Memahami Karamah Waliyullah |
Allah SWT memiliki para wali (waliyullah) yang berasal dari hamba-hamba-Nya yang paling shalih dan ta’at kepada-Nya.
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya, mereka memerintah dan melarang atas dasar perintah dan larangan Allah.
Dengan demikian mereka diberi karamah (kemuliaan) oleh Allah Yang Maha Pengasih.
Pemahaman karamah ada yang memandang maksudnya kepada keramat seseorang yakni adanya hal-hal yang luar biasa, ada pula yang memandang sesuai dengan arti lafdzi-nya yaitu mempunyai kemuliaan dari Allah.
Sejak zaman dahulu, sebagian orang meyakini adanya hal-hal yang luar biasa pada sebagian orang shalih (para waliyullah) dan meyakini pula bahwa mereka ini mempunyai kedudukan istimewa di sisi Allah.
Keberadaannya yang mendatangkan berkah tersebut karena mereka merupakan panutan umat manusia dan memberi penerangan kepada umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah dan rasul-Nya.
Oleh karena itu eksistensi (keberadaan) waliyullah itu mendatangkan berkah (memberi manfaat) kepada orang - orang di sekitarnya.
Mengenai karamah, yang terkenal (masyhur) di kalangan umat Islam bahwasanya untuk mengetahui seseorang sebagai waliyullah adalah dengan melihat adanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang luar biasa (alwaqi’at).
Padahal sebetulnya hal itu tidaklah mutlak adanya, karena tidak setiap waliyullah mempunyai perbuatan yang luar biasa.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa yang menentukan seseorang itu menjadi waliyullah adalah dari segi keimanan dan ketakwaannya kepada Allah (QS. 49:13).
Para ulama berbeda pendapat tentang adanya karamah (dalam arti perbuatan yang luar biasa) bagi waliyullah.
Sebagian para ulama membenarkan adanya karamah tersebut. Demikian pula sebagian kecil orang Mu’tazilah, sebagian besar ulama-ulama Asy’ariyah, dan golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyetujui (membenarkan) adanya karamah bagi waliyullah.
Sedangkan yang mengingkari karamah tersebut adalah kebanyakan dari ulama Mu’tazilah, Abu Ishak al-Asyfariyini, dan Al Ghulami (seorang pengikut Asy’ari).
Menurut Syekh Ibrahim al Bajuri bahwasanya golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah membenarkan adanya karamah para waliyullah yang merupakan mumkinul wujud (hal yang mungkin terjadi).
Demikian pula menurut para imam yang empat (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbali), mereka mengatakan bahwasanya para waliyullah itu mempunyai karamah
Dalil yang menerangkan tentang karamah waliyullah adalah kisah Maryam yang diurus dan dididik oleh Nabi Zakariya dengan baik.
Pada setiap Nabi Zakariya masuk ke Mihrab Maryam selalu ada hidangan (makanan), dan setiap Nabi Zakariya bertanya kepada Maryam : “Dari mana datangnya makanan itu?” Maryam menjawab bahwa makanan itu datangnya dari Allah.
Dan mengambil dalil tentang kisah Nabi Sulaiman AS, ketika seorang ahli ilmu dapat memindahkan istana Ratu Balqis dalam sekejap mata. Serta dalil yang menerangkan tentang kisah Ashabul Kahfi.
Para ulama yang tidak mengakui adanya karamah bagi waliyullah (selain nabi) beralasan bahwa apabila waliyullah mempunyai karamah dan nabiyullah mempunyai mu’jizat maka akan menimbulkan keraguan tentang keadaannya itu, apakah hal tersebut karamah atau mu’jizat; padahal kedua-duanya merupakan sama-sama perbuatan yang luar biasa.
Menurut Prof. Thahir Abdul Mu’in, bahwasanya alasan yang dikemukakan para ulama yang tidak mengakui karamah tersebut kurang tepat.
Hal ini karena yang dinamakan mu’jizat itu apabila nampak pada manusia perlu disertai dengan pengakuan sebagai utusan Allah dari orang yang mempunyai mu’jizat tersebut.
Sedangkan waliyullah itu tidak disertai pengakuan dirinya sebagai utusan Allah, karena dia bukan nabiyullah dan rasulullah.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa setiap nabi dan rasul itu kekasih Allah, oleh karena itu setiap nabi dan rasul adalah waliyullah.
Dengan demikian kemuliaan para nabi dan rasul lebih tinggi derajatnya dari pada kekasih Allah selain mereka.
Untuk itu Abu Zahrah berkomentar bahwa tidak ada dalil aqli dan naqli yang mencegah kejadian yang luar biasa pada sebagian hamba Allah.
Barang siapa melihat hal semacam itu pada sebagian orang, maka hendaklah ia mempercayainya namun tidak boleh mengkultuskannya.
Menurut Ali Ibnu Usman al-Hujwiri bahwa karamah bisa dianugerahkan kepada seorang waliyullah selama ia tidak melanggar kewajiban-kewajiban hukum agama.
Karamah semacam itu sudah ditakdirkan oleh Allah, dan pengejawantahannya tidak bertentangan dengan prinsip agama.
Karamah waliyullah yang bersifat bathiniyah adalah terbuka baginya hal-hal yang ghaib atau samar (al-mukasyafat).
Baik para nabi atau para waliyullah, dikarenakan mereka terbuka dan jelas atas keadaan sesuatu maka hati mereka itu penuh dengan cahaya (nurullah).
Hal itu disebabkan zuhud terhadap dunia dan terbebas dari ikatan dunia. Dengan demikian hatinya telah hampa dari kesibukan dunia yang fana dan dirinya telah bersedia menerima segala ilham Tuhan.
Menurut keyakinan kaum sufi bahwa para tokoh sufi yang sudah mencapai derajat waliyullah berarti Tuhan telah menjadikan mata-Nya untuk melihat, telinga-Nya untuk mendengar.
Mereka telah mendapat berkah yaitu kemuliaan yang istimewa sehingga mereka dapat berhubungan dengan alam ghaib, Malaikat, dan alam Jin.
Jadi dari pengertian di atas, tokoh-tokoh sufi yang telah mencapai tingkat waliyullah akan memiliki ilmu ghaib (ilmu laduni).
Dan keadaannya itu merupakan rahmat Allah sehingga hujan turun, manusia diperbanyak, bumi ditumbuhi tanam-tanaman, dan dengan sebab do’a mereka maka terhindar dari bala dan malapetaka.
Imam al-Syaukani berkomentar, bahwasanya tidak dapat dipungkiri hal-hal yang terjadi pada kekasih Allah seperti adanya mukasyafah yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Masalah ini telah diungkap sendiri oleh Rasulullah SAW., seperti diterangkan dalam hadits berikut :
“Yahya bin Qaza’ah telah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim bin Sa’id dari bapaknya dari Abi Salamah dari Abu Hurairah berkata : ‘Bersabda Rasulullah SAW. : Sesungguhnya telah ada pada umat-umat sebelum kalian orang-orang yang dapat meberitahukan jarak waktu yang akan datang, maka apabila ada hal tersebut dalam umatku seorang seperti mereka maka ia adalah Umar” (HR. Bukhari).
Seseorang yang memperoleh kasyf namun tidak memiliki bukti alasan syari’at maka kasyf-nya itu masih merupakan tuhmah (kecurigaan) karena dikhawatirkan sebagai cobaan dari Allah.
Untuk itu orang yang diperlihatkan kepada rahasia-rahasia manusia dengan dia belum berperilaku kasih sayang (ulfah) ketuhanan, maka kasyf-nya itu merupakan ujian atas dirinya.
Perlu diingatkan, sebaiknya kita tidak langsung mengikuti untuk mempercayai omongan orang yang mengatakan bahwa si Fulan waliyullah yang dapat berbuat istimewa begini dan begitu yang menakjubkan.
Akan tetapi kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang ketakwaan dan akhlak orang tersebut. Karena tidak ada waliyullah yang tidak mengerjakan syari’at Islam.
Dalam hal ini menurut H. Abdul Qadir Jaelani menyebutkan bahwa orang yang berhak mendapat ilmu ghaib hanyalah orang yang mempunyai gelar “nabi dan rasul”. Selain nabi dan rasul walaupun sudah mencapai tingkat waliyullah tidak diberi hak untuk mendapatkannya.
Pendapatnya ini didasarkan pada firman Allah surat al-Jin ayat 26 dan 27 :
“(Dia) mengetahui yang ghaib, maka tiadalah dilahirkan-Nya yang ghaib itu kepada seorang jua pun. Kecuali kepada orang yang disukai-Nya di antara rasul, maka sesungguhnya Allah memasukan (mengadakan) beberapa penjaga (malaikat) di hadapan rasul itu dan dibelakangnya”.
Blog : Surau Tingga || Judul : Memahami Karamah Waliyullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar