Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )


Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )
Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )

Berkaitan urusan pribadi yang terjadi pada diri Rasul Muhammad saw., suatu saat Allah Ta‘ala berfirman kepadanya: 
"Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan". (QS. an-Nahl : 127)
Ibnu Zaid berkata: "Ayat ini adalah menghapus ayat-ayat perang". Sedangkan Ulama‘ Jumhur berpendapat: "Itu adalah pelaksanaan ilmu hikmah". 
Artinya sabarlah terhadap kesalahan mereka dengan memberi pengampunan. Artinya, jangan kejahatan dibalas dengan kejahatan". (Tafsir Qurthubi)  

Maksudnya, tidak bersedih dan tidak sempit dada terhadap kejahatan orang-orang yang belum mau beriman adalah bukan sesuatu yang dapat dimengerti secara teori rasional ilmiah saja, tapi juga yang dirasakan di dalam hati, itulah yang dimaksud sabar

Orang sudah mengetahui dan memahami ayat ini, bahwa dia harus bersabar terhadap kejahatan orang-orang yang memusuhinya, tidak boleh bersedih dan sempit dada, namun penerapan sikap hati tersebut tentunya tidak semudah mengetahuinya.  

Betapapun seseorang telah pandai memberi nasehat kepada orang lain tentang teori sabar misalnya, namun ketika dirinya sendiri yang terkena musibah, orang tersebut belum tentu mampu berbuat bersabar menghadapi musibahnya itu. 

Seperti itulah gambaran pemahaman tentang Ilmu Laduni

Maksudnya, disamping yang dimaksud Ilmu Laduni itu harus diketahui secara teori ilmiah, namun hakekat "Ilmu Laduni' adalah merasakan keadaan hati yang dinamakan sabar itu, yaitu kemampuan diri dalam menerima keadaan yang tidak bersesuaian dengan kemauan hatinya sendiri.  

Yakni kemampuan hati untuk meredam gejolak nafsu angkara murka, menahan panasnya bara kemarahan dan mematikan api dendam, atas kesakitan yang diakibatkan oleh sebuah kejahatan yang diperbuat oleh orang lain kepada dirinya. 

Oleh karena matahatinya telah mampu melihat pahala yang telah dijanjikan di balik kesakitan yang sedang dihadapi itu, maka dia mampu berbuat sabar dalam menghadapinya. 

Selanjutnya, ketika Ilmu Laduni telah diturunkan di dalam hati "sebagai pahala sabar yang dijalani" ilmu itu akan meresap di dalam rongga dada. 

Turunnya Ilmu Laduni itu bagaikan turunnya air hujan dari langit mengguyur kobaran api kebakaran. 

Saat itu, disamping orang tersebut mengetahui bahwa ada air diturunkan dari langit, juga hawa panas yang sedang membakar hatinya seketika menjadi sirna dan nikmat kesejukan air hujan segera meresap dan menyelimuti suasana.  

Oleh karena itu, muasal penyebab terbitnya sumber Ilmu Laduni itu seringkali tidak didapatkan oleh seseorang dari hasil membaca dan mendengar, tetapi muncul dari balik rahasia dan hikmah musibah dan fitnah yang datang. 

Ilmu Laduni itu kemudian terbit di dalam hati, ketika matahati seorang hamba telah mampu menyikapi fitnah dan musibah itu dengan sudut pandang yang benar dan tepat.  

Manakala orang hanya pandai berbicara dan menasehati orang lain tentang sabar saja misalnya, padahal dirinya sendiri ternyata tidak mampu berbuat sabar ketika mendapatkan musibah seperti musibah yang datang kepada orang yang dinasehati itu. 

Yang demikian itu berarti orang tersebut telah berbuat sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah Ta‘ala : 
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa - apa yang tiada kamu kerjakan". (QS. ash-Shof/ : 3).  
Oleh karenanya, sabar itu hanya bisa terlaksana manakala seorang hamba selalu merasa dekat kepada Allah Ta‘ala :
Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan Allah. (QS: 16 : 127). 
Itu bisa terjadi, karena cemerlangnya Nur Ma‘rifat, ketajaman matahati di dalam bermusyahadah dan keyakinan yang kuat di dalam memahami "kasih sayang Allah Ta‘ala", yang merupakan "tarbiyah" yang diturunkan-Nya setiap saat kepada dirinya, akan menjadi bagaikan benteng yang kokoh yang dapat membentengi rasional dari segala keraguan yang datang. 

Sehingga hatinya selalu selamat dari prasangka buruk dan salah, meski dia sedang menghadapi keadaan yang bagaimanapun beratnya. 

Selanjutnya, ketika rahasia hikmah kejadian tersebut telah terkuakkan, maka seketika rasional menjadi paham. 

Yang demikian itu, bagaikan orang menggali tanah untuk mencari sumber air, ketika sumber air itu telah ditemukan, maka sejak saat itu dia tidak akan kekurangan air lagi untuk selamanya. 

Sejak Ilmu Laduni itu memancar dari dalam hati seorang hamba, hati itu akan menjadi seperti sungai yang ada mata airnya. 

Meski musim kemarau panjang sedang melanda, sedikitpun sungai itu tidak pernah kekurangan air. Atau seperti pelita di dalam kaca kristal yang sumbunya berminyak; "yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api" QS. an-Nur/24. 

Pelita itu akan memancarkan sinar meski sumbunya tidak pernah lagi dibasahi minyak. 

Yang demikian itu bisa terjadi, karena rahmat Allah lebih dahulu diturunkan sebelum pemahaman "rahasia di balik rahmat yang diturunkan di dalam bilik akal dan pikir itu" dapat dipahami. 

Setelah itu, maka pemahaman tersebut akan menjadi bagaikan tambang ilmu yang tidak pernah berhenti memancar, meski terkadang kesempatan untuk membaca dan mendengarkan sudah tidak dapat terkondisikan lagi.  

Bahkan terkadang Ilmu Laduni yang terbit dalam hati itu sedikitpun belum pernah tertulis dalam buku dan kitab yang ada. Berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman yang aktual dan aplikatif. 

Hasil dari perpaduan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat yang mampu menjadi solusi persoalan yang sedang terjadi. 

Hal itu bisa terjadi, karena ketika kitab - kitab tersebut sedang ditulis, keadaan yang terjadi itu memang belum pernah dimunculkan oleh zaman.  

Seperti yang demikian itulah, maka Al-Qur‘an al-Karim diturunkan kepada Baginda Nabi saw. dengan cara berangsur-angsur. 

Wahyu Allah itu diturunkan ayat demi ayat dengan mengikuti proses perkembangan keadaan dan zaman, ayat-ayat tersebut kemudian menjadikan solusi dari setiap terjadi tantangan dan kesulitan.  

Al-Qur‘an diturunkan selama dua puluh tiga tahun selama masa terutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, tidak diturunkan secara sekaligus dalam sebuah kitab sebagaimana kitab-kitab langit selainnya yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terdahulu. 

Hal tersebut bertujuan, supaya ayat-ayat itu dapat meresap di dalam hati sanubari Beliau. 

Selanjutnya dari resapan itu akan memancarkan Nur kepada alam semesta melalui pelaksanaan akhlakul-karimah yang agung,  "rahmatan lil alamiin", sehingga Beliau saw. mendapatkan pengakuan Allah Ta‘ala dengan persaksian sebuah ayat: 
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS. al Qalam : 4).   
Ketika ditanyakan kepada sayidatina  "Aisyah ra., istri Nabi tentang akhlak Nabi saw., Aisyah menjawab: "Akhlaknya adalah Al-Qur‘an". (al-Hadits). 

Itulah Nabi yang Ummi, pelopor dan penemu kunci rahasia Ilmu Laduni yang agung, sehingga beliau menjadi ikutan manusia sepanjang zaman.  

Ummi artinya tidak dapat membaca dan menulis. Demikianlah Allah Ta‘ala menghendaki yang terjadi dalam diri Manusia yang Paling Utama itu. 

Supaya ilmu yang masuk di dalam bilik akal Beliau benar-benar terjaga dari pengaruh dari luar (makhluk) :
"Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)- - Sebenarnya, Al- Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayatayat Kami kecuali orang-orang yang zalim". (QS. al-Ankabut : 48-49). 
Yang demikian itu untuk menguatkan risalahnya. Seandainya Beliau pernah belajar kapada orang lain, berarti derajat guru akan melebihi tingkat derajat murid, yang demikian itu tidak mungkin terjadi pada diri Rasulullah saw. 

Sebab tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengungguli tingkat derajat beliau di sisi Allah Ta‘ala. Bahkan seluruh kemuliaan yang ada di alam semesta ini hanyalah disebabkan karena mendapat pancaran dari Nur kemuliaan Baginda Nabi saw. "Nur Muhammad SAW.". 

Hal itu terbukti, bahwa dasar ajaran yang diajarkan Beliau kepada manusia seribu empat ratus tahun lebih yang lalu itu, ternyata sampai sekarang masih relevan untuk menerangi zaman, sehingga dimana saja di belahan bumi ini, ajaran itu mampu melahirkan seorang anak zaman yang utama. Yaitu kholifah-kholifah bumi zamannya yang mulia.  

Hal itu disebabkan, karena ilmu, amal dan pelaksanaan akhlak yang mulia dari para kholifah bumi itu "seperti juga para pendahulunya" telah mampu menjadi penerang bagi kehidupan umat manusia sepanjang zaman; 
"Dan bukankah yang asalnya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia" .(QS. al-An‘am : 122).  
Makanya, dimana saja mereka berada, "anak zaman" itu selalu menjadi pemimpin manusia yang multi guna. 

Hal itu disebabkan, karena "Nur Cinta" telah disambut dengan nur cinta pula, sehingga melahirkan "nur cinta" lagi : 
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki". (QS. an-Nur : 24). 

Blog : Surau Tingga || Judul : Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar