yaa yuhibbukallahu waz-had fiimaa aidinnaasi yuhibbuuka”. ("Berlaku zuhudlah engkau di dalam dunia, niscaya engkau disenangi Allah, dan berlaku zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, niscaya engkau akan disenangi manusia”). ( HR. Ibnu Majah ).
Berkenaan dengan pembagian zuhud, Imam Ahmad bin Hanbal membaginya kepada tiga macam :
- Meninggalkan yang haram. Ini zuhudnya orang awam.
- Meninggalkan yang tidak berguna dari yang halal. Ini termasuk zuhudnya para waliyullah dan orang khawas.
- Meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT. Ini zuhudnya ‘arifin.
Keempat, mempunyai sifat mahabbah kepada Allah.
Mahabbah berarti kecenderungan tabi’at kepada sesuatu karena keadaan itu amat lezat bagi orang yang mencintai.
Adapun cinta hamba Allah ialah merasakan kecintaannya itu dari hati yang amat halus, dan cintanya kepada Allah tidak terlepas dari memuji kepadaNya.
Dengan demikian waliyullah itu menyadari eksistensi dirinya, yakni sadar bahwa cinta menuntutnya agar senantiasa mahabbah kepada Allah sebagai pengejawatahan sempurna dari semua nilai moral Q
Sa’id bin Jubair menerima haidts dari Ibnu Abbas tentang surat Yunus ayat 62, berkata Ibnu Abbas: “Waliyullah adalah orang-orang yang diingatkan Allah melalui mimpi mereka”.Ibnu Jarir menerima hadits dari Abu Hisyam al-Rifa’i, dari Abu Fudlail, dari bapaknya, dari ‘Umarah bin al-Qa’qa’ al-Dlabiy, dari Abi Zur’a, dari Amr bin Hamzah al-Bajali, dari Abi Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Diantara hamba-hamba Allah ada yang dipandang para nabi dan syuhada berbahagia”. Rasulullah SAW ditanya : “Siapakah mereka itu Rasulullah? Mudah-mudahan kami mencintai mereka.” Rasulullah bersabda: “Mereka adalah segolongan manusia (kaum) yang saling mencintai karena mengharap ridha Allah bukan karena harta dan keturunan, wajah-wajah mereka bercahaya, dan cahayanya di atas singgasana, mereka tidak mempunyai perasaan takut ketika manusia yang lain merasa takut, dan tidak merasa sedih ketika manusia yang lain merasa sedih.” Kemudian Rasulullah membacakan surat Yunus ayat 62: “Ketahuilah, sesungguhnya para waliyullah itu tidak mempunyai perasaan takut dan sedih”.
Di dalam hadits yang disebutkan di atas mengandung pemahaman bahwasanya ada sebagian hamba-hamba Allah yang dinamakan waliyullah.
Hal ini terlihat dari ucapan Rasulullah SAW pada hadits di atas yang membacakan firman Tuhan surat Yunus ayat 62.
Nampak pada diri para waliyullah itu sifat saling mencintai karena Allah, bukan karena harta dan keturunan (hubungan nasab), di wajah mereka terkandung sinar keimanan.
Oleh karena itu mereka tidak dihinggapi rasa takut dan sedih ketika orang-orang lain merasakan ketakutan dan kesedihan.
Diungkapkan di dalam surat Yunus ayat 63 bahwa para waliyullah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Hal itu menunjukkan orang yang mulia menurut pandangan Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. ( QS. 49:13 ).
Dengan demikian, menurut pengertian Al-Qur’an bahwa yang dinamakan waliyullah itu ialah orang mukmin yang senantiasa bertakwa. Dan takwa merupakan hasil dari keimanan dan ibadah kepada Allah SWT. ( QS. 2:21 ).
Blog : Surau Tingga || Judul : Ciri-Ciri Khusus dan Karakteristik Waliyullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar