Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.

Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Perjalanan tahap kedua adalah usaha seorang murid untuk membangun komitmen (mubaya‘ah) kepada guru mursyidnya

Seorang murid harus mampu melaksanakan apa-apa yang sudah disepakati dengan guru mursyidnya, itu sebagai hal yang wajib dikerjakan berkaitan dengan janji (bai‘at) yang sudah dilaksanakan. 

Pelaksanaan bai‘at seperti itu juga dilaksanakan Rasulullah saw. terhadap para sahabat sebagai janji setia untuk bersedia mengikuti beliau: 
"Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar'. (QS. al-Fath : 10).
Janji seorang murid di hadapan guru mursyidnya hanyalah pelaksanaan syari‘at secara lahir sedangkan secara hakekat, saat itu sesungguhnya dia sedang berjanji kepada Allah Ta‘ala dengan saksi guru mursyidnya. 

Yang seperti itu juga dilaksanakan Nabi Musa as. kepada Nabi Khidhir as

Perjanjian itu dilaksanakan saat mereka berdua akan memulai perjalanan sejarah kemanusiaan itu. 

Allah Ta‘ala telah mengabadikan dengan firman-Nya di atas. (QS. 18 : 65-70.) 

Kita mengikuti kandungan makna ayat tersebut secara tafsiriyah : 

1. Nabi Musa as. telah melaksanakan beberapa tata cara pelaksanaan akhlaqul Karimah sebagai konsekwensi seorang murid kepada Nabi Khidhir as. sebagai guru mursyidnya

Itu merupakan pelajaran yang sangat berharga yang di abadikan Allah Ta‘ala di dalam kitab yang Mulia, Al-Qur‘an al-Karim. Pelajaran tersebut harus dijadikan sebagai "Uswah al-Hasanah" oleh seorang murid untuk menuntut ilmu kepada guru mursyidnya

Pelajaran berharga tersebut diantaranya:

a). Nabi Musa as. menempatkan dirinya sebagai pengikut dan memohom izin kepada Nabi Khidhir as. untuk mengikuti: "Hal Attabi'uka" (Bolehkah aku mengikutimu?). 

Hal tersebut menunjukkan pelaksanaan tawadhuk (rendah hati) yang sangat tinggi dari seorang murid. Meski Nabi Musa as. adalah seorang Rasul dan Nabi zamannya, untuk menuntut ilmu pengetahuan beliau tidak segan-segan merendahkan diri untuk menjadi pengikut guru mursyidnya, Nabi Khidhir as.  

Nabi Khidhir as.—di sini—disebutkan sebagai guru mursyid, karena jenis ilmu (Ilmu Laduni) yang dituntut Nabi Musa darinya adalah "Ilmu Hakikat". Oleh karena "Ilmu Hakikat" adalah buah amal ibadah dan pengabdian, maka tidak mungkin dapat diajarkan kepada seorang murid kecuali dengan melaksanakan Thoriqoh "secara bersama-sama", oleh seorang guru mursyid yang suci lagi mulia. 

Ketika pelaksanaan "akhlakul karimah" tersebut ditampilkan Allah Ta‘ala di dalam kitab suci Al-Qur‘an, berarti menjadi suatu keharusan bagi umat Nabi Muhammad saw. untuk bisa mengikutinya, hal tersebut sebagai syarat dan tata cara untuk menuntut ilmu pengetahuan secara benar. 

b). Nabi Musa as. berkata: " 'Alaa an tu'allimanii" (supaya engkau mengajariku ilmu), sebuah pernyataan dan pengakuan akan kebodohan  diri atas ke‘aliman seorang guru yang diikuti. 

Adalah syarat mutlak untuk sampainya ilmu seorang guru kepada seorang muridnya, seorang murid harus merasa lebih bodoh dibandingkan gurunya. 

Yang demikian itu ibarat orang mengosongkan gelas, supaya air yang dituangkan dalam gelas itu dapat masuk kedalamnya. 

c). Nabi Musa as. berkata : "Mimmaa 'ullimta" (sebagian dari apa yang sudah diajarkan kepadamu), ini juga menunjukkan pelaksanaan tingkat tawadhuk yang tinggi. Seakan-akan Nabi Musa as. berkata : 
"Aku tidak mengharapkan engkau menjadikan aku sama 'alimnya dengan dirimu, akan tetapi yang aku harapkan darimu hanya sebagian dari ilmumu"
Permintaan itu layaknya seperti permintaan si fakir kepada orang kaya akan sebagian kecil hartanya.  

Sebagai bentuk pengagungan seorang murid kepada gurunya, murid tidak boleh ingin mengungguli ilmu gurunya, baik dengan perasaan dalam hati maupun yang terekspresikan melalui ucapan dan perbuatan. 

Yang demikian juga, oleh karena "Ilmu" tidak seperti air, yakni ketika dituangkan ke tempat lain, air itu menjadi berkurang. 

Ilmu tidak seperti itu, tetapi seperti cahaya, betapapun ilmu itu diserap oleh orang banyak, selamanya ilmu itu tidak akan menjadi habis, bahkan bertambah. 

Hal itu merupakan pahala amal ibadah, ketika ilmu pengetahuan diajarkan kepada orang lain, ilmu itu tidak semakin berkurang melainkan semakin bertambah. 

d). Dari perkataan : "Mimmaa 'ullimta rusydan". Mengandung suatu pengakuan terhadap apa-apa yang dimiliki oleh gurunya, seakan-akan Nabi Musa as. berkata:  
Dari apa-apa yang Allah mengajarkannya kepadamu, dengan itu barangkali menjadikan petunjuk di dalam urusanku untuk mendapatkan ilmu yang bermanfa‘at dan amal yang sholeh.  
Mengandung pengakuan akan tingkat kwalitas ilmu yang dimiliki gurunya dan menunjukkan kebutuhan dirinya akan kemanfa‘atan ilmu tersebut, yang demikian itu menjadikan hati seorang guru tersanjung.  

Ilmu yang dimiliki Nabi Musa as. adalah ilmu syari‘at,  yaitu ilmu tentang hukum dan fatwa yang berkaitan urusan-urusan yang lahir baik dari perkataan atau perbuatan manusia, sedangkan ilmu Nabi Khidhir as. adalah ilmu tentang urusan-urusan yang bathin yang berkaitan dengan rahasia kejadian-kejadian yang ghaib. 

e). Nabi Musa as. berkata: "Hal attabi'uka 'alaa antu'allimanii". (Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu?). 

Pertama mengikuti dan yang kedua mempelajari. 

Merupakan kewajiban yang pertama bagi seorang murid adalah mengabdi kepada guru mursyidnya baru kemudian mencari ilmu darinya.  

Ketika hati seorang guru merasa senang dengan pengabdian seorang murid kepadanya, maka bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit, "Ilmu Laduni" itu akan memancar terus menerus ke dalam hati muridnya. 

Ilmu Laduni tersebut bisa transfer melalui do‘a dan munajat gurunya setiap saat, walau si murid tidak pernah diajari ilmu secara langsung oleh gurunya: 
"Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,……… demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan". (QS. ar Ra‘d : 17). 
Bagaikan lembah-lembah di muka bumi, hati seorang murid akan menerima pancaran do‘a-do‘a (Ilmu Laduni) guru mursyidnya sesuai kemampuan hati itu menampung ilmu yang dipancarkan secara ruhaniyah.

2. Firman Allah SWT (Bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?). 

Maksud ayat, menunjukkan sangat tidak mungkin bagi seseorang untuk berbuat sabar terhadap musibah sebelum terlebih dahulu ia mengetahui secara pasti akan hikmah dan rahasia musibah yang sedang dihadapinya, walau ia telah memberikan kesanggupan yang kuat untuk berbuat sabar.  

Diantara syarat seorang murid mendapatkan akan ilmu dari gurunya adalah "sabar" terhadap apa yang diperbuat oleh seorang gurunya, hal tersebut sebagai tahapan ujian yang harus dijalani oleh seorang murid. 

Ketika —di ayat inisabar dikaitkan dengan rahasia di balik kejadian yang sedang dihadapi, maka hakikat sabar itu adalah cemerlangnya matahati sehingga sorotnya mampu menembus hal ghaib yang ada di balik kejadian yang lahir tersebut. 

Oleh karena tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah, maka jalan mencapai kesabaran itu hanyalah memohon pertolongan kepada Allah : 
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu‘. (QS. al-Baqoroh : 45). 
3. Firman Allah SWT.  (Dan aku tidak menentangmu dalam sesuatu apapun). 

Menunjukkan bahwa kesabaran seorang murid menghadapi ujian-ujian yang diberikan seorang guru adalah hal yang wajib dilakukan yang juga akan menentukan keberhasilannya dalam menuntut ilmu. 

Karena bagi yang menentang akan mendapatkan siksa: 
"Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya baginya neraka jahannam". (QS. 72: 23).
Artinya ketidaksabaran itu adalah termasuk bentuk perbuatan durhaka.  

4. Firman Allah SWT: (Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai kepadamu), 

atau aku sendiri menerangkannya kamu jangan meminta diterangkan rahasia-rahasia di balik ujian itu sebelum aku sendiri yang memberitahukan kepadamu. 

Di saat seorang murid menjalani tes (ujian) di sekolah saja, murid itu dilarang nyontek kepada temannya, apalagi bertanya kepada guru terhadap jawaban materi tes tersebut. 

Jika hal tersebut dilakukan berarti tujuan ujian menjadi gagal dan bila guru itu menjawab berarti guru itu telah mengkhianati fungsinya sebagai penguji.  

Terlebih lagi untuk menghadapi ujian hidup di lapangan. Seorang murid harus mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya sendiri. 

Mereka harus mampu memadukan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat, juga menyikapi kesulitan hidup sebagai tantangan. Dengan didukung husnudh-dhon (berbaik sangka) yang kuat, penalaran seorang murid akan menjadi tumbuh dan berkembang dari dalam hatinya sendiri. 

Itu merupakan bentuk latihan yang efektif, terlebih ketika yang demikian itu terjadi berulang kali, hasilnya akan dapat mengasah akal dan pikir manusia menjadi cerdas. 

Demikian pula Nabi Musa as. ketika masa ujian itu tiba, beliau dilarang bertanya sesuatu kepada Nabi Khidhir as.. Maksudnya : 
Karena apabila aku (Khidhir) yang menjawab, maka jawabannya hanya satu, hanya seperti yang aku sampaikan kepadamu, akan tetapi ketika kamu diam, sambil akalmu berfikir, mencari tahu jawabannya melalui pengembaraan akal dan fikir dengan disertai prasangka yang baik, serta berharap mendapat petunjuk dari Allah, maka boleh jadi jawabannya menjadi berkembang. Jawaban itu akan menjadi bagaikan ”tambang inspirasi yang tidak akan habis-habis”. Barangkali itulah yang dimaksud dengan istilah, "Diam adalah Emas". 
Seakan-akan sang guru berkata :  
"Ketika kamu melihat sesuatu hal yang belum kamu pahami, jadikanlah akal dan fikirmu sebagai pintu masuknya ilmu, bukan telingamu. Sedangkan bagi telingamu, gunakanlah pintu sabar, sampai ia mendapat bagiannya sendiri dari Allah SWT. melalui ilham-Nya". ( Sebagian dikutip dari tafsir Fahrur-Rozi) 

READ MORE - Hikmah Perjalanan Tahap Kedua Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.

Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama

Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama
Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama
Dengan mujahadah dan dzikir yang dilaksanakan oleh seorang salik sebagai pelaksanaan thoriqoh secara istiqomah. Akal (rasio) akan selalu mendapatkan pencerahan dari hati dengan "nur hidayah", nur hidayah tersebut adalah buah dzikir yang dijalani. 

Hasilnya, aktifitas akal yang terkadang suka kebablasan dapat terkendali dengan kekuatan aqidah (spiritual) yang benar. 

Dengan dzikir itu, seperti meditasi, orang beriman hendaknya mampu mengosongkan irodah dan qudroh basyariyah yang hadits (baru) untuk dihadapkan kepada irodah dan qudroh Allah Ta‘ala yang azaliah. 

Maksudnya, obsesi, rencana, dan kemampuan diri untuk mengatur kehidupan kedepan, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, saat itu, dengan kekuatan dzikir yang dilaksanakan tersebut, dilepas sementara dari bilik akalnya, kebutuhan hidup tersebut dihadapkan dan diserahkan kepada perancanaan Allah "bagi setiap hamba-Nya" sejak zaman azali serta kepada kemampuan-Nya yang Maha Kuasa untuk memberikan solusi dan pertolongan kepada hamba-Nya.  

Ketika dengan pelaksanaan "meditasi islami" tersebut, rasio berhasil dikosongkan dari kemampuan secara basyariyah, terlebih apabila pengosongan itu adalah merupakan buah syukur yang diekspresikan di dalam bacaan dzikir, hasil yang diharapkan, yang masuk setelah pengosongan itu adalah rahasia bacaan dzikir yang dilakukan tersebut. 

Rahasia yang terkandung di dalam kalimat "La Ilaaha Illallah" (tidak ada Tuhan selain Allah) yang dilafadkan berkali-kali secara istiqomah itu. 

Rahasia bacaan yang masuk tersebut adalah "ilham" dan "inspirasi spontan" di dalam hati seorang hamba yang akan mampu memberikan solusi dan jalan keluar untuk menyelesaikan setiap kesulitan yang sedang dihadapi. 

Itulah rahasia Nubuwah "yang dahulu diberikan kepada para Nabi, kemudian menjadi Walayah" ketika diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, sejatinya adalah wahyu yang disampaikan: 
"Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu". (QS. 42 : 51).  
Ketika rahasia Nubuwah itu telah meresap di dalam hati (spiritual). Seperti air yang mengalir dari cabang-cabang anak sungai, ketika keluar dari muara, air itu kemudian melebur di dalam samudera yang tidak terbatas, maka yang asalnya kotor seketika menjadi bersih, yang asalnya najis menjadi suci. 

Seperti itulah pencerahan akal dari rahasia dzikir, sehingga hati yang asalnya susah langsung menjadi gembira: 
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram". (QS. ar-Ra‘d : 28). 
Dengan itu, manusia tidak sekedar menjadi pintar saja, tapi juga cerdas.

Mereka siap menjawab segala pertanyaan dan teka-teki yang ditampilkan kehidupan dengan benar dan "rahmatan lil alamin", karena akal mereka senantiasa mendapatkan pencerahan dari hati. Itulah hasil perpaduan antara dzikir dan fikir. 

Karena demikian pentingnya pelaksanaan dzikir ini, maka Allah Ta‘ala telah membuat persaksian dengan firman-Nya:  
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Ali Imran : 191). 
Kita meneruskan ayat : 
"Yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya Ilmu dari sisi Kami". (QS. al-Kahfi : 65). 
Firman Allah SWT. 
"Fawajadaa 'abdam min 'Ibaadinan"
Mujahid ra berkata: "Hamba itu namanya Khidhir. Dinamakan Khidhir karena apabila dia sholat di suatu tempat, tempat sekelilingnya menjadi tampak hijau".

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi ra. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw.  bersabda :
"Dinamakan Khidhir karena, sesungguhnya ketika dia duduk di daratan bumi yang putih, ketika ia bergerak maka bumi di atasnya tampak hijau".
Manurut Jumhur Ulama‘, 
"Khidhir as. adalah seorang Nabi. Dalilnya adalah ayat-ayat diatas tersebut (al-Kahfi 60-82), yaitu tidak mungkin seorang mengetahui urusan yang ghaib kecuali dengan Wahyu. Demikian pula, manusia tidak mungkin belajar dan mengikuti orang lain kecuali kepada orang yang ilmu pengetahuannya berada diatasnya, sedangkan diatas seorang Nabi haruslah seorang Nabi pula". (Tafsir Qurthubi, Ayat 65 surat Al-Kahfi.)
Di dalam tafsir kubronya, Imam Fahr ar-Rozi ra. menafsirkan ayat di atas: Firman Allah SWT. 
"Fawajadaa 'abdam min 'ibaadinan" (keduanya telah menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami) 
beliau berkata : "Sebagian besar Ulama' ahli tafsir telah sepakat bahwa hamba tersebut adalah seorang Nabi dan bernama Khidhir as. yaitu seorang hamba Allah yang dipilih untuk mendapatkan “Nubuwah” (kenabian) dengan alasan sebagai berikut: 

1. Firman Allah: 
"Aatainaahu Rohmatan Min "Indinaa" (Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami). 
Yang dimaksud Rahmat di sini adalah Nubuwah (rahmat kenabian) dengan dalil Firman Allah :  
"Ahum Yaqsimuuna Rohmata Robbik” (Apakah  mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu). QS. 43/32. 
2. Firman Allah : 
"Wa „allam naahu min ladunnaa 'Ilman" (dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami). 
Menunjukkan bahwa Allah telah mengajari hamba itu dengan tanpa perantara seorang pengajar dan menunjukinya tanpa perantara seorang petunjuk. 

Beliau berkata: "Barang siapa mendapatkan ilmu dari Allah tanpa perantara seorang pengajar, yang demikian itu disebut Nubuwah. karena pengetahuan itu, terlebih kepada urusan yang ghaib, tidak mungkin bisa didapatkan kecuali adalah wahyu". 

Dengan dalil firman Allah : 
"Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu". (QS. as-Syuura : 51). 
3. Diriwayatkan ketika Musa as. bertemu Khidhir as. dan menyampaikan salam kepadanya,
Khidhir menjawab : “Salam juga untukmu wahai Nabi Bani Isra'il”. 
Musa as. bertanya: "Siapa yang menunjukkan ini kepadamu ?",  
Dia menjawab: "Yang mengutusmu datang kemari". 
Dengan itu menunjukkan bahwa Khidhir as. adalah seorang Nabi, karena tidak mungkin seseorang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali melalui wahyu. (Tafsir Fahrur-rozi) Inilah ayat kunci itu. 

Ayat tersebut menampilkan sosok yang menjadi simbol adanya "Ilmu Laduni", yaitu sosok yang terlebih dahulu mendapatkan rahmat Allah baru kemudian ilmu-Nya. 

Yang dimaksud "rahmat sebelum ilmu" adalah ilmu pengetahuan yang didasari rahmat Allah Ta‘ala yang memancar dari hati seorang hamba, bukan ilmu yang hanya didasari dengan akal saja, terlebih lagi nafsu dan hawanya. 

Oleh karena itu, Ilmu Laduni tersebut selalu terbit secara aktual dan aplikatif. 

Ilmu itu mampu menjawab setiap kejadian dengan pandangan yang menyejukkan banyak orang. Yang demikian itu akan menampakkan tanda-tanda, diantaranya: 

1) Ilmu pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan yang universal dan "rahmatan lil alamin", artinya: Ilmu pengetahuan yang kemanfaatannya secara umum mencakup kepentingan seluruh makhluk, baik manusia maupun jin. Bukan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. 

Dan secara khusus akhirnya kembali untuk kepentingan hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kapada-Nya. Atau untuk mengajak manusia ke jalan Allah Ta‘ala: 
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami". (QS. al-A‘raaf : 156).  
Kalau pelaksanaan ilmu pengetahuan ternyata hanya membuahkan perpecahan diantara sesama manusia lebih-lebih sesama orang yang beriman. Atau hanya untuk kepentingan mencari sumber hidup dan sandang pangan, maka bukan ilmunya yang harus dipersoalkan, tapi yang mendasarinya, barangkali di dalam hati pemiliknya masih ada yang perlu mendapatkan pembenahan. 

Hal itu disebabkan, karena dalam hati manusia itu boleh jadi sebagai tempat hidayah Allah dan juga boleh jadi sebagai tempat sarang setan menebarkan fitnah di dalam kehidupan. 

2) Ilmu pengetahuan yang menjadikan hati seorang hamba mudah memaafkan kesalahan orang lain : 
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.  
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.  
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya. (QS. Ali Imran : 159).
3) Ilmu pengetahuan yang mampu membangun semangat persaudaraan sehingga menciptakan komunitas manusia yang mampu mengabdi kepada Tuhannya : 
"Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran : 159). 
Oleh karena yang mendasari ilmu itu adalah rahmat Allah, maka dimana-mana ilmu itu akan menciptakan kedamaian dan persaudaraan, bukan ilmu yang menciptakan perselisihan dan perpecahan. 

Ilmu yang mengantarkan pemiliknya dicintai Allah Ta‘ala dan dicintai seluruh makhluk-Nya, bukan ilmu yang menjadikan pemiliknya dibenci Allah Ta‘ala. 

Kalau orang dibenci manusia karena suatu hal, tetapi dia juga dicintai manusia karena hal yang lain, lebih - lebih bila pihak yang mencintai lebih besar daripada pihak yang membenci "di dalam kehidupan di dunia" yang demikian itu wajar terjadi.  

Sebab, tidak mungkin orang dicintai orang lain kecuali terlebih dahulu terbit dari dibenci, demikian juga sebaliknya tidak mungkin orang dibenci orang lain kecuali terbit dari dicintai. 

Allah memberikan sinyalemen dengan firman-Nya : 
"Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam.  
Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup.  
Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (QS. Ali Imran : 27).  
Demikian itu adalah sunnatullah yang tidak akan mengalami perubahan lagi untuk selama - lamanya, sehingga "dengan Ilmu Laduni yang sudah dimiliki" seorang hamba menjadi kenal kepada segala sunnah yang ada tersebut. 

Maka, orang tersebut tidak menjadi benci sebab kebencian makhluk dan tidak menjadi cinta sebab kecintaan makhluk, dia semata-mata hanya mencintai seluruh makhluk karena dia telah mencintai Penciptanya. 

Sehingga sosok Khidhir itu digambarkan oleh hadits diatas sebagai berikut : 

"Dinamakan Khidhir karena, sesungguhnya ketika dia duduk di daratan bumi yang putih, ketika ia bergerak maka bumi atasnya tampak hijau". 

Walhasil, dengan Ilmu Laduni, seorang hamba akan mendapatkan penerimaan yang baik, baik oleh seluruh makhluk, "di muka bumi" karena kecintaannya telah membuahkan cinta pula, maupun oleh Allah Ta‘ala "di dunia dan di akhirat" karena pengabdiannya telah mendapatkan penerimaan yang baik di sisi-Nya. 

Dengan itu akhirnya orang tersebut akan mendapatkan pungkasan hidup yang baik (husnul khotimah) yang akhirnya akan mengantarkan dirinya mendapatkan ridho Allah Ta‘ala dan bahagia untuk selama-lamanya di Surga. Insya Allah. 

Meneruskan ayat : 
Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?".  
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?".  
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun". 
Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".  (QS. 18 : 65-70).

READ MORE - Pencerahan Spiritual Dari Perjalanan Tahap Pertama

Hikmah Perjalanan Tahap Pertama Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.

Hikmah Perjalanan Tahap Pertama  Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Hikmah Perjalanan Tahap Pertama  Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.
Perjalanan tahap pertama ini, yaitu tahap pencarian seorang murid untuk menemukan guru pembimbing (mursyid) dalam rangka meningkatkan kualitas ilmu yang sudah dimiliki. 

Perjalanan dua karakter tersebut (karakter Musa dan karakter Khidhir) hendaklah dijadikan sebagai i‘tibar dan muqoddimah dari sebuah perjalanan spiritual yang akan dilakukan. 

Perjalanan tersebut sebagai dasar yang harus diketahui, dijadikan kajian dan landasan oleh seorang salik untuk menjadi bekal bagi usaha dan tahapan pencarian yang berikutnya. 

Ilmu yang sudah dimiliki adalah ilmu teori, sedangkan ilmu yang dicari adalah penerapan ilmu itu dalam menghadapi kejadian yang aktual secara aplikatif, baik untuk urusan vertikal maupun horizontal.  

Tahap pertama ini, seorang murid harus mampu melaksanakan beberapa hal: 

1) Niat yang kuat dan bekal secukupnya. 

Seorang salik harus meninggalkan dunia yang ada di sekitarnya, mengadakan perjalanan panjang mencari guru mursyid untuk belajar Ilmu Laduni darinya, hal itu dilakukan semata atas petunjuk dan hidayah Allah Ta‘ala. 

Oleh karena tahap ini adalah tahap awal, maka terkadang datangnya petunjuk tersebut boleh jadi melalui mimpi-mimpi yang benar, karena mimpi yang benar adalah empat puluh lima persen bagian dari alam kenabian. 

2) Perjalanan itu adalah perjalanan antara dua dimensi ilmu pengetahuan
"Hai Musa, Aku dengan ilmu dari ilmu Allah yang mengajarkannya kepadaku tapi tidak diajarkannya kepadamu sedangkan engkau dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah mengajarinya kepadamu akan tetapi tidak diajarkannya kepadaku". 
Ilmu Nabi Musa adalah ilmu syari‘at sedangkan ilmu Nabi Khidhir adalah ilmu hakikat

Hakikat perjalanan itu adalah bentuk pelaksanaan "thoriqoh" (perjalanan spiritual) yang harus dijalani oleh seorang salik

Sebab, tanpa pelaksanaan thoriqoh mustahil seorang hamba dapat menemukan apa-apa yang dicari dalam hidupnya. 

3) Ada tempat pertemuan yang ditentukan, yaitu tempat pertemuan antara dua samudera ilmu pengetahuan. 

Itulah titik klimaks sebuah proses peningkatan tahapan pencapaian secara ruhaniyah, dimana saat itu hati yang sudah lama mati "berkat mujahadah yang dijalani" kadang-kadang menjadi hidup lagi. 

Adalah suatu saat, ketika kondisi seorang seperti dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar bahkan sedang tidur, atau kesadaran itu sedang diliputi oleh sesuatu padahal sesungguhnya dalam keadaan sadar : 
"Ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya". Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar". (QS. anNajm : 16-18).
4) Tujuan yang jelas ialah; dengan ilmu syari‘at yang sudah dimiliki, Nabi Musa ingin mendapatkan ilmu hakikat melalui Nabi Khidhir

Yang demikian itu adalah hakikat pelaksanaan "tawasul secara ruhaniyah" dari seorang murid kepada guru mursyidnya, supaya sampainya harapan kepada Allah Ta‘ala melalui guru mursyid (Nabi Khidhir as.). 

Sebab, yang dinamakan "Ilmu Laduni" itu adalah ilmu yang didatangkan dari Allah Ta‘ala bukan dari makhluk-Nya, maka fungsi guru adalah bagaimana seorang murid dapat menemukan sumber Ilmu Laduni tersebut yang ada dalam hatinya sendiri. Jalannya, yaitu melaksanakan mujahadah yang dijalankan bersama. 

5) Bahwa sesungguhnya, seperti juga ilmu Nabi Musa, ilmu Nabi Khidhir adalah hanya sebagian kecil daripada ilmu Allah Ta‘ala yang maha luas; 

Air yang ada di paruh burung itu ibarat ilmu yang telah dikuasai seluruh makhluk di alam ini sedangkan air di seluruh samudera adalah ibarat ilmu Allah dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala hakikat perkara.  

6) Fungsi Nabi Khidhir adalah sebagai guru pembimbing (guru mursyid) supaya seorang murid (Nabi Musa as.) mendapatkan Ilmu Laduni yang diharapkan dari Tuhannya. 

Yang demikian itu, betapapun Ilmu Laduni adalah ilmu yang didatangkan dari Allah Ta‘ala langsung di dalam hati seorang hamba, tapi cara mendapatkannya haruslah melalui sebab bimbingan manusia, bahkan dari sebab diwarisi guru mursyidnya.  

Konkritnya, sumber Ilmu Laduni yang diharapkan dapat terbuka di dalam hati seorang salik tersebut, haruslah dibuka berkat rahasia-rahasia (sir) hati seorang hamba yang hubungannya dengan pusat sumber ilmu itu telah terlebih dahulu terbuka. 

Maksudnya, hati manusia tidak mungkin mendapatkan "futuh" (terbukanya pintu hati untuk menerima Ilmu Laduni serta rahasia ma‘rifatullah) kecuali melalui "futuh guru mursyidnya". 

Allah Ta‘ala mengisyaratkan yang demikian dengan firman-Nya:
"Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong". (QS. al-Isro‘ : 80). 
dan firman-Nya : 
"Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam hambahamba-Mu yang saleh". (QS. an-Naml : 19). 
dan firmanNya: 
"Hai jiwa yang tenang - Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah di dalam hamba-hamba-Ku - dan masuklah ke dalam surga-Ku". (QS. al-Fajr : 27-30)
Sekarang kita mengikuti ayat-ayat tersebut di atas (al-Kahfi ayat 60 s/d ayat 82) secara tafsiriyah: 

"Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun - tahun * Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu * Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" * Muridnya menjawab : "Tahukah  kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu  tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu  mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh  sekali." * Musa berkata : "Itulah (tempat) yang kita  cari".  Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak semula". (QS. 18/60-64). 

Allah SWT. mengabarkan kepada Nabi Musa as. perihal orang Alim ini, Nabi Khidhir as. tapi tidak menunjukkan dengan jelas dimana tempat tinggalnya berada. Yang demikian itu supaya Nabi Musa as. mampu mencarinya sendiri. 

Seperti itu pula yang dialami para Ulama‘ terdahulu dalam menuntut ilmu kepada gurunya. 

Sebagai seorang murid mereka harus siap menghadapi segala konsekuensi yang ditimbulkan akibat usahanya dalam rangka mencari ilmu dari gurunya. 

Mereka melaksanakan perjalanan jauh mendatangi tempat gurunya dengan berjalan kaki. 

Hal itu kemudian mampu membentuk kesiapan mental ruhani yang dapat mempermudah menyerap ilmu dari guru-gurunya.  

Ini adalah ujian pertama yang harus dijalani, Nabi Musa as. kemudian menjawab tantangan itu dan berkata: "Aku tidak akan berhenti mencarinya sampai batas pertemuan dua lautan atau bila perlu akan aku habiskan waktu dan usiaku hingga aku dapat menemuinya". 

Ini adalah kesanggupan yang sangat luar biasa dari seorang Nabi Bani Isra‘il yang utama itu, Beliau meninggalkan dunia rame dan umatnya, siap melaksanakan pengembaraan dan menjalani penderitaan yang bagaimanapun beratnya. 

Yang demikian itu mengandung pelajaran: Bahwa dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan, meski hanya untuk mencari "suatu penyelesaian" dari satu permasalahan saja, seseorang harus rela melakukan perjalanan dari arah barat ke arah timur umpamanya, yang demikian itu adalah hal wajar. 

Firman Allah SWT. yang menunjukkan kesanggupan seorang murid yang luar biasa itu dalam rangka "mencari guru" tersebut ialah: 
(Laa abrohu sampai. au amdhiya huquban). lafad. “laa abrohu”,
 artinya tidak berhenti-henti mengikuti jarak tempat atau dimensi ruang. adapun lafad “au amdhiya huquban” artinya tidak berhenti-henti mengikuti dimensi zaman. 

Jadi, arti pernyataan Nabi Musa as. itu adalah sebagai berikut: "Meskipun bumi sudah terlewati tapi belum juga dia menemukan orang yang dicari itu, maka umurnya yang akan dihabiskan di dalam perjalanan itu". 

Itu mengandung suatu pelajaran bahwa untuk mendapatkan Ilmu Laduni orang harus mempunyai kemauan yang sangat keras. Seakan-akan bila perlu seluruh kesempatan dan seluruh umurnya dipertaruhkan untuk itu. 

Firman Allah Ta’ala :
"Majma'al bahroini", (pertemuan antara dua lautan). 

Kalau perjalanan yang dilaksanakan itu perjalanan darat di alam lahir, maka pertemuan  antara dua lautan itu barangkali adalah pertemuan antara laut Paris dan laut Roma. 

Namun jika yang dimaksud perjalanan itu adalah pengembaraan ruhaniyah seorang hamba kepada Tuhannya, maka pertemuan dua lautan itu adalah batas antara lautan alam akal dan lautan alam hati/ruhaniyah, atau batas antara rasio dan rasa atau batas pertemuan antara ilmu syari‘at dan ilmu hakikat

Di dalam batas pertemuan dua alam itulah "Potensi Interaksi Ruhaniyah" antara dua alam dapat terkondisi dan rahasia-rahasia Ilmu Laduni mulai dapat dicermati, karena disitulah tempat pertemuan antara dua sosok tersebut, sosok Musa dan Khidhir sebagai sosok karakter bukan sebagai sosok personal. 

Karakter-karakter itu harus mampu menjadi karakter dirinya terlebih dahulu. 

Dengan dasar karakter Musa (ilmu syari‘at yang kuat), seorang salik harus menempuh perjalanan ruhaniyah—dengan Thoriqoh yang dijalani, sampai menemukan titik kulminasi antara dua karakter tersebut, menuju karakter Khidhir (ilmu hakikat) yang luasnya bagai samudera yang tidak bertepi. 

Adalah perjalanan dan pengembaraan ruhaniyah yang harus dijalani seorang salik, menempuh segala rintangan dan tantangan, menyelesaikan segala tahapan pencapaian. 

Dari pengalaman perjalanan spiritual tersebut, dengan izin Allah Ta‘ala seorang salik mampu menemukan rahasia sumber Ilmu Laduni

Oleh karena itu, seorang santri dituntut tidak harus pandai membaca kitab kuning saja, tapi lebih dari itu. 

Setelah dia menguasai kitab-kitab kuning tersebut "yang dipelajari di Pondok pesantren" dengan baik, para santri itu harus menempuh suatu perjalanan ibadah dengan terbimbing. 

Mereka harus menjalankan thoriqoh mengikuti guru mursyid yang suci lahir batin lagi mulia. 

Menyelesaikan tahapan-tahapan pencapaian dengan bimbingan gurunya, baik secara lahir (jasmaniyah) maupun batin (ruhaniyah). 

Mengamalkan ilmu syari‘at yang sudah dimiliki untuk membentuk karakternya menjadi karakter Khidhir. Karakter seorang hamba yang mampu berma‘rifat kepada Tuhannya.  

Kalau tidak demikian, maka ilmu membaca kitab kuning tersebut, boleh jadi tidak dapat membuahkan kemanfaatan yang berarti. 

Bahkan karena sudah bertahun-tahun hidup dalam gemblengan alam pondok pesantren yang khusus, setelah kembali kepada masyarakat umum yang alamnya berbeda, yang bisa diperbuat para alumnus santri itu terkadang hanya ketidak mengertian. 

Mengamalkan ilmu kepada masyarakat umum ternyata jauh lebih sulit daripada mencarinya

Bahkan seringkali mereka akhirnya terjebak dengan salah paham. 

Orang lain yang latar belakang kehidupannya berbeda harus sama dengan dirinya, kalau tidak, berarti orang tersebut dianggap salah.  

Akibatnya, ilmu-ilmu yang disampaikan kepada masyarakat kurang mendapatkan penerimaan yang baik. Ilmu itu hanya membuahkan kebingungan yang berkepanjangan bagi masyarakatnya. 

Demikianlah yang terjadi dalam fenomena, sehingga kebanyakan alumni pondok pesantren tersebut "di lingkungan masyarakat yang heterogen" kadang-kadang kurang mendapatkan tempat yang terhormat di hati masyarakatnya.  

Bukannya mereka gagal mendapatkan ilmu saat digembleng di ponpes (kawah candradimuka), tapi penerapan ilmu yang sudah dimiliki kepada masyarakat umum dan awam adalah membutuhkan perangkat ilmu lagi, untuk itulah Ilmu Laduni dibutuhkan. 

Karena dengan rahasia ilmu laduni yang sudah dimiliki, seorang hamba akan mendapatkan transfer ilmu pengetahuan yang aktual dan aplikatif secara berkesinambungan sesuai yang dibutuhkan umat saat itu. 

Dengan demikian, para Kyai muda itu akhirnya dapat diterima di masyarakatnya dengan penerimaan yang baik. 

Bukannya ilmu membaca kitab kuning itu tidak berguna bila diterapkan kepada masyarakat umum, akan tetapi kualitas cara menyampaikannya harus lebih ditingkatkan. 

Manakala isi kitab kuning itu dapat disampaikan dengan cara yang arif dan penuh "rahmatan lil alamin", maka bagaikan mata air yang tidak berhenti memancarkan air, seorang santri akhirnya menjadi Ulama‘ yang disegani di tengah masyarakatnya. 

Karena kitab-kitab kuning itu "hasil jerih payah Ulama salaf yang mulia" adalah bagaikan gudang perbendaharaan ilmu yang tidak mungkin dapat habis untuk selama-lamanya. 

Apabila ilmu kitab kuning itu dipadukan dengan penguasaan rahasia Ilmu Laduni dalam hatinya, maka hasil karya yang utama itu akan menjadi relevan sepanjang zaman. 

Namun sebaliknya, apabila penguasaan karakter Khidhir tanpa didasari penguasaan karakter Musa dengan kuat, maka manusia cenderung berbuat semaunya sendiri karena telah merasa benar sendiri. 

Mereka menjadi sembrono dan cenderung meninggalkan syari‘at. Seperti, sering kali timbulnya pernyataan di masyarakat: "Kalau sholat itu untuk dzikir (ingat) kepada Allah, seperti firman-Nya: "Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (QS. Toha : 14)., maka, menurut mereka, kalau sudah dapat ingat kepada Allah, mengapa harus melaksanakan sholat lagi..?". 

Yang demikian itu karena penguasaan ilmu hakikat tanpa dilandasi penguasaan ilmu syari‘at yang kuat. 

Memang benar, tanpa mampu meninggalkan syari‘at, orang tidak mungkin dapat merasakan manisnya hakekat, karena syari‘at itu ibarat kulit dan hakekat itu adalah isinya. 

Seperti contoh makan durian misalnya, orang yang mau makan buah durian bukannya harus meninggalkan buah durian, tapi melepaskan tangannya dari kulit durian untuk mengambil buahnya. 

Jadi, untuk merasakan hakekat sholat itu tidak dengan meninggalkan sholat, tetapi melepaskan kulitnya sholat supaya orang dapat menikmati isinya sholat. 

Apabila amal ibadah yang dilakukan salik tersebut tanpa mendapatkan bimbingan seorang guru mursyid yang ahlinya, maka bisa-bisa mereka malah mengaku sebagai guru mursyid padahal tidak pernah berguru kepada seorang guru mursyid secara lahir dan langsung. 

Katanya mereka berguru dari hasil mimpi-mimpi, yang tentunya kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.  

Akibatnya, keberadaan mereka dimana-mana selalu membuat fitnah di tengah masyarakatnya, karena statemen (pernyataan) yang disampaikan selalu membingungkan orang lain. 

Selanjutnya, sebagaimana yang marak sekarang, aliran sesat berkembang dimana-mana. 

Kalau yang demikian itu dampaknya tidak segera diantisipasi dengan cermat, maka penyakit tersebut akan cepat menyebar di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya dapat merusak aqidah masyarakat yang kurang kuat. 

Sebagai umat Muhammad saw., pelaksanaan sholat "baik yang wajib maupun yang sunnah" adalah tanda-tanda dan ukuran yang mutlak, apakah pola pikir dan jalan hidup seseorang itu benar atau tidak, bahkan orang dinilai sebagai orang Islam atau orang Kafir hanya dilihat dari melaksanakan sholat atau tidaknya. 

Meskipun seseorang telah mendapatkan kelebihan-kelebihan seperti karomah para waliyullah umpamanya, kalau dia meninggalkan sholat dengan sengaja berarti orang tersebut telah tersesat jalannya. Orang itu telah terjebak tipu daya setan yang terkutuk dan kelebihan-kelebihan itu hanyalah "istidroj" belaka. 

Sebab, seluruh para Nabi dan para Rasul serta para Waliyullah melaksanakan sholat, bahkan Rasulullah Muhammad saw.—sebagai panutan umat manusia sepanjang zaman, beliau melaksanakan sholat berjama‘ah lima waktu bersama para Sahabatnya yang mulia

Ilmu Laduni itu tidak selalu identik dengan kelebihan-kelebihan (karomah), tapi dengan apa yang sudah didapatkan, baik ilmiyah, amaliyah maupun karomah, dengan itu bagaimana seorang hamba dapat mengenal (ma‘rifat) kepada Tuhannya. 

Oleh karena itu, pelaksanaan thoriqoh yang benar adalah kebutuhan yang mutlak adanya, supaya seorang salik mampu mendapatkan Ilmu Laduni yang diharapkan.

READ MORE - Hikmah Perjalanan Tahap Pertama Nabi Musa as. dan Nabi Khidhir as.

Perjalanan Nabi Musa as. Mencari Nabi Khidir as. (Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua)

Perjalanan Nabi MUSA as.  mencari Nabi KHIDHIR as. ( Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua )
Perjalanan Nabi MUSA as.  mencari Nabi KHIDHIR as. ( Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua )
Perjalanan Nabi Musa as. dengan Nabi Khidhir as., telah diabadikan Allah Ta‘ala di dalam Al-Qur‘an al-Karim. 

Sungguh yang demikian itu bukan hanya sekedar menjadi ilustrasi al-Qur‘an dengan tanpa ada makna dan tujuan yang berarti, sebagaimana buku komik dan novel, tidak!. 

Al-Qur‘an tidaklah demikian, namun jauh lebih dari itu, yaitu supaya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi umat Nabi Muhammad saw. 

Peristiwa sejarah yang sudah lama ghaib itu, apabila tidak dimunculkan di dalam "kitab suci yang terjaga" ini maka barangkali tidak ada seorang pun mengetahuinya lagi. Terlebih kita umat Muhammad saw. yang hidup entah berapa ratus tahun setelah peristiwa tersebut terjadi.  

Hal itu tidak lain, supaya peristiwa sejarah itu dapat dijadikan bahan kajian yang mendalam, bahwa ternyata di dalam kehidupan ini ada dua jenis ilmu pengetahuan dan dua jenis alam yang harus dikuasai dan diketahui manusia. 

Ilmu lahir dengan alamnya dan ilmu batin juga dengan alamnya. 

Dengan penguasaan itu supaya manusia menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). 

Dengan ilmu lahir supaya lahir manusia menjadi mulia demikian pula dengan ilmu batin, supaya batin manusia itu juga menjadi batin yang mulia.  

Untuk mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam (Ilmu Laduni), satu-satunya jalan adalah dengan cara beri‘tibar, (percontohan) demikianlah Al-Qur‘an telah memberikan contoh: 
"Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al-Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia". (QS. Ar-Rum : 58).  
Oleh karena itu, pintu pertama dan utama untuk memahami Ilmu Laduni itu adalah pintu iman (percaya). 

Apabila pintu yang satu itu sudah tidak terbuka, maka siapapun jangan berharap dapat memanfaatkan segala keterangan yang ada:  
"Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka". (QS. ar-Rum: 58).
Yang demikian itu karena hati telah terkunci mati oleh kekafirannya sendiri:  
"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami".  (QS. ar-Rum : 59).  
Seperti itu pula terhadap setiap uraian tentang Ilmu Laduni, apabila orang sudah tidak mempercayai keberadaan ilmu itu, maka apapun yang sudah tertulis dalam buku ini sedikitpun tidak akan membawa manfaat baginya. 

Sebab, yang sudah tertulis ini, dan semacamnya tentang Ilmu Laduni, hanyalah sekedar keterangan sebatas teori yang harus ditindaklanjuti dengan amal perbuatan, sedangkan "Ilmu Laduni" adalah "buah" dari amal perbuatan tersebut, mana mungkin orang bisa memetik buah tanpa berusaha menanam tanaman dengan bersungguh-sungguh ….. ?. 

Di dalam surat al-Kahfi, dengan dua puluh dua ayat, yaitu mulai ayat No: 60 sampai dengan ayat No: 82, peristiwa sejarah itu diperankan dua tokoh sentral, Nabi Musa dan Nabi Khidhir, sebagai gambaran sosok yang telah menjiwai ilmunya masing-masing.  

Supaya perjalanan ibadah (thoriqoh) yang ditekuni seorang salik mampu membuahkan hasil yang disebutkan sebagai Ilmu Laduni, dua karakter tokoh sentral tersebut, yakni karakter Musa dan karakter Khidhir harus dipertemukan dengan pelaksanaan amal, hasil yang diharapkan supaya dapat membuahkan suatu jenis "pemahaman hati" sebagai buah ibadah. 

Pemahaman hati itulah yang dinamakan Ilmu Laduni. 

Adapun ayat kunci dari sumber kajian itu adalah firman-Nya : 
"Yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya Ilmu dari sisi Kami". (QS. al-Kahfi : 65). 
"Khidhir as." adalah seorang Nabi tapi bukan Rasul. Alasannya, karena tidak mungkin seorang Nabi (Nabi Musa as.) berguru kecuali kepada seorang Nabi pula. 

Dalam pembahasan Ilmu Laduni ini "supaya pembahasan lebih bersifat universal" kedua sosok tersebut ditampilkan sebagai sosok karakter, bukan sosok personal. 

Sebab, sebagai sosok personal boleh jadi para pelaku sejarah itu sudah lama meninggal dunia, kecuali Nabi Khidhir as, yang konon menurut banyak pendapat, beliau tidak mati. 

Sehingga, cerita-cerita tentang pertemuan seorang yang hidup pada zaman sekarang dengan Nabi Khidhir as. "sebagai sosok personal" kesannya hanya bernuansakan mistik atau mitos yang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Namun dengan ditampilkan sebagai sosok karakter, pelaku sejarah itu, bahkan siapapun akan menjadi hidup untuk selama-lamanya. 

Bagaikan mutiara-mutiara yang terpendam hakikat Ilmu Laduni itu harus ditemukan oleh para salik di dalam peristiwa sejarah itu. 

Makanya, hanya dengan ilmu, iman dan amal, mereka tertantang untuk mampu menggalinya dengan benar. 

Banyak jebakan dan ranjau yang ditebarkan di sana, tanpa guru pembimbing ahlinya, sulit rasanya seorang salik mampu menemukan mutiara yang dirahasiakan itu. 

Diawali dengan tekat bulat serta perbekalan yang cukup. Nabi Musa as. seorang Rasul dan seorang Nabi yang telah mendapatkan banyak kelebihan-kelebihan dari Allah Ta‘ala, baik berupa ilmu dan amal serta derajat dan kemuliaan dengan rendah hati melaksanakan petunjuk Tuhannya. 

Dengan susah payah Beliau menindaklanjuti petunjuk itu, mengadakan perjalanan panjang yang tidak jelas arah tujuannya. 

Hanya dengan mengikuti isyarat yang telah didapatkan, Nabi Musa datang kepada Nabi Khidhir untuk menuntut ilmu kepadanya.  

Menurut suatu riwayat, suatu saat Nabi Musa as. "ketika baru saja menerima Kitab dan berkata-kata dengan Allah" beliau bertanya kepada Tuhannya: 

"Siapakah kira-kira yang lebih utama dan lebih berilmu tinggi selain aku" ?. 

Maka dijawab: "Ada, yaitu hamba Allah yang berdiam di pinggir laut, bernama Khidhir as". 

Di dalam hadits riwayat imam Bukhori dan Muslim, dari Abi bin Ka‘ab ra. telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: 
"Ketika suatu saat Nabi Musa berdiri berkhothbah di hadapan kaumnya, Bani Isra‘il, salah seorang bertanya: "Siapa orang yang paling tinggi ilmunya", Nabi Musa as. menjawab: "Saya". 

Kemudian Allah menegur Musa dan berfirman kepadanya, supaya Musa tidak mengulangi pernyataannya itu; 
"Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan antara dua samudera, adalah seorang yang lebih tinggi ilmunya daripada kamu". 

Nabi Musa as berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa menemuinya". 

Tuhannya berfirman: 
"Bawalah ikan sebagai bekal perjalanan, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, maka di situlah tempatnya'. 
Kalimat Hadits dari Imam Bukhori. "Tafsir Qurthubi" 
Di dalam riwayat yang lain disebutkan, disaat Nabi Musa as. munajat kepada Tuhannya, beliau berkata: 
"Ya Tuhanku, sekiranya ada diantara hambaMu yang ilmunya lebih tinggi dari ilmuku maka tunjukilah aku". 
Tuhannya berkata: "Yang lebih tinggi ilmunya dari kamu adalah Khidhir", 
Nabi Musa as. bertanya lagi: "Kemana saya harus mencarinya?", 
Tuhannya menjawab: "Di pantai dekat batu besar", 

Musa as. bertanya lagi : "Ya Tuhanku, aku harus berbuat apa sehingga aku dapat menemuinya ?", 

Maka dijawab: "Bawalah ikan untuk perbekalan di dalam keranjang, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, berarti Khidir itu berada disana". 

Kemudian Musa as. berkata kepada muridnya: "Apabila ikan itu hidup lagi, kamu segera beritahukan kepadaku".   
Berangkatlah mereka berdua dengan berjalan kaki. 

Ketika sampai di suatu tempat, di sebelah batu besar, Nabi Musa istirahat dan tertidur, ikan tersebut bergerak hidup dan meloncat ke laut. Tapi sang murid lupa melaksanakan pesan gurunya. 

Kemudian mereka meneruskan perjalanan, setelah sampai waktunya makan sore, Nabi Musa mencari perbekalannya, muridnya baru ingat pesan tersebut dan menceritakan kejadian ikan yang hidup lagi dan meloncat masuk ke laut dengan cara yang menakjubkan. 

Itulah tempat yang mereka tuju, maka kembalilah mereka berdua, dengan mengikuti tapak tilas perjalanan, mencari dimana ikan tersebut masuk ke laut.   

Setelah sampai di tempat yang dituju, keduanya bertemu dengan seorang laki-laki. 

Musa menyampaikan salam dan laki-laki itu menjawab.  

Musa kemudian mengenalkan diri dan menceritakan tujuan perjalanannya. 

Kemudian Nabi Khidhir as. menjawab :
"Hai Musa, Aku dengan ilmu dari ilmu Allah yang ِAllah mengajarkannya kepadaku tapi tidak diajarkan kepadamu sedangkan engkau dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah mengajarinya kepadamu akan tetapi tidak diajarkan kepadaku" . 
Kemudian mereka, Musa dan Khidhir berangkat mengadakan perjalanan bersama. 

Ketika naik perahu, mereka melihat seekor burung mencari makanan di laut, burung itu memasukkan paruhnya di air kemudian terbang lagi. 

Khidhir as. berkata: 
Hai Musa, ilmumu dan ilmuku jika dikumpulkan dengan seluruh ilmu makhluk yang ada di alam semesta ini, dibandingkan dengan ilmu Allah tidaklah lebih besar daripada air yang ada di paruh burung itu dibandingkan dengan air yang ada di seluruh samudera ini. 

Air yang ada di paruh burung itu ibarat ilmu yang telah dikuasai seluruh makhluk di alam ini sedangkan air di seluruh samudera adalah ibarat ilmu Allah dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala hakikat perkara". 
"Tafsir Qurthubi"

READ MORE - Perjalanan Nabi Musa as. Mencari Nabi Khidir as. (Contoh Ilmu Laduni Yang Kedua)

Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki

Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki
Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki 

Firman Allah Ta‘ala: 
"Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an, Dia menciptakan manusia* Mengajarinya Al-Bayan ". (QS. ar-Rahman : 1-4). 
Untuk menafsirkan ayat-ayat di atas (surat ar Rahman : 1-4), marilah kita menggunakan bahasa secara tafsiriyah, yakni cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an yang banyak digunakan oleh para Ulama ahli tafsir terdahulu.  

Surat ini dibuka dengan lafad "Ar-Rahman". Artinya : Tuhan yang Maha Pemurah. 

Ar-Rahman adalah salah satu nama Allah SWT. dari nama-Nya yang sembilan puluh sembilan. 

Nama tersebut adalah satu-satunya nama yang tidak diberikan juga kepada siapapun dari makhluk-Nya. 

Tidak seperti nama-nama-Nya yang lain, Ar-Rahim misalnya, ar-Rahim adalah nama-Nya yang juga diberikan-Nya sebagai nama Rasulullah SAW. Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : 
"Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu‘min ". (QS. at-Taubah : 128). 
Kata dasar ar-Rahman adalah Rahmat, dengan ayat ini (ar-Rahman – Allamal Qur‘aan. QS. 55:1-4). berarti secara tidak langsung Allah telah menyatakan, bahwa tujuan yang paling utama diturunkan Al-Qur‘an kepada hamba-Nya adalah sebagai karunia dan rahmat dari-Nya, dan dengan rahmat-Nya pula, Allah Ta‘ala akan memberikan kemudahan - kemudahan kepada orang beriman, baik untuk menghafalkan al-Quran maupun memahami ayat - ayat-Nya: 
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?".(QS. al-Qomar : 17. 
Adapun ayat berikutnya adalah "Allamal Qur'aan" (mengajarkan Al-Qur'an), berarti pula bahwa rahmat dan karunia Allah yang terbesar adalah dengan diajarkannya Al-Qur'an kepada umat manusia.  

Ayat selanjutnya adalah, "Kholaqol insaana Allamahul Bayaan" (menciptakan manusia dan mengajarinya al-Bayan). 

Ayat ini mengandung suatu pengertian: Bahwa al-Qur'an sudah diajarkan sejak sebelum manusia diciptakan. Yakni pertama kepada malaikat Jibril baru kemudian diajarkan kepada Rasulullah saw. 

Adapun yang dimaksud dengan al-Bayan adalah cara memahaminya secara perincian (tafsil). 

Itu menunjukkan bahwa salah satu keutamaan yang diberikan kepada manusia yang melebihi pemberian kepada makhluk lain ialah, bahwa Allah Ta‘ala akan memudahkan manusia untuk memahami ayat-ayat Al-Qur‘an. 

Yang demikian itu berarti pula, dengan sarana ayat-ayat tersebut manusia mendapatkan potensi untuk berinteraksi dengan Allah" :
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu".(QS. al-Baqaroh:152). 

Jadi, yang dimaksud dengan Al-Qur'an (di dalam ayat ini) adalah memahami secara global dan al-Bayan adalah memahami secara perinciannya.  

Kalau al-Bayan dikaitkan dengan al-Insan, maka artinya, setelah secara global Al-Qur‘an diajarkan kepada malaikat Jibril kemudian secara rinci Al-Qur‘an itu diajarkan kepada manusia melalui malaikat Jibril. 

Sedangkan yang dimaksud al-Insan (di dalam ayat ini), secara khusus adalah Rasulullah Muhammad saw dan secara umum adalah seorang hamba dari umatnya yang mendapat rahmat dariNya: 
"Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan  oleh  Tuhan semesta alam - Dia dibawa  turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) - Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah  seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan". QS. asy-Syu‘ara‘ : 192-194). 

Firman Allah, "Allamal Qur'aan": Lafad "Allama", apabila dikaitkan dengan (ayat) pembukaan surat sebelumnya, yaitu surat Al-Qomar "Wansyaqqol Qomar" (bulan telah terbelah), dapat diambil suatu pengertian bahwa, selain terbelahnya bulan sebagai mu‘jizat Nabi Muhammad saw., Al-Qur‘an juga adalah mu‘jizat beliau pula, bahkan Al-Qur‘an adalah mu‘jizat yang terbesar.  

Arti mu'jizat terbesar itu adalah, bahwa saat itu, melalui terutusnya Rasul Muhammad saw. Allah SWT. menurunkan rahmat dan karunia terbesar-Nya kepada seluruh makhluk. 
"Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al- Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka?. Sesungguhnya dalam (Al- Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman'. (QS. al-Ankabut : 51). 
Yaitu dengan diajarkan-Nya Al-Qur'an al-Karim, pertama kepada Malaikat Jibril kemudian kepada Rasulullah dan selanjutnya akan diwariskan kepada Ulama‘ pilihan dari umatnya sampai akhir zaman. 
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". (QS. Fathir : 32). 
Al-Qur‘an itu diajarkan sebagai "Rahmatan Lil 'alamin". Rahmat bagi alam semesta.  

Apabila ayat ini dikaitkan dengan pembahasan tentang Ilmu Laduni, maka "rahmat" itulah sebagai tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya, merupakan yang pertama dan utama. 

Adanya Rahmat Ilahiyah tersebut sebagai syarat mutlak supaya seorang hamba mendapatkan kemudahan untuk dapat memahami makna Al-Qur‘an al-Karim.  

Untuk itu, barang siapa berkeinginan membangun sebab-sebab untuk didapatkannya suatu akibat yang berupa warisan ilmu Al-Qur‘an (Ilmu Laduni), orang tersebut terlebih dahulu harus berusaha mendapatkan "rahmat" yang utama itu. 

Hal tersebut dilakukan dengan jalan berusaha mencintai dan dicintai Allah swt.  

Caranya: 

Hendaklah seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan amalan tambahan (sunnah) sampai Allah mencintai dirinya, (sebagaimana yang telah diuraikan dalam buku Tawasul), atau dengan cara yang telah dinyatakan Allah dengan firman-Nya berikut ini: 
"Katakanlah : ―Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,  ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir".  (QS. Ali-Imran. : 31-32). 
Maksud ayat, bahwa tanda-tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah Ta‘ala akan terbaca dari kemampuannya dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. 

Dalam arti, bersungguh-sungguh mengikuti jejak "Uswatun hasanah" tersebut, baik ilmu, amal, perjuangan dan pelaksanaan "akhlakul karimah", sampai Allah mencintainya. 

Ketika Allah sudah mencintai hamba-Nya, maka dosa-dosa hamba tersebut akan diampuni-Nya. 

Selanjutnya, dengan terhapusnya dosa tersebut, berarti hijab-hijab seorang hamba akan terhapus pula sehingga hatinya akan menjadi seperti kaca bersih yang setiap saat siap mengadakan "interaksi nuriyyah" dengan Tuhannya. 

Dengan interaksi itu seorang hamba akan berpotensi untuk mendapatkan "sumber Ilmu Laduni" secara sistematis melalui pewaris-pewarisnya. 

READ MORE - Ilmu Laduni Adalah Buah Cinta Yang Hakiki

Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )

Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )
Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )

Berkaitan urusan pribadi yang terjadi pada diri Rasul Muhammad saw., suatu saat Allah Ta‘ala berfirman kepadanya: 
"Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan". (QS. an-Nahl : 127)
Ibnu Zaid berkata: "Ayat ini adalah menghapus ayat-ayat perang". Sedangkan Ulama‘ Jumhur berpendapat: "Itu adalah pelaksanaan ilmu hikmah". 
Artinya sabarlah terhadap kesalahan mereka dengan memberi pengampunan. Artinya, jangan kejahatan dibalas dengan kejahatan". (Tafsir Qurthubi)  

Maksudnya, tidak bersedih dan tidak sempit dada terhadap kejahatan orang-orang yang belum mau beriman adalah bukan sesuatu yang dapat dimengerti secara teori rasional ilmiah saja, tapi juga yang dirasakan di dalam hati, itulah yang dimaksud sabar

Orang sudah mengetahui dan memahami ayat ini, bahwa dia harus bersabar terhadap kejahatan orang-orang yang memusuhinya, tidak boleh bersedih dan sempit dada, namun penerapan sikap hati tersebut tentunya tidak semudah mengetahuinya.  

Betapapun seseorang telah pandai memberi nasehat kepada orang lain tentang teori sabar misalnya, namun ketika dirinya sendiri yang terkena musibah, orang tersebut belum tentu mampu berbuat bersabar menghadapi musibahnya itu. 

Seperti itulah gambaran pemahaman tentang Ilmu Laduni

Maksudnya, disamping yang dimaksud Ilmu Laduni itu harus diketahui secara teori ilmiah, namun hakekat "Ilmu Laduni' adalah merasakan keadaan hati yang dinamakan sabar itu, yaitu kemampuan diri dalam menerima keadaan yang tidak bersesuaian dengan kemauan hatinya sendiri.  

Yakni kemampuan hati untuk meredam gejolak nafsu angkara murka, menahan panasnya bara kemarahan dan mematikan api dendam, atas kesakitan yang diakibatkan oleh sebuah kejahatan yang diperbuat oleh orang lain kepada dirinya. 

Oleh karena matahatinya telah mampu melihat pahala yang telah dijanjikan di balik kesakitan yang sedang dihadapi itu, maka dia mampu berbuat sabar dalam menghadapinya. 

Selanjutnya, ketika Ilmu Laduni telah diturunkan di dalam hati "sebagai pahala sabar yang dijalani" ilmu itu akan meresap di dalam rongga dada. 

Turunnya Ilmu Laduni itu bagaikan turunnya air hujan dari langit mengguyur kobaran api kebakaran. 

Saat itu, disamping orang tersebut mengetahui bahwa ada air diturunkan dari langit, juga hawa panas yang sedang membakar hatinya seketika menjadi sirna dan nikmat kesejukan air hujan segera meresap dan menyelimuti suasana.  

Oleh karena itu, muasal penyebab terbitnya sumber Ilmu Laduni itu seringkali tidak didapatkan oleh seseorang dari hasil membaca dan mendengar, tetapi muncul dari balik rahasia dan hikmah musibah dan fitnah yang datang. 

Ilmu Laduni itu kemudian terbit di dalam hati, ketika matahati seorang hamba telah mampu menyikapi fitnah dan musibah itu dengan sudut pandang yang benar dan tepat.  

Manakala orang hanya pandai berbicara dan menasehati orang lain tentang sabar saja misalnya, padahal dirinya sendiri ternyata tidak mampu berbuat sabar ketika mendapatkan musibah seperti musibah yang datang kepada orang yang dinasehati itu. 

Yang demikian itu berarti orang tersebut telah berbuat sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah Ta‘ala : 
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa - apa yang tiada kamu kerjakan". (QS. ash-Shof/ : 3).  
Oleh karenanya, sabar itu hanya bisa terlaksana manakala seorang hamba selalu merasa dekat kepada Allah Ta‘ala :
Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan Allah. (QS: 16 : 127). 
Itu bisa terjadi, karena cemerlangnya Nur Ma‘rifat, ketajaman matahati di dalam bermusyahadah dan keyakinan yang kuat di dalam memahami "kasih sayang Allah Ta‘ala", yang merupakan "tarbiyah" yang diturunkan-Nya setiap saat kepada dirinya, akan menjadi bagaikan benteng yang kokoh yang dapat membentengi rasional dari segala keraguan yang datang. 

Sehingga hatinya selalu selamat dari prasangka buruk dan salah, meski dia sedang menghadapi keadaan yang bagaimanapun beratnya. 

Selanjutnya, ketika rahasia hikmah kejadian tersebut telah terkuakkan, maka seketika rasional menjadi paham. 

Yang demikian itu, bagaikan orang menggali tanah untuk mencari sumber air, ketika sumber air itu telah ditemukan, maka sejak saat itu dia tidak akan kekurangan air lagi untuk selamanya. 

Sejak Ilmu Laduni itu memancar dari dalam hati seorang hamba, hati itu akan menjadi seperti sungai yang ada mata airnya. 

Meski musim kemarau panjang sedang melanda, sedikitpun sungai itu tidak pernah kekurangan air. Atau seperti pelita di dalam kaca kristal yang sumbunya berminyak; "yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api" QS. an-Nur/24. 

Pelita itu akan memancarkan sinar meski sumbunya tidak pernah lagi dibasahi minyak. 

Yang demikian itu bisa terjadi, karena rahmat Allah lebih dahulu diturunkan sebelum pemahaman "rahasia di balik rahmat yang diturunkan di dalam bilik akal dan pikir itu" dapat dipahami. 

Setelah itu, maka pemahaman tersebut akan menjadi bagaikan tambang ilmu yang tidak pernah berhenti memancar, meski terkadang kesempatan untuk membaca dan mendengarkan sudah tidak dapat terkondisikan lagi.  

Bahkan terkadang Ilmu Laduni yang terbit dalam hati itu sedikitpun belum pernah tertulis dalam buku dan kitab yang ada. Berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman yang aktual dan aplikatif. 

Hasil dari perpaduan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat yang mampu menjadi solusi persoalan yang sedang terjadi. 

Hal itu bisa terjadi, karena ketika kitab - kitab tersebut sedang ditulis, keadaan yang terjadi itu memang belum pernah dimunculkan oleh zaman.  

Seperti yang demikian itulah, maka Al-Qur‘an al-Karim diturunkan kepada Baginda Nabi saw. dengan cara berangsur-angsur. 

Wahyu Allah itu diturunkan ayat demi ayat dengan mengikuti proses perkembangan keadaan dan zaman, ayat-ayat tersebut kemudian menjadikan solusi dari setiap terjadi tantangan dan kesulitan.  

Al-Qur‘an diturunkan selama dua puluh tiga tahun selama masa terutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, tidak diturunkan secara sekaligus dalam sebuah kitab sebagaimana kitab-kitab langit selainnya yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terdahulu. 

Hal tersebut bertujuan, supaya ayat-ayat itu dapat meresap di dalam hati sanubari Beliau. 

Selanjutnya dari resapan itu akan memancarkan Nur kepada alam semesta melalui pelaksanaan akhlakul-karimah yang agung,  "rahmatan lil alamiin", sehingga Beliau saw. mendapatkan pengakuan Allah Ta‘ala dengan persaksian sebuah ayat: 
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS. al Qalam : 4).   
Ketika ditanyakan kepada sayidatina  "Aisyah ra., istri Nabi tentang akhlak Nabi saw., Aisyah menjawab: "Akhlaknya adalah Al-Qur‘an". (al-Hadits). 

Itulah Nabi yang Ummi, pelopor dan penemu kunci rahasia Ilmu Laduni yang agung, sehingga beliau menjadi ikutan manusia sepanjang zaman.  

Ummi artinya tidak dapat membaca dan menulis. Demikianlah Allah Ta‘ala menghendaki yang terjadi dalam diri Manusia yang Paling Utama itu. 

Supaya ilmu yang masuk di dalam bilik akal Beliau benar-benar terjaga dari pengaruh dari luar (makhluk) :
"Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)- - Sebenarnya, Al- Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayatayat Kami kecuali orang-orang yang zalim". (QS. al-Ankabut : 48-49). 
Yang demikian itu untuk menguatkan risalahnya. Seandainya Beliau pernah belajar kapada orang lain, berarti derajat guru akan melebihi tingkat derajat murid, yang demikian itu tidak mungkin terjadi pada diri Rasulullah saw. 

Sebab tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengungguli tingkat derajat beliau di sisi Allah Ta‘ala. Bahkan seluruh kemuliaan yang ada di alam semesta ini hanyalah disebabkan karena mendapat pancaran dari Nur kemuliaan Baginda Nabi saw. "Nur Muhammad SAW.". 

Hal itu terbukti, bahwa dasar ajaran yang diajarkan Beliau kepada manusia seribu empat ratus tahun lebih yang lalu itu, ternyata sampai sekarang masih relevan untuk menerangi zaman, sehingga dimana saja di belahan bumi ini, ajaran itu mampu melahirkan seorang anak zaman yang utama. Yaitu kholifah-kholifah bumi zamannya yang mulia.  

Hal itu disebabkan, karena ilmu, amal dan pelaksanaan akhlak yang mulia dari para kholifah bumi itu "seperti juga para pendahulunya" telah mampu menjadi penerang bagi kehidupan umat manusia sepanjang zaman; 
"Dan bukankah yang asalnya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia" .(QS. al-An‘am : 122).  
Makanya, dimana saja mereka berada, "anak zaman" itu selalu menjadi pemimpin manusia yang multi guna. 

Hal itu disebabkan, karena "Nur Cinta" telah disambut dengan nur cinta pula, sehingga melahirkan "nur cinta" lagi : 
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki". (QS. an-Nur : 24). 

READ MORE - Nur Muhammadiyyah ( Contoh Pertama Ilmu Laduni )