Sumber Akhlak, Moral dan Etika dan Manfaat Mempelajarinya

Sumber Akhlak, Moral dan Etika dan Manfaat Mempelajarinya

Akhlak yang mulia merupakan unsur yang sangat utama di dalam risalah Islamiyah. 

Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kata akhlak, moral dan etika yang ketiganya merupakan tingkah laku manusia, hampir sama, namun jika dilihat dari sumbernya, ketiga kata tersebut akan berbeda. 

Akhlak bersumber dari agama wahyu. Moral bersumber dari adat istiadat masyarakat. Sementara etika bersumber dari filsafat moral dan akal pikiran. 

Dalam kajian ini mengarah pada konseptual akhlak Islami dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits Nabawi dikomparasikan dengan materi-materi yang sudah berkembang. 

Sikap dan prilaku akhlak Islami yang sempurna itu harus berpegang pada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Orang yang paling mengerti tentang pengamalan Al-Qur’an adalah Nabi sendiri. Rasulullah SAW adalah prototipe manusia yang berakhlak sempurna. Allah SWT menyebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Qalam ayat ke 4,  "Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.“ 

Berdasarkan ayat tersebut, para sufi menyebut Nabi Muhammad sebagai al-Insan al-Kamil, prototipe manusia sempurna sejak Nabi Adam AS, hingga manusia akhir zaman. 

Kita sebagai umat Rasulullah wajib menjadikan beliau sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) dalam segala segi kehidupan. 

Menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswah hasanah dalam segala aspek kehidupannya itulah yang dimaksud ber-Islam secara kaffah (total).
Nabi SAW menyebutkan bahwa dirinya diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. 

Hal ini mengandung pemahaman:

(1) kedatangan Nabi SAW melengkapi kemuliaan  akhlak manusia yang sebelumnya belum sempurna; 

(2) inti dari ajaran Islam sesungguhnya adalah kemuliaan kemuliaan akhlak. 

Missi beliau yang utama adalah perbaikan akhlak, penyempurnaan budi pekerti yang mulia. 

Sahabat bertanya, tentang bagaimana sesungguhnya akhlak Nabi itu? Siti Aisyah memberi jawaban bahwa akhlaknya Rasulullah SAW itu adalah Al-Qur’an.

Dalam syariat Islam akhlak yang baik adalah manifestasi ibadah. Demikian halnya dalam sholat terkandung nilai - nilai akhlak.

Dalam rangka menuju kesempurnaan hidup perlu memiliki akhlak Islami, yang mencakup berlaku benar, jujur, menunaikan amanah, menepati janji, tawadhu’ (rendah diri), berbakti kepada orang tua, menyambung silaturrahim, berlaku baik kepada tetangga, memuliakan tamu, pemurah dan dermawan, penyantun dan sabar, mendamaikan manusia, sifat malu berbuat ma’siat, kasih sayang, berlaku adil, dan menjaga kesucian diri. Itulah diantara akhlak karimah yang perlu kita miliki sifat-sifat yang mulia tersebut. 

Dengan memperhatikan urgensifitas kajian akhlak karimah dalam kehidupan, maka kita kembali kepada Al-Qur’an karena dasar - dasar pijakan dalam berakhlak itu dengan nash-nash Qur’ani. Demikian juga sosok figur yang menjadi panutan adalah Nabi Muhammad SAW. Dan ditegaskan bahwa akhlak Rasulullah SAW itu tercermin dalam Al-Qur’an. 

Menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali, apa yang kita saksikan pada saat ini umat Islam membaca Al-Qur’an hanya dikarenakan mengharap barakah, tanpa analisis kritis dan menghayati maknanya secara mendalam apa yang terkandung dibalik pernyataan ayat-ayat Al-Qur’an. 

Dari manakah kita mengambil pelajaran jika tidak menghayati makna ayat secara mendalam, atau minimal mengerti maksud-tujuan dijadikannya tuntunan yang secara prinsip dibutuhkan oleh umat Islam secara individual maupun sosial? 

Berangkat dari kesadaran semacam ini, umat Islam akan mampu mengisi kekosongan perannya dalam hal - hal kemanusiaan, sekaligus membimbing ke jalan kebaikan. 

Sifat terpuji, sebagaimana digambarkan Al-Qur’an mestinya merupakan identitas hamba-hamba Allah Swt pada umat ini. Mereka seharusnya menerima seruan Allah melalui ayat-ayat Al-Qur’an, mendengarkan dan menyaksikan, yang pada gilirannya dari sanalah titik awal pergerakan mereka.

Komentar

< Newer | Older >

View

Random Artikel

JINGGA NEWS || www.jingganews.com

Populer Minggu Ini

Memahami Konsep Fana dan Baqa Dalam Ilmu Tasawuf

Fana dan Baqa Fana dan Baqa . Dalam kajian tasawuf antara fana dan baqa tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan baqa merupakan sisi lain yang terikat dari fana. Bahkan dalam Sayyid Mahmud Abul Faidh al-Manufi al Husaini menggabungkan tema kajian fana dan baqa (pada satu judul) dalam karyanya Jamharotul Awliya.  Fana diambil dari kata faniya (fana)-yafna-fana ’, secara bahasa berarti menjadi lenyap, hilang, dan tak kekal. Dalam sumber lain berasal dari kata fana-yafni- fana ’ yang mengandung makna hilang hancur. Sedangkan baqa berasal dari kata baqiya-yabqa- baqa ’ yang berarti dawam atau terus menerus, tidak lenyap dan tidak hancur. Fana dalam istilah Ilmu Tasawuf  adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi yang tertinggi menjelang ke tingkat ittihad , yakni hilangnya kesadaran tentang dirinya dari seluruh makhluk dan hanya ditujukan kepada Allah semata, serta yang ada hanya Allah SWT.  Dengan perkataan lain suatu keadaan mental hubungan manusia dan alam...

Takhalli, Tahalli, dan Tajalli

Takhalli, Tahalli, dan Tajalli Untuk menyingkap tabir yang membatasi diri dengan Tuhan, ada sistem yang dapat digunakan untuk riyadhah al-nafsiyah.  Karakteristik ini tersusun dalam  tiga tingkat yang dinamakan takhalli , tahalli , dan tajalli .  Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kotor hati, maksiat lahir dan maksiat batin.  Pembersihan ini dalam rangka, melepaskan diri dari perangai yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama.  Sifat-sifat tercela ini merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah. Tahalli merupakan pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin.  Hati yang demikian ini dapat menerima pancaran Nurullah dengan mudah.  Oleh karenanya segala perbuatan dan tindakannya selalu berdasarkan dengan niat yang ikhlas (suci dari riya). Dan amal ibadahnya itu tidak lain kecuali mencari ridha Allah SWT.  Untuk itulah man...

Thariqat ( Ajaran - Ajaran Dalam Tasawuf )

Thariqat ( Ajaran - Ajaran Dalam Tasawuf ) Untuk mencapai tujuan tertentu memerlukan jalan dan cara. Tanpa mengetahui jalannya, tentu sulit untuk mencapai maksud dan tujuan.  Hal ini dinamakan thariqat, dari segi persamaan katanya berarti “madzhab” yang artinya “jalan”. Kata tarekat berasal dari kata thariqah, yang berarti:  (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara,,  (2) metode atau sistem /uslub,  (3) madzhab atau aliran atau haluan,  (4) keadaan, dan (tiang tempat berteduh atau tongkat atau payung (’amud al-mizalah).  Yang pada intinya bermakna metode, cara atau jalan menuju Allah dan Rasul-Nya di bawah bimbingan seorang syekh yang Arif Billah (guru/mursyid). Mengetahui adanya jalan perlu pula mengetahui “cara” melintas jalan agar tujuan tidak tersesat. Kedudukan dan makna tarekat dalam syari’at Islam mengacu pada dialog interaktif antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW tentang Iman, Islam, dan Ihsan.  Dalam pandangan ajaran tarekat, spirituali...

Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur’an

Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur’an Dalam literatur Barat, sufisme (tasawuf) masih sering diartikan sama persis denganmystisism (mistik), yang sekarang sudah punya konotasi lain, dan dalam beberapa hal di Indonesia sudah punya arti tersendiri pula, dan biasanya disamakan dengan kebatinan, sudah berbau jimat, dukun dan sebagainya. Bahkan ada yang menyamakan dengan syirik.  Agaknya istilah sufism yang sering dipakai dalam literatur bahasa Inggris sudah memberi arti adanya perbedaan itu. Malah kadang diberi tambahan, misalnya Nicholson dengan kata Mystical Sufism. Berkaitan dengan masalah itu, Al-Qur’an menjadi sumber dan dasar dari tasawuf serta amalannya, paling tidak tampak dari empat segi. Pertama, Al-Qur’an penuh dengan gambaran kehidupan tasawuf dan merangsang untuk hidup secara sufi.  Kedua, Al-Qur’an merupakan sumber dari konsep-konsep yang berkembang dalam dunia tasawuf.  Ketiga, Al-Qur’an banyak sekali berbicara dengan hati dan perasaan.  Di sini Al-Qur’a...