Memahami Konsep Ittihad Abu Yazid al-Busthomi


Ittihad
Ittihad. Ittihad berasal dari kata ittahada-yattahidu-ittihaad yang berarti penyatuan atau kebersatuan. Dalam hal ini maksudnya tingkatan tasawuf seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.

Ittihad merupakan suatu tingkatan antara yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Untuk kemudian salah satu dari keduanya dapat memanggil kepada yang lainnya, misalnya dengan perkataan, “hai aku”.

Ittihad merupakan lanjutan yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa. 

Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu; baik substansi maupun perbuatannya.

Ketika terjadi ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dengan yang lainnya.

Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang dicintai dan yang mencintai (Tuhan dan sufi). 

Dalam keadaan demikian sufi berbicara atas nama Tuhan. Sehingga ucapannya dinamakan syatohat, yaitu perkataan yang diucapkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad dengan Tuhan.

Ucapan syatohat ini terlontar ketika dalam keadaan ekstase pada saat para sufi tengah tercengkram oleh kekuatan supra natural.

Ucapan-ucapan syatohat merupakan kalimat yang isinya dianggap baik, walaupun secara dzohir dalam pendengarannya jelek, dikarenakan makna lahir dalam ucapan-ucapan itu sering bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.

Bahkan para ulama syari’at memandang ittihad ini bertentangan dengan Islam karena dalam isi kalimat-kalimat syatohat itu terkandung kekeliruan atau penyimpangan. 

M. Alfatih mengutip pendapat Imam al-Ghazali, bahwa syatohat itu dibagi menjadi dua macam yang keduanya dilontarkan oleh sebagian kaum sufi. 

Pertama, berupa do’a panjang lebar tentang cerita ke-Tuhan-an, pertemuan dengan Tuhan, pengakuan akan terungkapnya hijab dan lain sebagainya. 

Kedua, kata-kata yang sulit dipahami isinya. 

Secara sepintas terdengar menarik dengan susunan kalimatnya yang indah. Akan tetapi itu semua hanya omong kosong tanpa isi. 

Model yang kedua inilah yang sering ditemui. 

Pengalaman Abu Yazid al-Busthomi dalam syatohat-nya menimbulkan berbagai pendapat dari kalangan ahli tasawuf. 

Salah satu dari ucapannya yang kontroversial (nyeleneh) itu adalah kalimatnya tentang pernyataan

 “tiada Tuhan selain aku, Maha Suci Aku, dan Maha Besar Aku”.

Ketika pernyataan itu terlontar, hal itu menunjukkan Abu Yazid telah pergi kepada Allah SWT dan dia sedang fana.

Di kalangan sufi berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Ada yang memberikan penafsiran hingga sesuai dengan tasawuf yang lazim dipraktekkan oleh Abdul Qadir al-Jailani, Al-Tusi, serta Al-Junaid. 

Sementara yang lain tidak membenarkan hal itu seperti Ibnul Jauzi dan Ibnu Salim. 

Di samping itu ada juga yang meragukan bahwa hal tersebut berasal dari Abu Yazid al-Busthomi, seperti Abdullah al Anshori dan Imam Dzahabi.

Memperhatikan situasi seperti itu, Al-Sahalji memperingatkan agar berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara pendapat Abu Yazid al-Busthomi dengan pendapat lain yang dinisbahkan kepadanya. 

Sedangkan Al-Jurjani melarang untuk membicarakannya kecuali bagi mereka yang sudah setarap tingkatannya dengan maqam Abu Yazid. 

Para ulama yang berpegang teguh dengan syari’at telah menuduhnya sebagai kafir karena menyamakan dirinya dengan Tuhan. 

Sebagian ulama ada yang mentolerir ucapan tersebut dan dianggapnya sebagai penyelewengan (inhirof) bukan kekufuran.

Terlepas dari pro dan kontra (benar atau salah) tentang pengalaman spiritual (yang dialami Abu Yazid al-Busthomi), ternyata hal itu membawa pengaruh bagi perkembangan kajian tasawuf berikutnya. 

Dan kita sadari bahwa pengalaman spiritual tersebut merupakan mata rantai hasil perjalanan seorang salik yang berusaha menuju Tuhannya yang sedekat-dekatnya dalam mencapai tazkiyatunnafs

Dan sebagai kajian ilmu pengetahuan kita menghargai atas pemikiran dan pengalaman kesufiannya. 

Secara ilmiyah diakui, Abu Yazid dipandang sebagai sufi pertama yang mengungkapkan konsepsi kajian fana, baqa, dan ittihad.

Dengan demikian sewajarnya kita menghargai hasil ijtihad kesufiannya itu.

Blog : Surau Tingga || Judul : Memahami Konsep Ittihad Abu Yazid al-Busthomi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar