Perjalanan Nabi Musa as. Mencari Nabi Khidir as. (Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua)

Perjalanan Nabi MUSA as.  mencari Nabi KHIDHIR as. ( Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua )
Perjalanan Nabi MUSA as.  mencari Nabi KHIDHIR as. ( Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua )
Perjalanan Nabi Musa as. dengan Nabi Khidhir as., telah diabadikan Allah Ta‘ala di dalam Al-Qur‘an al-Karim. 

Sungguh yang demikian itu bukan hanya sekedar menjadi ilustrasi al-Qur‘an dengan tanpa ada makna dan tujuan yang berarti, sebagaimana buku komik dan novel, tidak!. 

Al-Qur‘an tidaklah demikian, namun jauh lebih dari itu, yaitu supaya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi umat Nabi Muhammad saw. 

Peristiwa sejarah yang sudah lama ghaib itu, apabila tidak dimunculkan di dalam "kitab suci yang terjaga" ini maka barangkali tidak ada seorang pun mengetahuinya lagi. Terlebih kita umat Muhammad saw. yang hidup entah berapa ratus tahun setelah peristiwa tersebut terjadi.  

Hal itu tidak lain, supaya peristiwa sejarah itu dapat dijadikan bahan kajian yang mendalam, bahwa ternyata di dalam kehidupan ini ada dua jenis ilmu pengetahuan dan dua jenis alam yang harus dikuasai dan diketahui manusia. 

Ilmu lahir dengan alamnya dan ilmu batin juga dengan alamnya. 

Dengan penguasaan itu supaya manusia menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). 

Dengan ilmu lahir supaya lahir manusia menjadi mulia demikian pula dengan ilmu batin, supaya batin manusia itu juga menjadi batin yang mulia.  

Untuk mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam (Ilmu Laduni), satu-satunya jalan adalah dengan cara beri‘tibar, (percontohan) demikianlah Al-Qur‘an telah memberikan contoh: 
"Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al-Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia". (QS. Ar-Rum : 58).  
Oleh karena itu, pintu pertama dan utama untuk memahami Ilmu Laduni itu adalah pintu iman (percaya). 

Apabila pintu yang satu itu sudah tidak terbuka, maka siapapun jangan berharap dapat memanfaatkan segala keterangan yang ada:  
"Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka". (QS. ar-Rum: 58).
Yang demikian itu karena hati telah terkunci mati oleh kekafirannya sendiri:  
"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami".  (QS. ar-Rum : 59).  
Seperti itu pula terhadap setiap uraian tentang Ilmu Laduni, apabila orang sudah tidak mempercayai keberadaan ilmu itu, maka apapun yang sudah tertulis dalam buku ini sedikitpun tidak akan membawa manfaat baginya. 

Sebab, yang sudah tertulis ini, dan semacamnya tentang Ilmu Laduni, hanyalah sekedar keterangan sebatas teori yang harus ditindaklanjuti dengan amal perbuatan, sedangkan "Ilmu Laduni" adalah "buah" dari amal perbuatan tersebut, mana mungkin orang bisa memetik buah tanpa berusaha menanam tanaman dengan bersungguh-sungguh ….. ?. 

Di dalam surat al-Kahfi, dengan dua puluh dua ayat, yaitu mulai ayat No: 60 sampai dengan ayat No: 82, peristiwa sejarah itu diperankan dua tokoh sentral, Nabi Musa dan Nabi Khidhir, sebagai gambaran sosok yang telah menjiwai ilmunya masing-masing.  

Supaya perjalanan ibadah (thoriqoh) yang ditekuni seorang salik mampu membuahkan hasil yang disebutkan sebagai Ilmu Laduni, dua karakter tokoh sentral tersebut, yakni karakter Musa dan karakter Khidhir harus dipertemukan dengan pelaksanaan amal, hasil yang diharapkan supaya dapat membuahkan suatu jenis "pemahaman hati" sebagai buah ibadah. 

Pemahaman hati itulah yang dinamakan Ilmu Laduni. 

Adapun ayat kunci dari sumber kajian itu adalah firman-Nya : 
"Yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya Ilmu dari sisi Kami". (QS. al-Kahfi : 65). 
"Khidhir as." adalah seorang Nabi tapi bukan Rasul. Alasannya, karena tidak mungkin seorang Nabi (Nabi Musa as.) berguru kecuali kepada seorang Nabi pula. 

Dalam pembahasan Ilmu Laduni ini "supaya pembahasan lebih bersifat universal" kedua sosok tersebut ditampilkan sebagai sosok karakter, bukan sosok personal. 

Sebab, sebagai sosok personal boleh jadi para pelaku sejarah itu sudah lama meninggal dunia, kecuali Nabi Khidhir as, yang konon menurut banyak pendapat, beliau tidak mati. 

Sehingga, cerita-cerita tentang pertemuan seorang yang hidup pada zaman sekarang dengan Nabi Khidhir as. "sebagai sosok personal" kesannya hanya bernuansakan mistik atau mitos yang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Namun dengan ditampilkan sebagai sosok karakter, pelaku sejarah itu, bahkan siapapun akan menjadi hidup untuk selama-lamanya. 

Bagaikan mutiara-mutiara yang terpendam hakikat Ilmu Laduni itu harus ditemukan oleh para salik di dalam peristiwa sejarah itu. 

Makanya, hanya dengan ilmu, iman dan amal, mereka tertantang untuk mampu menggalinya dengan benar. 

Banyak jebakan dan ranjau yang ditebarkan di sana, tanpa guru pembimbing ahlinya, sulit rasanya seorang salik mampu menemukan mutiara yang dirahasiakan itu. 

Diawali dengan tekat bulat serta perbekalan yang cukup. Nabi Musa as. seorang Rasul dan seorang Nabi yang telah mendapatkan banyak kelebihan-kelebihan dari Allah Ta‘ala, baik berupa ilmu dan amal serta derajat dan kemuliaan dengan rendah hati melaksanakan petunjuk Tuhannya. 

Dengan susah payah Beliau menindaklanjuti petunjuk itu, mengadakan perjalanan panjang yang tidak jelas arah tujuannya. 

Hanya dengan mengikuti isyarat yang telah didapatkan, Nabi Musa datang kepada Nabi Khidhir untuk menuntut ilmu kepadanya.  

Menurut suatu riwayat, suatu saat Nabi Musa as. "ketika baru saja menerima Kitab dan berkata-kata dengan Allah" beliau bertanya kepada Tuhannya: 

"Siapakah kira-kira yang lebih utama dan lebih berilmu tinggi selain aku" ?. 

Maka dijawab: "Ada, yaitu hamba Allah yang berdiam di pinggir laut, bernama Khidhir as". 

Di dalam hadits riwayat imam Bukhori dan Muslim, dari Abi bin Ka‘ab ra. telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: 
"Ketika suatu saat Nabi Musa berdiri berkhothbah di hadapan kaumnya, Bani Isra‘il, salah seorang bertanya: "Siapa orang yang paling tinggi ilmunya", Nabi Musa as. menjawab: "Saya". 

Kemudian Allah menegur Musa dan berfirman kepadanya, supaya Musa tidak mengulangi pernyataannya itu; 
"Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan antara dua samudera, adalah seorang yang lebih tinggi ilmunya daripada kamu". 

Nabi Musa as berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa menemuinya". 

Tuhannya berfirman: 
"Bawalah ikan sebagai bekal perjalanan, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, maka di situlah tempatnya'. 
Kalimat Hadits dari Imam Bukhori. "Tafsir Qurthubi" 
Di dalam riwayat yang lain disebutkan, disaat Nabi Musa as. munajat kepada Tuhannya, beliau berkata: 
"Ya Tuhanku, sekiranya ada diantara hambaMu yang ilmunya lebih tinggi dari ilmuku maka tunjukilah aku". 
Tuhannya berkata: "Yang lebih tinggi ilmunya dari kamu adalah Khidhir", 
Nabi Musa as. bertanya lagi: "Kemana saya harus mencarinya?", 
Tuhannya menjawab: "Di pantai dekat batu besar", 

Musa as. bertanya lagi : "Ya Tuhanku, aku harus berbuat apa sehingga aku dapat menemuinya ?", 

Maka dijawab: "Bawalah ikan untuk perbekalan di dalam keranjang, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, berarti Khidir itu berada disana". 

Kemudian Musa as. berkata kepada muridnya: "Apabila ikan itu hidup lagi, kamu segera beritahukan kepadaku".   
Berangkatlah mereka berdua dengan berjalan kaki. 

Ketika sampai di suatu tempat, di sebelah batu besar, Nabi Musa istirahat dan tertidur, ikan tersebut bergerak hidup dan meloncat ke laut. Tapi sang murid lupa melaksanakan pesan gurunya. 

Kemudian mereka meneruskan perjalanan, setelah sampai waktunya makan sore, Nabi Musa mencari perbekalannya, muridnya baru ingat pesan tersebut dan menceritakan kejadian ikan yang hidup lagi dan meloncat masuk ke laut dengan cara yang menakjubkan. 

Itulah tempat yang mereka tuju, maka kembalilah mereka berdua, dengan mengikuti tapak tilas perjalanan, mencari dimana ikan tersebut masuk ke laut.   

Setelah sampai di tempat yang dituju, keduanya bertemu dengan seorang laki-laki. 

Musa menyampaikan salam dan laki-laki itu menjawab.  

Musa kemudian mengenalkan diri dan menceritakan tujuan perjalanannya. 

Kemudian Nabi Khidhir as. menjawab :
"Hai Musa, Aku dengan ilmu dari ilmu Allah yang ِAllah mengajarkannya kepadaku tapi tidak diajarkan kepadamu sedangkan engkau dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah mengajarinya kepadamu akan tetapi tidak diajarkan kepadaku" . 
Kemudian mereka, Musa dan Khidhir berangkat mengadakan perjalanan bersama. 

Ketika naik perahu, mereka melihat seekor burung mencari makanan di laut, burung itu memasukkan paruhnya di air kemudian terbang lagi. 

Khidhir as. berkata: 
Hai Musa, ilmumu dan ilmuku jika dikumpulkan dengan seluruh ilmu makhluk yang ada di alam semesta ini, dibandingkan dengan ilmu Allah tidaklah lebih besar daripada air yang ada di paruh burung itu dibandingkan dengan air yang ada di seluruh samudera ini. 

Air yang ada di paruh burung itu ibarat ilmu yang telah dikuasai seluruh makhluk di alam ini sedangkan air di seluruh samudera adalah ibarat ilmu Allah dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala hakikat perkara". 
"Tafsir Qurthubi"

READ MORE - Perjalanan Nabi Musa as. Mencari Nabi Khidir as. (Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua)

Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki

Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki
Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki 

Firman Allah Ta‘ala: 
"Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an, Dia menciptakan manusia* Mengajarinya Al-Bayan ". (QS. ar-Rahman : 1-4). 
Untuk menafsirkan ayat-ayat di atas (surat ar Rahman : 1-4), marilah kita menggunakan bahasa secara tafsiriyah, yakni cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an yang banyak digunakan oleh para Ulama ahli tafsir terdahulu.  

Surat ini dibuka dengan lafad "Ar-Rahman". Artinya : Tuhan yang Maha Pemurah. 

Ar-Rahman adalah salah satu nama Allah SWT. dari nama-Nya yang sembilan puluh sembilan. 

Nama tersebut adalah satu-satunya nama yang tidak diberikan juga kepada siapapun dari makhluk-Nya. 

Tidak seperti nama-nama-Nya yang lain, Ar-Rahim misalnya, ar-Rahim adalah nama-Nya yang juga diberikan-Nya sebagai nama Rasulullah SAW. Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : 
"Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu‘min ". (QS. at-Taubah : 128). 
Kata dasar ar-Rahman adalah Rahmat, dengan ayat ini (ar-Rahman – Allamal Qur‘aan. QS. 55:1-4). berarti secara tidak langsung Allah telah menyatakan, bahwa tujuan yang paling utama diturunkan Al-Qur‘an kepada hamba-Nya adalah sebagai karunia dan rahmat dari-Nya, dan dengan rahmat-Nya pula, Allah Ta‘ala akan memberikan kemudahan - kemudahan kepada orang beriman, baik untuk menghafalkan al-Quran maupun memahami ayat - ayat-Nya: 
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?".(QS. al-Qomar : 17. 
Adapun ayat berikutnya adalah "Allamal Qur'aan" (mengajarkan Al-Qur'an), berarti pula bahwa rahmat dan karunia Allah yang terbesar adalah dengan diajarkannya Al-Qur'an kepada umat manusia.  

Ayat selanjutnya adalah, "Kholaqol insaana Allamahul Bayaan" (menciptakan manusia dan mengajarinya al-Bayan). 

Ayat ini mengandung suatu pengertian: Bahwa al-Qur'an sudah diajarkan sejak sebelum manusia diciptakan. Yakni pertama kepada malaikat Jibril baru kemudian diajarkan kepada Rasulullah saw. 

Adapun yang dimaksud dengan al-Bayan adalah cara memahaminya secara perincian (tafsil). 

Itu menunjukkan bahwa salah satu keutamaan yang diberikan kepada manusia yang melebihi pemberian kepada makhluk lain ialah, bahwa Allah Ta‘ala akan memudahkan manusia untuk memahami ayat-ayat Al-Qur‘an. 

Yang demikian itu berarti pula, dengan sarana ayat-ayat tersebut manusia mendapatkan potensi untuk berinteraksi dengan Allah" :
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu".(QS. al-Baqaroh:152). 

Jadi, yang dimaksud dengan Al-Qur'an (di dalam ayat ini) adalah memahami secara global dan al-Bayan adalah memahami secara perinciannya.  

Kalau al-Bayan dikaitkan dengan al-Insan, maka artinya, setelah secara global Al-Qur‘an diajarkan kepada malaikat Jibril kemudian secara rinci Al-Qur‘an itu diajarkan kepada manusia melalui malaikat Jibril. 

Sedangkan yang dimaksud al-Insan (di dalam ayat ini), secara khusus adalah Rasulullah Muhammad saw dan secara umum adalah seorang hamba dari umatnya yang mendapat rahmat dariNya: 
"Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan  oleh  Tuhan semesta alam - Dia dibawa  turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) - Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah  seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan". QS. asy-Syu‘ara‘ : 192-194). 

Firman Allah, "Allamal Qur'aan": Lafad "Allama", apabila dikaitkan dengan (ayat) pembukaan surat sebelumnya, yaitu surat Al-Qomar "Wansyaqqol Qomar" (bulan telah terbelah), dapat diambil suatu pengertian bahwa, selain terbelahnya bulan sebagai mu‘jizat Nabi Muhammad saw., Al-Qur‘an juga adalah mu‘jizat beliau pula, bahkan Al-Qur‘an adalah mu‘jizat yang terbesar.  

Arti mu'jizat terbesar itu adalah, bahwa saat itu, melalui terutusnya Rasul Muhammad saw. Allah SWT. menurunkan rahmat dan karunia terbesar-Nya kepada seluruh makhluk. 
"Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al- Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka?. Sesungguhnya dalam (Al- Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman'. (QS. al-Ankabut : 51). 
Yaitu dengan diajarkan-Nya Al-Qur'an al-Karim, pertama kepada Malaikat Jibril kemudian kepada Rasulullah dan selanjutnya akan diwariskan kepada Ulama‘ pilihan dari umatnya sampai akhir zaman. 
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". (QS. Fathir : 32). 
Al-Qur‘an itu diajarkan sebagai "Rahmatan Lil 'alamin". Rahmat bagi alam semesta.  

Apabila ayat ini dikaitkan dengan pembahasan tentang Ilmu Laduni, maka "rahmat" itulah sebagai tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya, merupakan yang pertama dan utama. 

Adanya Rahmat Ilahiyah tersebut sebagai syarat mutlak supaya seorang hamba mendapatkan kemudahan untuk dapat memahami makna Al-Qur‘an al-Karim.  

Untuk itu, barang siapa berkeinginan membangun sebab-sebab untuk didapatkannya suatu akibat yang berupa warisan ilmu Al-Qur‘an (Ilmu Laduni), orang tersebut terlebih dahulu harus berusaha mendapatkan "rahmat" yang utama itu. 

Hal tersebut dilakukan dengan jalan berusaha mencintai dan dicintai Allah swt.  

Caranya: 

Hendaklah seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan amalan tambahan (sunnah) sampai Allah mencintai dirinya, (sebagaimana yang telah diuraikan dalam buku Tawasul), atau dengan cara yang telah dinyatakan Allah dengan firman-Nya berikut ini: 
"Katakanlah : ―Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,  ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir".  (QS. Ali-Imran. : 31-32). 
Maksud ayat, bahwa tanda-tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah Ta‘ala akan terbaca dari kemampuannya dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. 

Dalam arti, bersungguh-sungguh mengikuti jejak "Uswatun hasanah" tersebut, baik ilmu, amal, perjuangan dan pelaksanaan "akhlakul karimah", sampai Allah mencintainya. 

Ketika Allah sudah mencintai hamba-Nya, maka dosa-dosa hamba tersebut akan diampuni-Nya. 

Selanjutnya, dengan terhapusnya dosa tersebut, berarti hijab-hijab seorang hamba akan terhapus pula sehingga hatinya akan menjadi seperti kaca bersih yang setiap saat siap mengadakan "interaksi nuriyyah" dengan Tuhannya. 

Dengan interaksi itu seorang hamba akan berpotensi untuk mendapatkan "sumber Ilmu Laduni" secara sistematis melalui pewaris-pewarisnya. 

READ MORE - Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki

Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )

Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )
Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )

Berkaitan urusan pribadi yang terjadi pada diri Rasul Muhammad saw., suatu saat Allah Ta‘ala berfirman kepadanya: 
"Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan". (QS. an-Nahl : 127)
Ibnu Zaid berkata: "Ayat ini adalah menghapus ayat-ayat perang". Sedangkan Ulama‘ Jumhur berpendapat: "Itu adalah pelaksanaan ilmu hikmah". 
Artinya sabarlah terhadap kesalahan mereka dengan memberi pengampunan. Artinya, jangan kejahatan dibalas dengan kejahatan". (Tafsir Qurthubi)  

Maksudnya, tidak bersedih dan tidak sempit dada terhadap kejahatan orang-orang yang belum mau beriman adalah bukan sesuatu yang dapat dimengerti secara teori rasional ilmiah saja, tapi juga yang dirasakan di dalam hati, itulah yang dimaksud sabar

Orang sudah mengetahui dan memahami ayat ini, bahwa dia harus bersabar terhadap kejahatan orang-orang yang memusuhinya, tidak boleh bersedih dan sempit dada, namun penerapan sikap hati tersebut tentunya tidak semudah mengetahuinya.  

Betapapun seseorang telah pandai memberi nasehat kepada orang lain tentang teori sabar misalnya, namun ketika dirinya sendiri yang terkena musibah, orang tersebut belum tentu mampu berbuat bersabar menghadapi musibahnya itu. 

Seperti itulah gambaran pemahaman tentang Ilmu Laduni

Maksudnya, disamping yang dimaksud Ilmu Laduni itu harus diketahui secara teori ilmiah, namun hakekat "Ilmu Laduni' adalah merasakan keadaan hati yang dinamakan sabar itu, yaitu kemampuan diri dalam menerima keadaan yang tidak bersesuaian dengan kemauan hatinya sendiri.  

Yakni kemampuan hati untuk meredam gejolak nafsu angkara murka, menahan panasnya bara kemarahan dan mematikan api dendam, atas kesakitan yang diakibatkan oleh sebuah kejahatan yang diperbuat oleh orang lain kepada dirinya. 

Oleh karena matahatinya telah mampu melihat pahala yang telah dijanjikan di balik kesakitan yang sedang dihadapi itu, maka dia mampu berbuat sabar dalam menghadapinya. 

Selanjutnya, ketika Ilmu Laduni telah diturunkan di dalam hati "sebagai pahala sabar yang dijalani" ilmu itu akan meresap di dalam rongga dada. 

Turunnya Ilmu Laduni itu bagaikan turunnya air hujan dari langit mengguyur kobaran api kebakaran. 

Saat itu, disamping orang tersebut mengetahui bahwa ada air diturunkan dari langit, juga hawa panas yang sedang membakar hatinya seketika menjadi sirna dan nikmat kesejukan air hujan segera meresap dan menyelimuti suasana.  

Oleh karena itu, muasal penyebab terbitnya sumber Ilmu Laduni itu seringkali tidak didapatkan oleh seseorang dari hasil membaca dan mendengar, tetapi muncul dari balik rahasia dan hikmah musibah dan fitnah yang datang. 

Ilmu Laduni itu kemudian terbit di dalam hati, ketika matahati seorang hamba telah mampu menyikapi fitnah dan musibah itu dengan sudut pandang yang benar dan tepat.  

Manakala orang hanya pandai berbicara dan menasehati orang lain tentang sabar saja misalnya, padahal dirinya sendiri ternyata tidak mampu berbuat sabar ketika mendapatkan musibah seperti musibah yang datang kepada orang yang dinasehati itu. 

Yang demikian itu berarti orang tersebut telah berbuat sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah Ta‘ala : 
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa - apa yang tiada kamu kerjakan". (QS. ash-Shof/ : 3).  
Oleh karenanya, sabar itu hanya bisa terlaksana manakala seorang hamba selalu merasa dekat kepada Allah Ta‘ala :
Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan Allah. (QS: 16 : 127). 
Itu bisa terjadi, karena cemerlangnya Nur Ma‘rifat, ketajaman matahati di dalam bermusyahadah dan keyakinan yang kuat di dalam memahami "kasih sayang Allah Ta‘ala", yang merupakan "tarbiyah" yang diturunkan-Nya setiap saat kepada dirinya, akan menjadi bagaikan benteng yang kokoh yang dapat membentengi rasional dari segala keraguan yang datang. 

Sehingga hatinya selalu selamat dari prasangka buruk dan salah, meski dia sedang menghadapi keadaan yang bagaimanapun beratnya. 

Selanjutnya, ketika rahasia hikmah kejadian tersebut telah terkuakkan, maka seketika rasional menjadi paham. 

Yang demikian itu, bagaikan orang menggali tanah untuk mencari sumber air, ketika sumber air itu telah ditemukan, maka sejak saat itu dia tidak akan kekurangan air lagi untuk selamanya. 

Sejak Ilmu Laduni itu memancar dari dalam hati seorang hamba, hati itu akan menjadi seperti sungai yang ada mata airnya. 

Meski musim kemarau panjang sedang melanda, sedikitpun sungai itu tidak pernah kekurangan air. Atau seperti pelita di dalam kaca kristal yang sumbunya berminyak; "yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api" QS. an-Nur/24. 

Pelita itu akan memancarkan sinar meski sumbunya tidak pernah lagi dibasahi minyak. 

Yang demikian itu bisa terjadi, karena rahmat Allah lebih dahulu diturunkan sebelum pemahaman "rahasia di balik rahmat yang diturunkan di dalam bilik akal dan pikir itu" dapat dipahami. 

Setelah itu, maka pemahaman tersebut akan menjadi bagaikan tambang ilmu yang tidak pernah berhenti memancar, meski terkadang kesempatan untuk membaca dan mendengarkan sudah tidak dapat terkondisikan lagi.  

Bahkan terkadang Ilmu Laduni yang terbit dalam hati itu sedikitpun belum pernah tertulis dalam buku dan kitab yang ada. Berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman yang aktual dan aplikatif. 

Hasil dari perpaduan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat yang mampu menjadi solusi persoalan yang sedang terjadi. 

Hal itu bisa terjadi, karena ketika kitab - kitab tersebut sedang ditulis, keadaan yang terjadi itu memang belum pernah dimunculkan oleh zaman.  

Seperti yang demikian itulah, maka Al-Qur‘an al-Karim diturunkan kepada Baginda Nabi saw. dengan cara berangsur-angsur. 

Wahyu Allah itu diturunkan ayat demi ayat dengan mengikuti proses perkembangan keadaan dan zaman, ayat-ayat tersebut kemudian menjadikan solusi dari setiap terjadi tantangan dan kesulitan.  

Al-Qur‘an diturunkan selama dua puluh tiga tahun selama masa terutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, tidak diturunkan secara sekaligus dalam sebuah kitab sebagaimana kitab-kitab langit selainnya yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terdahulu. 

Hal tersebut bertujuan, supaya ayat-ayat itu dapat meresap di dalam hati sanubari Beliau. 

Selanjutnya dari resapan itu akan memancarkan Nur kepada alam semesta melalui pelaksanaan akhlakul-karimah yang agung,  "rahmatan lil alamiin", sehingga Beliau saw. mendapatkan pengakuan Allah Ta‘ala dengan persaksian sebuah ayat: 
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS. al Qalam : 4).   
Ketika ditanyakan kepada sayidatina  "Aisyah ra., istri Nabi tentang akhlak Nabi saw., Aisyah menjawab: "Akhlaknya adalah Al-Qur‘an". (al-Hadits). 

Itulah Nabi yang Ummi, pelopor dan penemu kunci rahasia Ilmu Laduni yang agung, sehingga beliau menjadi ikutan manusia sepanjang zaman.  

Ummi artinya tidak dapat membaca dan menulis. Demikianlah Allah Ta‘ala menghendaki yang terjadi dalam diri Manusia yang Paling Utama itu. 

Supaya ilmu yang masuk di dalam bilik akal Beliau benar-benar terjaga dari pengaruh dari luar (makhluk) :
"Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)- - Sebenarnya, Al- Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayatayat Kami kecuali orang-orang yang zalim". (QS. al-Ankabut : 48-49). 
Yang demikian itu untuk menguatkan risalahnya. Seandainya Beliau pernah belajar kapada orang lain, berarti derajat guru akan melebihi tingkat derajat murid, yang demikian itu tidak mungkin terjadi pada diri Rasulullah saw. 

Sebab tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengungguli tingkat derajat beliau di sisi Allah Ta‘ala. Bahkan seluruh kemuliaan yang ada di alam semesta ini hanyalah disebabkan karena mendapat pancaran dari Nur kemuliaan Baginda Nabi saw. "Nur Muhammad SAW.". 

Hal itu terbukti, bahwa dasar ajaran yang diajarkan Beliau kepada manusia seribu empat ratus tahun lebih yang lalu itu, ternyata sampai sekarang masih relevan untuk menerangi zaman, sehingga dimana saja di belahan bumi ini, ajaran itu mampu melahirkan seorang anak zaman yang utama. Yaitu kholifah-kholifah bumi zamannya yang mulia.  

Hal itu disebabkan, karena ilmu, amal dan pelaksanaan akhlak yang mulia dari para kholifah bumi itu "seperti juga para pendahulunya" telah mampu menjadi penerang bagi kehidupan umat manusia sepanjang zaman; 
"Dan bukankah yang asalnya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia" .(QS. al-An‘am : 122).  
Makanya, dimana saja mereka berada, "anak zaman" itu selalu menjadi pemimpin manusia yang multi guna. 

Hal itu disebabkan, karena "Nur Cinta" telah disambut dengan nur cinta pula, sehingga melahirkan "nur cinta" lagi : 
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki". (QS. an-Nur : 24). 

READ MORE - Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )

Rahmat Sebelum Ilmu ( Sebab Pertama)

Rahmat Sebelum Ilmu ( Sebab Pertama)
Rahmat Sebelum Ilmu ( Sebab Pertama)

Ilmu Laduni akan diberikan Allah SWT. hanya kepada seorang hamba yang dikehendaki dan dicintai-Nya. Yaitu seorang hamba pilihan, yang sejak zaman azali telah terpilih untuk menjadi orang pilihan-Nya, itu sebagaimana gambaran yang dipersaksikan oleh sebuah ayat dari firman-Nya: 
"Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan (yang terdahulu) yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka".  QS. al-Anbiya : 101.  
Oleh karena orang tersebut sejak zaman azali sudah ditetapkan menjadi orang baik, maka sejak dilahirkan di dunia sampai dengan matinya mereka akan dijauhkan dari api neraka. 

Mereka dijauhkan dari sebab-sebab yang dapat menyebabkan masuk neraka, baik ilmu, amal maupun karakter

Oleh karena aspek ilmu pengetahuan adalah bagian terpenting "yang akan menjadikan manusia menjadi baik atau jelek" maka aspek ilmu inilah yang paling mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dari Allah Ta‘ala.  

Ilmu Laduni itu diturunkan kepada seorang hamba yang dikehendaki, baik sebagai inspirasi ataupun ilham, bahkan langsung melalui hatinya, sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Ta‘ala dengan firman-Nya: 
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya". QS. asy Syams : 8.
Hanya saja sebagian besar manusia kurang tanggap terhadap gejala yang datang pada dirinya, yaitu disaat ada inspirasi atau ilham Ilahiyah masuk di dalam hatinya. 

Oleh karena gejala-gejala yang masuk di dalam hati tersebut tidak dirasakan sebagai sesuatu yang didatangkan Allah untuk dirinya, padahal bisa jadi hal tersebut sebagai tarbiyah untuk hamba yang dicintai-Nya, maka yang mestinya sangat berharga itu menjadi hilang begitu saja dan tidak membekas sama sekali.  

Kalau saja manusia mampu tanggap dan cermat terhadap setiap yang gerak dalam jiwanya, yang masuk dan perubahan di dalam hatinya, terlebih ketika yang masuk itu bentuk wujudnya berupa pengertian dan pemahaman yang sebelumnya tidak pernah dipahami, bahkan pemahaman itu terkadang merupakan solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi, maka disamping manusia itu akan mendapatkan jalan keluar untuk menyelesaikan problema kehidupan yang sedang membelit hidupnya, juga semakin lama "ketika hal yang halus-halus tersebut semakin dipahami" seorang hamba akan mampu mengenali apa-apa yang dikehendaki Allah Ta‘ala untuk dirinya. 

Sesungguhnya setiap yang datang kepada orang beriman pasti datangnya dari Allah Ta‘ala, terlebih yang datangnya dari arah yang tidak terduga. 

Sebagaimana yang telah dinyatakan dengan firmanNya:
"Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya". QS. ath-Tholaq/3. 
Adakah rizki yang lebih utama dibandingkan ilmu pengetahuan..?.  

Namun, oleh karena inspirasi atau ilham yang masuk di dalam hati itu tersia-siakan begitu saja, yang semestinya berharga itu tidak dihargai karena tidak dirasakan datang dari Allah Ta‘ala, maka manusia akan mengalami kerugian dalam beberapa hal. 

Pertama: kenikmatan pemberian itu musnah. 

Kedua: karena pemberian itu tidak dirasakan nikmat, maka tidak disyukuri. 

Ketiga: ketika anugerah itu tidak disyukuri, maka dengan anugerah itu manusia itu malah akan mendapatkan siksa. 

Allah Ta‘ala telah menyatakan dengan firman-Nya: 
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". QS. Ibrahim : 7. 
Ilmu Laduni itu hanya diturunkan kepada hati seorang hamba yang sudah siap menerima.

Oleh karena itu, pemahaman tentang Ilmu Laduni secara teori adalah hal yang mutlak adanya, sebelum orang tersebut menindaklanjuti pemahaman itu dengan pencarian-pencarian secara amaliyah atau praktek. 

Dengan pemahaman yang benar, seorang hamba "yang mengharapkan mendapatkan ilmu laduni" tentunya akan menyesuaikan segala amal perbuatan serta syarat-syarat yang lain, sesuai dengan pemahaman yang dimiliki tersebut.  

Melalui bimbingan seorang guru ahlinya, dengan izin Allah Ta‘ala setiap permintaan hambaNya akan dikabulkan. Allah Ta‘ala menjamin dengan firman-Nya: 
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu". QS. al Mu‘min : 60. 
Selanjutnya, dengan menempuh latihan-latihan yang harus dijalani serta menyelesaikan tahapan yang harus dicapai, hati seorang salik akan menjadi semakin siap untuk menerima, walau datangnya Ilmu Laduni itu seringkali dengan cara yang disamarkan. 

Ilmu Laduni adalah ilmu pengetahuan yang berkedudukan di dalam hati bukan di akal :
"Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim". QS. al-Ankabut : 48.
Jika diibaratkan dengan minuman, maka yang dimaksud Ilmu Laduni itu bukan ilmu atau teori tentang resep (komposisi) minuman yang menyegarkan, melainkan minum dan merasakan minuman yang menyegarkan itu sehingga rasa haus yang menyakitkan menjadi hilang.

READ MORE - Rahmat Sebelum Ilmu ( Sebab Pertama)

Sebab Diturunkan Ilmu Laduni

Sebab Diturunkan Ilmu Laduni
Sebab Diturunkan Ilmu Laduni

Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa untuk mendapatkan Ilmu Laduni, seorang salik hanya berkewajiban membangun "sebab-sebab". 

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya, dengan itu supaya orang tersebut mendapatkan "akibat" yang dijanjikan sebagai pahala dari ibadah yang dilakukan. 

Pengabdian itu adalah ibadah yang Ikhlas dalam tataran Iman, bukan sekedar tataran Islam. 

Sebagaimana yang diajarkan Allah kepada umat manusia melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah tentang tiga tataran pelaksanaan ibadah, secara Islam, secara Iman dan secara Ihsan. 

Hadits Qudsi ini shahih dan diriwayatkan dari Abu Hurairah yang telah berkata: 

Pada suatu hari, ketika Rasulullah bersama kaum muslimin, datang seorang lelaki dan bertanya kepada Baginda: 

"Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Iman?". 

Lalu baginda beliau bersabda: "Hendaklah kamu percaya kepada Allah, para Malaikat, semua Kitab yang diturunkan, hari pertemuan dengan-Nya, para Rasul dan percaya kepada Hari Kebangkitan". 

Lelaki itu bertanya lagi: 
"Wahai Rasulullah! Apakah pula yang dimaksud dengan Islam?'. 

Baginda bersabda: 
"Islam ialah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan perkara lain, mendirikan sembahyang yang telah difardukan, mengeluarkan Zakat yang diwajibkan dan berpuasa pada bulan Ramadhan". 

Kemudian lelaki tersebut bertanya lagi: 
"Wahai Rasulullah!, apakah makna Ihsan ?" 

Rasulullah bersabda: 
"Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu". 
(HR. Bukhori-Muslim) 

Artinya, untuk membangun sebab-sebab supaya seorang salik mendapatkan akibat baik berupa Ilmu Laduni, ibadah yang dilakukan itu harus dengan tujuan yang jelas, yaitu semata-mata mengharapkan ridho Allah dan supaya dapat berma‘rifat kepadaNya. 

Jalan ibadah (thoriqoh) yang dilakukan itu bukan untuk tujuan selain hal tersebut di atas, meski untuk mendapatkan Ilmu Laduni sendiri sekalipun, terlebih untuk berharap mendapatkan keuntungan duniawi. 

Oleh karena Ilmu Laduni itu adalah buah ibadah, maka ilmu tersebut diturunkan semata-mata hanya atas kehendak Allah bukan kehendak hamba-Nya. 

Diturunkan kepada seorang hamba yang dipilih-Nya, bukan seorang hamba yang memilih dirinya untuk supaya menjadi hamba pilihan-Nya. 

Meski seorang hamba mengetahui bahwa ibadah yang dilakukan akan mendapatkan janji Allah yang tidak teringkari, akan tetapi pelaksanaan janji itu bisa dilaksanakan manakala seorang hamba telah memenuhi syarat-syarat bagi pelaksanaan pengabdian yang hakiki. 

Padahal yang demikian itu hanya Allah yang Maha Mengetahuinya. 

Tidak ada yang dapat mengetahui ukuran kesempurnaan suatu pengabdian kecuali hanya Allah Ta‘ala, maka hanya Allah yang berhak menentukannya, apakah suatu ibadah diterima di sisi-Nya atau tidak, ibadah tersebut mendapatkan pahala atau tidak. Lebih-lebih lagi urusan Ilmu Laduni.  

Adapun sebab-sebab diturunkannya Ilmu Laduni ada empat : 
  1. Rahmat Sebelum Ilmu.  
  2. Buah takwa.  
  3. Rahasia Nubuwah dan Walayah.  
  4. Ilmu yang Diwariskan.
Meski seorang hamba mengetahui bahwa ibadah yang telah dilakukannya akan mendapatkan janji Allah yang tidak teringkari. 

Akan tetapi pelaksanaan janji itu bisa terjadi, manakala seorang hamba telah memenuhi syarat-syarat bagi pelaksanaan pengabdian yang hakiki.

READ MORE - Sebab Diturunkan Ilmu Laduni

Ilmu Laduni Sebagai Buah Takwa

Ilmu Laduni Sebagai Buah Takwa
Ilmu Laduni Sebagai Buah Takwa

Allah berfirman: 
"Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. al-Baqoroh (2); 282) 
Kehati-hatian (al-ihtiyat) seorang hamba dalam berbuat, menentukan sikap dan memilih jalan hidup yang harus ditempuh, di hadapan Dzat yang ditakuti "yang diyakini setiap saat dapat melihat dan mengetahui dirinya dimanapun berada" serta pengharapannya untuk mendapatkan petunjuk dan hidayah dari-Nya, hal tersebut akan menjadi sumber inspirasi dan ilham yang tiada henti, namun itu manakala ketakutan tersebut hanya disandarkan kepada yang memberi kehidupan, hanya kepada Allah Sang Pemberi Nur kehidupan alam. 

Hal tersebut bisa terjadi, karena interaksi dua dzikir telah terkondisikan, sebagai sunnah dan pelaksanaan janji yang tidak teringkari. 
"Maka ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat pula kepadamu ". (QS. 2; 152)
Interaksi dua nur walau dipancarkan dari dua sisi yang berbeda, yang satu mencari dan satu-Nya memberi adalah ibarat orang yang menjemur diri di terik sinar matahari pagi, maka kehangatan sinar mentari seketika meresap ke seluruh badan melalui urat nadi. 

Demikian pula Ilmu Laduni, ilmu warisan itu akan datang dengan menerangi matahati, datang dari hasanah perbendaharaan urusan rahasia Ketuhanan, datang sebagai buah ibadah yang ditekuni, datang sebagai akibat manakala sebab - sebabnya sudah terpenuhi secara terkondisi. 

Awal terbukanya sumber Ilmu Laduni tersebut terkadang terbit dari hati yang sedang galau karena dirundung sedih. 

Ketika jalan penyelesaian akhir yang harus dilewati pintu dan jendelanya seakan tertutup rapat-rapat oleh sebab-sebab yang tidak dimengerti. 

Antara kecewa dan putus asa karena tidak mungkin makhluk dapat menolong diri sendiri, hati yang lemah itu kemudian bersandar kepada Ilahi Rabbi. 

Mencari pertolongan, meleburkan segala asa dan cita, melahirkan rindu dan cinta, menyatukan antara harapan dan pasrah. 

Ketika cinta telah menyatu dengan cinta, penyerahan telah lebur dalam penerimaan, maka dengan izin-Nya pintu yang semula tertutup menjadi terbuka.  

Yang dimaksud sumber Ilmu Laduni adalah proses terbukanya pintu dan jendela itu, antara takut, kecewa, dan putus asa yang kemudian menjelma menjadi kegembiraan yang nyata. 

Manakala peristiwa tersebut ditarik ke belakang oleh para pemerhati untuk dijadikan bahan kajian guna memperdalam pemahaman hati dengan menguntai mutiara-mutiara hikmah yang berserakan, memadukan antara ayat yang tersurat dengan yang tersirat, maka di situlah letak sumber "Ilmu Laduni" itu akan menampakkan diri. 

Sumber Ilmu Laduni yang berupa sarana penggodokan jiwa dan "kawah candradimuka" untuk menciptakan konsep-konsep kehidupan dan resep keteladanan hidup. 

Sebab, tanpa tantangan dan kesulitan, maka dalil dan argumentasi masih penuh dengan keraguan sehingga ilmu pengetahuan yang ada hanya bagai melayang di angan-angan,. 

Meskipun sesungguhnya cara mendapatkan sumber "Ilmu Laduni" itu adalah sunnah (sistem) yang dimudahkan, namun seorang hamba tidak akan mampu mendapatkannya manakala di dalam hatinya masih terdapat penyakit basyariyah yang merugikan, seperti sifat bid'ah, sombong, riya’, cinta dunia, dan selalu condong berbuat kemaksiatan. 

Seperti langit ketika diselimuti awan dan mendung, meski matahari sudah tinggi duduk di titik kulminasi, kehangatannya tetap saja tertahankan. 

Seperti itu pula, walau seharian orang membentangkan jemuran, selama mendung dan awan masih ada, jemuran itu tetap saja tidak mendapatkan kekeringan. 

Seperti itulah gambaran proses datangnya Ilmu Laduni, maka Allah menegaskan dengan firman-Nya: 
"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi dengan tanpa alasan yang benar dari (memahami) ayat-ayat-Ku. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat-Ku mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan mereka terus menempuhnya, yang demikian itu dikarenakan mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya". QS. al-A‘raaf (7); 146. 
Allah akan menutup sumber Ilmu Laduni di dalam hati yang sombong, sehingga sedikitpun hati itu tidak dapat merasakan pancaran sinarnya. Karena kesombongan itulah yang telah mencemari karakter manusia dan akan menghalangi dirinya sendiri untuk dapat memahami kandungan arti ayat-ayat Allah, baik terhadap ayat yang tersurat maupun yang tersirat.  

Bahkan kesombongan itu juga akan menutup pintu iman dalam hati. 

Tanda-tandanya, saat di depan orang yang sombong itu terpampang jalan kebaikan, mereka selalu menghindarinya dan sebaliknya ketika ada jalan kejelekan, malah mereka segera menjalaninya. 

Jadi, kesombongan itulah yang sejatinya menjadi penyebab utama dari keingkaran dan kelalaian hatinya, sehingga mereka tidak dapat memetik buah amal yang dapat dikerjakan, semisal "Ilmu Laduni" yang diharapkan dapat menerangi hati. 

Lebih jelas ditegaskan di dalam ayat yang lain Allah  berfirman:
"Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan hari akherat suatu dinding yang tertutup * Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya, Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja di dalam Al-Qur'an niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya".  (QS. al-Isra‘(17); 45-46) 
Keingkaran manusia akan hari akhirat menjadi penyebab terhalangnya orang itu untuk menerima rahasia Ilmu Laduni dan menjadikannya benci kepada kebaikan serta cenderung kepada perbuatan maksiat. 

Artinya, ketika hati manusia ingkar kepada apa yang dijanjikan Allah di hari akhirat, maka berarti orientasi hidup manusia hanya cenderung mengikuti konsep duniawi saja. 

Konsep matematika di mana satu ditambah satu hasilnya tidak mungkin menjadi sepuluh. Padahal urusan Ilmu Laduni tidaklah demikian, boleh jadi satu diambil satu malah menjadi sepuluh, karena yang satu itu adalah sebuah pengorbanan yang harus dijalankan. 

Artinya, karena Ilmu Laduni adalah pahala yang dijanjikan, maka untuk mendapatkan pahala itu, jalannya haruslah dengan sebuah pengorbanan. Yaitu pengabdian yang hakiki semata melaksanakan kewajiban seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya. 

Demikianlah keadaan Ilmu Laduni, setiap orang boleh berusaha dengan sungguh - sungguh untuk mendapatkannya. Tentunya dengan melaksanakan pengabdian yang hakiki kepada Tuhannya. 

Namun demikian, meski dengan usaha yang bersungguh - sungguh, tidak seorangpun bisa dapat jaminan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Sebab, di jalanan yang akan dilalui itu banyak jebakan dan ranjau yang mengitari. 

Seperti Nabi Musa, meski sudah melaksanakan perjalanan berat dan panjang dan bahkan sudah bertemu dengan orang yang akan mewariskan Ilmu Laduni kepadanya, yaitu nabi Khidhir, hanya karena sedikit kesalahan yang dilakukan, akhirnya Nabi Musa tidak berhasil mendapatkan ilmu yang diharapkan itu. 

Nabi Musa dan Nabi Khidhir yang dikisahkan di dalam kisah perjalanan itu, (yang insya Allah akan penulis sampaikan di dalam pemaparan berikutnya), boleh jadi adalah sebagai personal dan boleh jadi juga sebagai karakter. 

Yaitu karakter Musa dan karakter Khidir. Kalau mereka berdua hanya sebagai personal dan bukan karakter, barangkali kisah itu sudah tidak ada manfaatnya lagi bagi orang-orang yang membacanya. Kecuali hanya sekedar membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.  

Oleh karena itu, di samping kisah perjalanan tersebut disimak secara gambaran personal, hendaknya seorang salik yang berharap mendapatkan sumber Ilmu Laduni menyimaknya juga sebagai perjalanan dua karakter. 

Artinya, bukan hanya sebagai Nabi Musa dan Nabi Khidhir yang sudah lama wafat. Namun sebagai karakter Musa dan karakter Khidhir yang harus mampu dihidupkan di dalam jiwanya sendiri, dengan itu supaya jiwanya mampu dihidupi oleh dua karakter tersebut, sehingga selanjutnya dirinya mampu menghadapi setiap tantangan yang sedang menghadang di depan mata. 

Karakter-karakter itu, manakala telah mampu diterapkan oleh seorang salik di dalam perilaku keseharian hidupnya, maka secara otomatis di akhir perjalanan, karakter-karakter itu akan menjiwai pelakunya. 

Demikian itulah buah amal (latihan), maka siapapun dapat melakukannya, asal ada kemauan dan jalannya benar serta terbimbing oleh ahlinya. 

Namun demikian, oleh karena Ilmu Laduni adalah ilmu warisan, maka hasil akhirnya bergantung kepada orang yang memberi, bukan orang yang meminta. Di situ ada rahasia besar yang harus terkuakkan. 

Oleh karena itu, di samping cara usaha yang benar, kebersihan hati dalam berusaha adalah syarat utama untuk bisa mendapatkannya. 

Di dalam kitab at-Tibyan fi 'Ulumil Qur‘an, Imam Ali ash-Shobuni mengutip pendapat beberapa Ulama‘ tentang Ilmu Laduni ini, berkaitan dengan ihwal kebersihan hati, yang menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan Ilmu Laduni

Melalui syairnya yang terkenal, al-Imam asy-Syafi'i mengisyaratkan hal itu dengan indahnya: 
"Aku mengadu kepada Al-Waqi‘  perihal jeleknya hapalanku, maka dia menunjuki aku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Karena sesungguhnya  ilmu itu adalah Nur. Nur Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat". 
Al-Imam as-Suyuti berkata: 
"Banyak orang mengira, bahwa Ilmu Laduni itu sangat sulit untuk didapat. Mereka berkata; Ilmu Laduni itu berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk mendapatkan Ilmu Laduni itu, caranya hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud." 
Kemudian beliau meneruskan: 
"Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas sekali. Bagaikan samudera yang tidak bertepi. Adapun Ilmu Laduni ini adalah alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayat-Nya".  
Oleh karena itu, seseorang dilarang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an kecuali bagi mereka yang terlebih dahulu telah mendapatkan Ilmu Laduni ini. 

Barangsiapa menafsirkan al-Qur'an tanpa alat Ilmu Laduni ini, boleh jadi mereka hanya akan menafsirkanya dengan akal saja (bir ro'yi) yang dilarang oleh agama. Sebab, pemahaman ilmu al-Qur'an yang hakiki adalah sesuatu yang sifatnya Qodim dan sumber Ilmu Laduni juga dari yang Qodim itu. 

Oleh karena itu, orang tidak dapat menyentuh sesuatu yang Qodim kecuali dengan alat Dari yang Qodim pula. 

Para Ulama' menyebut ini sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur'an, supaya dia berhasil sampai pada tingkat penafsiran terdalam dan tertinggi sesuai dengan kemampuannya dalam memahami, baik di saat sedang mendengarkan maupun membaca ayat - ayat-Nya. 

Sungguh Allah telah memudahkannya dan telah memerintahkan pula untuk mengadakan penelitian, sebagaimana firman-Nya: 
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran'. (QS. al-Qomar (54); 17). 
Dan juga firman Allah : 
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al- Qur'an, atau diatas hati-hati ada kuncinya".  (QS. Muhammad (47); 24)
(Ali ash-Shobuni; At-Tibyan fi 'Ulumil Qur'an, 159) 

READ MORE - Ilmu Laduni Sebagai Buah Takwa

Ilmu Laduni Merupakan Buah Ma'rifat, Cinta dan Rindu

Ilmu Laduni Merupakan Buah Ma'rifat, Cinta dan Rindu
Ilmu Laduni Merupakan Buah Ma'rifat, Cinta dan Rindu
Ketika orang sedang kasmaran dengan sang kekasih misalnya, refleksi klimaks keasyikan yang terjadi, kerapkali memunculkan pengertian dan pemahaman yang tidak terduga. 

Pemahaman itu bentuk wujudnya ternyata pengalaman-pengalaman hidup yang sangat berkesan, luas, unik, serta sukar dilupakan. 

Yang demikian itu apabila diteliti dengan cermat dan mendalam, secara mendetail dan terperinci, apalagi ketika pengalaman-pengalaman itu kadang-kadang ternyata berupa teori-teori tentang cinta—bahkan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, padahal dia belum pernah sama sekali belajar tentang ilmu cinta, baik dengan membaca maupun mendengar, dari manakah gerangan datangnya pemahaman itu? 

Padahal setiap pemahaman adalah ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dikatakan Ilmu Laduni manakala pemahaman hati yang turun seketika itu menyangkut kaitan urusan rahasia ketuhanan. 

Bahkan jauh lebih dalam dari itu. Dalam rangka seorang salik mencari hakikat makna cinta, terkadang refleksi kerinduan yang terpendam akan sang kekasih, oleh sang perindu dijadikan sebagai tambang inspirasi dan sumber ilham. 

Alam kerinduan itu dimasuki dan ditelusuri dalam bentuk pencarian-pencarian secara ruhaniah. Maka yang asalnya tidak mengerti menjadi mengerti dan yang asalnya tidak faham menjadi memahami.  

Demikian itu artinya:  
"Bahwa gelora kerinduan api Cinta telah menjelma menjadi sumber energi yang panasnya telah membakar sekat dan merontokkan hijab serta menembus dinding-dinding pembatas. Lalu sorot matahati menjadi tajam sehingga membuka situs-situs yang bertebaran di alam maya pada ruhaniah. Dengan itu, maka rahasia-rahasia kehidupan menjadi terbongkar dan kejadian-kejadian yang belum terjadi terkuakkan. Rahasia keadaan diri seseorang, keadaan alam sekitarnya, dan bahkan tentang urusan rahasia Ketuhanan. Itu bisa terjadi, manakala potensi tersebut dikondisikan dengan jalan mujahadah yang terbimbing, maka seorang hamba akan mendapatkan sumber Ilmu Laduni, sehingga menjadikan seorang hamba mengenal alam sekitarnya dan mengenal Tuhannya". 
Seorang perindu bersair:
"Ketika berjalan dengan kakinya Sepi, tertatih-tatih  
Ketika berjalan dengan telinganya Bersama angin bersama burung Riang bernyanyi menyambut pagi 
Ketika berjalan dengan kepalanya Gunung-gunung bercerita 
Rumput bernada Senandungkan lagu cinta 
Ketika berjalan dengan hatinya Maka menjadi rindu  
Kepada bulan kepada matahari Menjadi abadi Memancar dari dalam pribadi 
Ketika bercerita tentang cinta bagaikan guru cinta. 
Berjuta lirik tercipta, beribu puisi teruntai, semua indah, 
Padahal tidak ada sekolah jurusan ilmu cinta. 

Itulah api cinta ketika bergelora Dari tambang pengembaraan ruhaniah 
Ketika api itu larut bersama sinarnya 
Membakar sekat dan hijab Menembus dinding akal dan fikir 
Membuka situs-situs Lauh Mahfud Maka, ruh membaca dan akal menyimpan data 

Ketika kerinduan telah mereda 
Dan buramnya pandangan mata telah sirna Data-data yang ada di situs itu 
Ternyata tempatnya telah berpindah
Untaian kata-kata di atas merupakan sebuah i'tibar, bahwa, disaat arus kerinduan manusia sedang menggelora, suatu potensi bisa terjadi. 

Refleksi kerinduan tersebut ternyata mampu membangkitkan tambang energi yang memancar dari akal dan fikir kemudian membakar hijab dan merontokkan sekat yang menyelimuti rongga dada dan menutupi matahati. 

Dengan izin Allah hal tersebut menjadikan matahati seorang salik mampu menembus Alam Malakut. Yakni alam dimana rahasia kejadian "Alam Azaliah" dapat dilihat (dirasakan) secara hakiki, alam ghaib yang didalamnya terdapat perbendaharaan rahasia urusan Ketuhanan yang semestinya hanya Wahyu yang berhak mengabarkannya.     

Alam azaliah itu adalah alam ruhaniah yang terletak di dalam dimensi ruang-waktu yang berbeda dengan alam lahir atau alam kasat mata ini, alam dimana suatu saat pernah dikatakan kepada anak Adam saat ruhnya akan ditiupkan ke rahim ibunya, Allah mengabarkannya dengan firman-Nya: 
"Bukankah Aku Tuhanmu", dan calon anak Adam itu menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi". 
Alam azaliah itu sejatinya alam nyata pula bahkan masanya juga masih semasa dengan alam kasat mata ini, namun oleh karena keberadaannya di luar dimensi alam lahir ini maka kebanyakan manusia tidak mengenalinya. 

Padahal dalam kondisi nyata pula sesungguhnya setiap saat manusia dapat memasuki alam azaliah itu dengan mudah. 

Baik siang maupun malam mereka bisa memasuki melalui pintunya yaitu tidur, yakni ketika manusia sedang bermimpi di dalam tidurnya. 

Namun, oleh karena tidurnya itu tidak pernah dipersiapkan dan dikondisikan dengan pengenalan dan perencanaan yang matang, maka meski setiap hari mereka telah keluar masuk alam ghaib tersebut dengan mudah, sedikitpun mereka tidak dapat mengambil kemanfaatan yang berarti darinya.  

"Alam ruhaniah" itu bagaikan samudera seperti juga "alam akal" dan "alam fikir", akan tetapi keberadaan dua samudera yang berbeda itu dibatasi dengan "Barzah" (dimensi ruang-waktu). 

Hanya dengan urusan dan ilmu Allah, disaat-saat tertentu sesuai kehendak-Nya, kedua samudera itu dibiarkan dapat saling bertemu. 

Hal tersebut kabarkan Allah dalam QS. 55; Ayat 19-20 yang artinya; 
"Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masing".
Itulah bagian dari rahasia alam mimpi, oleh karena itu, 45% dari urusan rahasia alam kenabian (wahyu) dikirimkan melalui alam mimpi.  

Manakala interaksi kerinduan antara sesama makhluk saja mampu membangkitkan power yang sanggup membakar hijab dan merontokkan sekat yang menyelimuti rongga dada sehingga sorot matahati manusia mampu menembus tabir dimensi alam ruhaniah, yakni dimensi dimana perbendaharaan "Ilmu Ladunniyyah Robbaniyyah" tersimpan secara rahasia, apalagi jika yang terjadi itu adalah klimaks interaksi yang disumber pancarkan antara Nur langit dan Nur bumi. 

Klimaks kerinduan seorang hamba yang sedang berdzikir untuk melahirkan rasa cinta kepada Sang Pemberi kehidupan cintanya itu sendiri, yakni Allah, maka tentunya energi yang dahsyat itu akan mampu menghasilkan "dzikir balik", menghasilkan interaksi dua dzikir yang datang dari dua alam yang berbeda. Interaksi antara munajat seorang hamba dan ijabah dari Tuhannya. 

Sehingga apa saja yang dikehendaki oleh seorang hamba segera terwujud, demikian itu yang dijanjikan Allah dengan firman-Nya, hal tersebut karena munajat sang pecinta telah mendapatkan ijabah dari Junjungan yang selalu menampakkan diri di pelupuk matahatinya.   

Interaksi dua dzikir itu bisa terjadi karena sesungguhnya sang Matahari selalu siap memancarkan sinar-Nya pada titik kulminasi dan sang pendaki telah siap pula menerima pancaran sinar tersebut meski dalam pendakian itu dia hanya mampu mencapai batas dua alam yang terpisah. 

Adakah yang mampu menghalangi pancaran sinar matahari ketika sedang memancarkan sinar penuhnya itu? 

Oleh karenanya, manakala terjadi keadaan seperti itu, dimana seorang hamba sudah menjulurkan tangannya ke langit untuk memanjatkan do‘anya kepada Tuhannya, namun dia tidak juga mampu menerima pancaran sinar ijabah itu, maka barangkali ada awan mendung yang menghalangi. 

Penghalang itu tidak lain adalah daki dosa dan kerak kesalahan yang telah menghijab rongga dada bagaikan karat yang menempel di dinding hati, sehingga menghalangi pancaran nur hidayah Allah tersebut. 

Serupa dengan hati orang kafir, yang tidak juga mau beriman, meski tanda-tanda kebesaran Allah setiap hari tampak di depan pelupuk matanya. 

Sebab, hati itu telah diliputi awan gelap yang berlapis-lapis hingga mereka tidak kuasa keluar dari dinding gelap yang melingkupinya. Allah telah menyatakan hal itu dengan firman-Nya: 
"Seperti orang yang serupa dengan dirinya, di dalam kegelapan yang tidak dapat keluar dari padanya". (QS. 6; 122) 
Untuk menjaga hal tersebut supaya tidak terjadi, maka setelah orang beriman mampu membuka pintu imannya, sebelum memasuki pintu-pintu yang berikutnya, terlebih dahulu hendaklah mereka mampu merontokkan hijab-hijab dan penyakit ruhani yang menutupi matahati. 

Adapun hijab yang terbesar dan terkuat dalam hidup ini adalah kehidupan itu sendiri, padahal hidup tidak boleh dihilangkan, apalagi dimatikan, makanya orang harus mampu mengatur kehidupannya dengan baik dan benar. 

Untuk itulah agama diadakan, Nabi dan Rasul diutus di muka bumi dan kitab-kitab langit diturunkan. 

Diturunkan sebagai sunnah yang harus dijalani agar seorang hamba dapat mengenal Penciptanya. 

Ketika hati manusia telah bersih dari segala kotoran basyariyah, maka hati itu bagaikan kaca yang siap menerima pantulan sinar matahari, selanjutnya tinggal bagaimana kaca itu mengkondisikan diri guna dapat disinari sinar matahari yang selalu menunggu dan siap memancarkan sinarnya dari titik kulminasi.  

Ketika seorang hamba melaksanakan mujahadah dan riyadlah di jalan Allah, mereka mengharapkan apa saja yang bisa diharapkan dari-Nya, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, maka pengharapan itu bagaikan pengharapan kaca terhadap sinar matahari. 

Oleh karenanya, ketika pengharapan itu mampu dipancarkan dengan hati bersih, bebas dari penyakit - penyakit basyariyah yang mengotori, maka sebesar pengharapan tersebut dengan izin-Nya seorang hamba akan menerima pancaran sinar yang sepadan dan bahkan lebih besar lagi.  

Itulah "interaksi nuriyah" antara Sang Pencipta dengan hamba-Nya, merupakan sunnatullah yang sejak diciptakan tidak akan pernah ada perubahan lagi untuk selamanya, bahkan juga merupakan hukum sebab-akibat. 

Yakni jika sebabnya mampu dibangun oleh seorang hamba dengan sempurna maka akibatnya akan didatangkan oleh-Nya dengan sempurna pula. 

Allah menegaskan hal itu dengan firman-Nya; 
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.". (QS. al-Baqoroh (2); 152)
Dan firman-Nya yang lain: 
"Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu". (QS. al-Baqoroh (2); 40) 
Sumber yang memancarkan energi kehidupan universal itu hakikatnya adalah Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim yang berkehendak membangkitkan kehidupan di muka bumi bersama seluruh perangkat dan sarananya, seorang hamba tinggal memilih mengharapkan kehidupan yang mana. 

Manakala mereka mengharapkan kehidupan ilmu pengetahuan dan imannya, maka mereka akan mendapatkannya sesuai dengan apa yang dituju dengan tanpa ada pengurangan sedikitpun dari-Nya. 

Allah  berfirman: 
"Dan Dia telah memberikan kepadamu dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya". (QS. Ibrahim (14); 34) 
Untuk supaya pemberian-pemberian tersebut sampainya sesuai dengan yang diharapkan, maka seorang hamba terlebih dahulu harus menentukan langkah dan pilihan, itulah amal. 

Yaitu dengan bersungguh-sungguh menempuh jalan (thariqah) yang diyakini dengan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, itupun juga merupakan sunnatullah. 

Oleh karena itu yang terpenting adalah ilmu (teori)nya, kemudian ditindaklanjuti dengan cara (praktek) yang benar. 

Untuk itulah guru yang ahli dibutuhkan dalam perjalanan seorang salik. Guru tersebut berfungsi sebagai pembimbing dan petunjuk jalan supaya perjalanan yang dilakukan seorang salik dapat tertuju kepada sasaran yang tepat dan benar serta tahapan demi tahapan pencapaian yang terprogram dapat terselesaikan sesuai ketetapan. 

Jika perjalanan itu dilakukan tanpa didasari ilmu dan bimbingan yang benar, maka jangan sekali-kali ada orang berharap mendapatkan hasil dari apa saja yang bisa diusahakan. 

READ MORE - Ilmu Laduni Merupakan Buah Ma'rifat, Cinta dan Rindu

Hakikat Ilmu Laduni

Hakikat Ilmu Laduni
Hakikat Ilmu Laduni
Yang dimaksud Ilmu Laduni adalah "‘Ilmu Laddunniyyah Robbaniyyah. Ilmu pemberian atau warisan langsung dari pewarisnya yang terlebih dahulu telah mendapatkan warisan dari para pendahulunya, yaitu para Nabi, ash-Shiddiq, asy Syuhada‘ ash-Sholihin

Ilmu tersebut diwariskan hanya semata-mata atas kehendak atau urusan ketuhanan. Ilmu Laduni itu terbit dari sumbernya, yaitu hati sanubari orang-orang beriman yang telah lama mengadakan pencarian dengan bersungguh-sungguh. 

Berupa Ilham spontan yang memancar dari dalam hati kemudian terpancarkan lagi keluar dalam bentuk perilaku, baik ucapan maupun perbuatan melalui akal dan fikiran. Ilham spontan itu hanya akan terbesit dari hati seorang hamba yang sedang rindu dan menunggu titah Allah, berupa pemahaman konkrit dan logis juga alasan-alasan kuat yang reasonable serta dapat diterima akal sehat. 

Bahkan Ilmu Laduni itu terkadang berupa penemuan-penemuan ilmiah yang dinamis dan aplikatif. Allah mengabarkan keberadaan Ilmu Laduni ini melalui firmanNya:
"Yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya Ilmu dari sisi Kami. (QS. 18; 65)
Ilmu Laduni adalah ilmu yang memancar dengan sendirinya dari pusat pertambangannya, disaat terjadi proses peningkatan pencapaian pengalaman pribadi secara ruhaniah. 

Disaat seorang hamba melaksanakan pengembaraan ruhaniah, terkadang terbitnya Ilmu Laduni itu berupa solusi untuk menghadapi permasalahan hidup, untuk menyikapi anugerah dan musibah, untuk mensiasati senang dan susah. 

Juga disaat seorang hamba sedang mencari penyelesaian urusan hidup secara vertikal melalui dzikir dan fikir (tafakkur) ketika saat itu dia menghadapi konflik kehidupan secara horizontal, Ilmu Laduni tersebut kemudian diturunkan dalam hati agar setiap kejadian dapat membawa hikmah sehingga seorang hamba tidak salah dalam membaca tanda-tanda. 

Ilmu Laduni itu didatangkan bagai tetes embun di pagi hari di dalam hati yang sedang gersang, maka sang musafir sejati terlepas dari siksa dahaga yang berkepanjangan.  

Ilmu Laduni itu buah ilmu dan amal, buah dzikir dan fikir, buah mujahadah dan riyadlah. 

Ilmu Laduni itu muncul di setiap saat sedang terjadi proses fikir (tafakkur), dalam rangka berusaha meningkatkan tahapan pencapaian ma‘rifatullah. 

Disaat seseorang mengadakan penelitian terhadap konflik kehidupan yang sedang berkembang, terhadap rahasia di balik kehendak azaliah (qodho‘) dan keputusan yang hadits (taqdir). 

Dalam rangka membaca sinyal dan isyarah yang ditebarkan oleh indikator-indikator yang terbaca melalui tambang proses terjadinya interaksi secara ruhaniah antara diri seorang hamba dengan urusan Tuhannya.  

Dengan diturunkannya Ilmu Laduni itu diharapkan seorang pengembara selalu mendapatkan tambahan keyakinan dan pengenalan terhadap segala kehendak-Nya, baik senang maupun susah, benci dan cinta maupun anugerah dan musibah, kemudian Ilmu Laduni itu memancar dari ufuknya bagaikan sinar mentari pagi sehingga alam dada itu seketika menjadi terang benderang, meski saat itu alam luarnya masih suram dan kelam. 

Bagaikan ufuk di langit luar dan langit dalam manusia, ketika Ilmu Laduni itu telah terbit bak sinar mentari pagi, maka seketika kepekatan hati yang merindu sirna. 

Demikian itu bisa terjadi, karena jalan keluar dari masalah yang sedang terjadi telah terpampang di depan mata dan rahasia hikmah telah terbaca di dalam sanubari, selanjutnya hati yang susah menjadi gembira karena yang dahulu bodoh sekarang mengerti dan memahami. 

READ MORE - Hakikat Ilmu Laduni