Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama


Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama
Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama
Dengan mujahadah dan dzikir yang dilaksanakan oleh seorang salik sebagai pelaksanaan thoriqoh secara istiqomah. Akal (rasio) akan selalu mendapatkan pencerahan dari hati dengan "nur hidayah", nur hidayah tersebut adalah buah dzikir yang dijalani. 

Hasilnya, aktifitas akal yang terkadang suka kebablasan dapat terkendali dengan kekuatan aqidah (spiritual) yang benar. 

Dengan dzikir itu, seperti meditasi, orang beriman hendaknya mampu mengosongkan irodah dan qudroh basyariyah yang hadits (baru) untuk dihadapkan kepada irodah dan qudroh Allah Ta‘ala yang azaliah. 

Maksudnya, obsesi, rencana, dan kemampuan diri untuk mengatur kehidupan kedepan, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, saat itu, dengan kekuatan dzikir yang dilaksanakan tersebut, dilepas sementara dari bilik akalnya, kebutuhan hidup tersebut dihadapkan dan diserahkan kepada perancanaan Allah "bagi setiap hamba-Nya" sejak zaman azali serta kepada kemampuan-Nya yang Maha Kuasa untuk memberikan solusi dan pertolongan kepada hamba-Nya.  

Ketika dengan pelaksanaan "meditasi islami" tersebut, rasio berhasil dikosongkan dari kemampuan secara basyariyah, terlebih apabila pengosongan itu adalah merupakan buah syukur yang diekspresikan di dalam bacaan dzikir, hasil yang diharapkan, yang masuk setelah pengosongan itu adalah rahasia bacaan dzikir yang dilakukan tersebut. 

Rahasia yang terkandung di dalam kalimat "La Ilaaha Illallah" (tidak ada Tuhan selain Allah) yang dilafadkan berkali-kali secara istiqomah itu. 

Rahasia bacaan yang masuk tersebut adalah "ilham" dan "inspirasi spontan" di dalam hati seorang hamba yang akan mampu memberikan solusi dan jalan keluar untuk menyelesaikan setiap kesulitan yang sedang dihadapi. 

Itulah rahasia Nubuwah "yang dahulu diberikan kepada para Nabi, kemudian menjadi Walayah" ketika diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, sejatinya adalah wahyu yang disampaikan: 
"Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu". (QS. 42 : 51).  
Ketika rahasia Nubuwah itu telah meresap di dalam hati (spiritual). Seperti air yang mengalir dari cabang-cabang anak sungai, ketika keluar dari muara, air itu kemudian melebur di dalam samudera yang tidak terbatas, maka yang asalnya kotor seketika menjadi bersih, yang asalnya najis menjadi suci. 

Seperti itulah pencerahan akal dari rahasia dzikir, sehingga hati yang asalnya susah langsung menjadi gembira: 
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram". (QS. ar-Ra‘d : 28). 
Dengan itu, manusia tidak sekedar menjadi pintar saja, tapi juga cerdas.

Mereka siap menjawab segala pertanyaan dan teka-teki yang ditampilkan kehidupan dengan benar dan "rahmatan lil alamin", karena akal mereka senantiasa mendapatkan pencerahan dari hati. Itulah hasil perpaduan antara dzikir dan fikir. 

Karena demikian pentingnya pelaksanaan dzikir ini, maka Allah Ta‘ala telah membuat persaksian dengan firman-Nya:  
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Ali Imran : 191). 
Kita meneruskan ayat : 
"Yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya Ilmu dari sisi Kami". (QS. al-Kahfi : 65). 
Firman Allah SWT. 
"Fawajadaa 'abdam min 'Ibaadinan"
Mujahid ra berkata: "Hamba itu namanya Khidhir. Dinamakan Khidhir karena apabila dia sholat di suatu tempat, tempat sekelilingnya menjadi tampak hijau".

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi ra. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw.  bersabda :
"Dinamakan Khidhir karena, sesungguhnya ketika dia duduk di daratan bumi yang putih, ketika ia bergerak maka bumi di atasnya tampak hijau".
Manurut Jumhur Ulama‘, 
"Khidhir as. adalah seorang Nabi. Dalilnya adalah ayat-ayat diatas tersebut (al-Kahfi 60-82), yaitu tidak mungkin seorang mengetahui urusan yang ghaib kecuali dengan Wahyu. Demikian pula, manusia tidak mungkin belajar dan mengikuti orang lain kecuali kepada orang yang ilmu pengetahuannya berada diatasnya, sedangkan diatas seorang Nabi haruslah seorang Nabi pula". (Tafsir Qurthubi, Ayat 65 surat Al-Kahfi.)
Di dalam tafsir kubronya, Imam Fahr ar-Rozi ra. menafsirkan ayat di atas: Firman Allah SWT. 
"Fawajadaa 'abdam min 'ibaadinan" (keduanya telah menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami) 
beliau berkata : "Sebagian besar Ulama' ahli tafsir telah sepakat bahwa hamba tersebut adalah seorang Nabi dan bernama Khidhir as. yaitu seorang hamba Allah yang dipilih untuk mendapatkan “Nubuwah” (kenabian) dengan alasan sebagai berikut: 

1. Firman Allah: 
"Aatainaahu Rohmatan Min "Indinaa" (Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami). 
Yang dimaksud Rahmat di sini adalah Nubuwah (rahmat kenabian) dengan dalil Firman Allah :  
"Ahum Yaqsimuuna Rohmata Robbik” (Apakah  mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu). QS. 43/32. 
2. Firman Allah : 
"Wa „allam naahu min ladunnaa 'Ilman" (dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami). 
Menunjukkan bahwa Allah telah mengajari hamba itu dengan tanpa perantara seorang pengajar dan menunjukinya tanpa perantara seorang petunjuk. 

Beliau berkata: "Barang siapa mendapatkan ilmu dari Allah tanpa perantara seorang pengajar, yang demikian itu disebut Nubuwah. karena pengetahuan itu, terlebih kepada urusan yang ghaib, tidak mungkin bisa didapatkan kecuali adalah wahyu". 

Dengan dalil firman Allah : 
"Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu". (QS. as-Syuura : 51). 
3. Diriwayatkan ketika Musa as. bertemu Khidhir as. dan menyampaikan salam kepadanya,
Khidhir menjawab : “Salam juga untukmu wahai Nabi Bani Isra'il”. 
Musa as. bertanya: "Siapa yang menunjukkan ini kepadamu ?",  
Dia menjawab: "Yang mengutusmu datang kemari". 
Dengan itu menunjukkan bahwa Khidhir as. adalah seorang Nabi, karena tidak mungkin seseorang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali melalui wahyu. (Tafsir Fahrur-rozi) Inilah ayat kunci itu. 

Ayat tersebut menampilkan sosok yang menjadi simbol adanya "Ilmu Laduni", yaitu sosok yang terlebih dahulu mendapatkan rahmat Allah baru kemudian ilmu-Nya. 

Yang dimaksud "rahmat sebelum ilmu" adalah ilmu pengetahuan yang didasari rahmat Allah Ta‘ala yang memancar dari hati seorang hamba, bukan ilmu yang hanya didasari dengan akal saja, terlebih lagi nafsu dan hawanya. 

Oleh karena itu, Ilmu Laduni tersebut selalu terbit secara aktual dan aplikatif. 

Ilmu itu mampu menjawab setiap kejadian dengan pandangan yang menyejukkan banyak orang. Yang demikian itu akan menampakkan tanda-tanda, diantaranya: 

1) Ilmu pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan yang universal dan "rahmatan lil alamin", artinya: Ilmu pengetahuan yang kemanfaatannya secara umum mencakup kepentingan seluruh makhluk, baik manusia maupun jin. Bukan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

Dan secara khusus akhirnya kembali untuk kepentingan hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kapada-Nya. Atau untuk mengajak manusia ke jalan Allah Ta‘ala: 
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami". (QS. al-A‘raaf : 156).  
Kalau pelaksanaan ilmu pengetahuan ternyata hanya membuahkan perpecahan diantara sesama manusia lebih-lebih sesama orang yang beriman. Atau hanya untuk kepentingan mencari sumber hidup dan sandang pangan, maka bukan ilmunya yang harus dipersoalkan, tapi yang mendasarinya, barangkali di dalam hati pemiliknya masih ada yang perlu mendapatkan pembenahan. 

Hal itu disebabkan, karena dalam hati manusia itu boleh jadi sebagai tempat hidayah Allah dan juga boleh jadi sebagai tempat sarang setan menebarkan fitnah di dalam kehidupan. 

2) Ilmu pengetahuan yang menjadikan hati seorang hamba mudah memaafkan kesalahan orang lain : 
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.  
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.  
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya. (QS. Ali Imran : 159).
3) Ilmu pengetahuan yang mampu membangun semangat persaudaraan sehingga menciptakan komunitas manusia yang mampu mengabdi kepada Tuhannya : 
"Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran : 159). 
Oleh karena yang mendasari ilmu itu adalah rahmat Allah, maka dimana-mana ilmu itu akan menciptakan kedamaian dan persaudaraan, bukan ilmu yang menciptakan perselisihan dan perpecahan. 

Ilmu yang mengantarkan pemiliknya dicintai Allah Ta‘ala dan dicintai seluruh makhluk-Nya, bukan ilmu yang menjadikan pemiliknya dibenci Allah Ta‘ala. 

Kalau orang dibenci manusia karena suatu hal, tetapi dia juga dicintai manusia karena hal yang lain, lebih - lebih bila pihak yang mencintai lebih besar daripada pihak yang membenci "di dalam kehidupan di dunia" yang demikian itu wajar terjadi.  

Sebab, tidak mungkin orang dicintai orang lain kecuali terlebih dahulu terbit dari dibenci, demikian juga sebaliknya tidak mungkin orang dibenci orang lain kecuali terbit dari dicintai. 

Allah memberikan sinyalemen dengan firman-Nya : 
"Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam.  
Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup.  
Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (QS. Ali Imran : 27).  
Demikian itu adalah sunnatullah yang tidak akan mengalami perubahan lagi untuk selama - lamanya, sehingga "dengan Ilmu Laduni yang sudah dimiliki" seorang hamba menjadi kenal kepada segala sunnah yang ada tersebut. 

Maka, orang tersebut tidak menjadi benci sebab kebencian makhluk dan tidak menjadi cinta sebab kecintaan makhluk, dia semata-mata hanya mencintai seluruh makhluk karena dia telah mencintai Penciptanya. 

Sehingga sosok Khidhir itu digambarkan oleh hadits diatas sebagai berikut : 

"Dinamakan Khidhir karena, sesungguhnya ketika dia duduk di daratan bumi yang putih, ketika ia bergerak maka bumi atasnya tampak hijau". 

Walhasil, dengan Ilmu Laduni, seorang hamba akan mendapatkan penerimaan yang baik, baik oleh seluruh makhluk, "di muka bumi" karena kecintaannya telah membuahkan cinta pula, maupun oleh Allah Ta‘ala "di dunia dan di akhirat" karena pengabdiannya telah mendapatkan penerimaan yang baik di sisi-Nya. 

Dengan itu akhirnya orang tersebut akan mendapatkan pungkasan hidup yang baik (husnul khotimah) yang akhirnya akan mengantarkan dirinya mendapatkan ridho Allah Ta‘ala dan bahagia untuk selama-lamanya di Surga. Insya Allah. 

Meneruskan ayat : 
Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?".  
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?".  
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun". 
Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".  (QS. 18 : 65-70).

Blog : Surau Tingga || Judul : Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar