Pembentukan Nilai-nilai Akhlak


Pembentukan Nilai-nilai Akhlak

Sebagaimana dipahami, bahwa dalam Ilmu Akhlak dibahas ukuran suatu kebahagiaan, keutamaan, kebijaksanaan, keindahan dan sebagainya.

Dalam kaitan ini nilai-nilai akhlak sangat mempengaruhi hal-hal itu. Demikian pula dalam pembentukannya dapat dipengaruhi dari unsur internal seseorang atau pun unsur eksternalnya.

Kita ketahui, setiap agama memiliki nilai-nilai akhlak dan karakteristik yang membedakannya dengan agama lain.

Tidak dapat diragukan lagi di dalam Islam juga terdapat nilai-nilai akhlak tertentu yang menjadi kewajiban bagi para pemeluknya untuk bersikap toleran terhadap agama lain dalam hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Islam adalah agama yang berlandaskan kemuliaan, kemurahan hati dan pilantropi (saling menyayangi antar sesama manusia).

Pikiran yang sempit, ketamakan, dan kekikiran merupakan sifat-sifat buruk yang dapat menggoncangkan sendi-sendi agama.

Oleh karena itu dikehendaki para pengikutnya bermurah hati dan berbaik hati. Sangat dianjurkan untuk memperlakukan orang lain dengan ramah, bertindak penuh ketakwaan, menolong dan melakukan segala kebaikan.

Islam telah menyatakan bahwa kutukan dan caci maki, saling melempar kata-kata kasar dan cabul merupakan perbuatan yang sangat diharamkan.

Banyak sekali bentrokan-bentrokan sering terjadi karena kehormatan seseorang diserang. Demikian pula terjadinya huru hara karena masing-masing saling melempar tuduhan dan saling mencari kesalahan.

Tanggung jawab sepenuhnya atas dosa yang rendah ini adalah orang yang pertama yang mengobarkan api, kemudian orang-orang yang mengikuti dan mendukungnya.

Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa penyebab utama saling mengutuk dan mencaci adalah orang pertama yang memulainya, kecuali orang kedua melewati batas (HR. Muslim).

Cara untuk menghindarkan diri dari racun yang berbahaya ini adalah dengan toleransi dan kesabaran yang dapat mengatasi kemarahan dan kekasaran, dan sikap mau memaafkan orang lain (wal ‘afina ‘aninnas).

Tidak diragukan lagi, manakala kepribadian seseorang, keluarga dan teman-temannya diserang, dan membuatnya menderita, sementara ia mempunyai alat serta sumber untuk membalasnya, maka ia ingin menjadi pemenang dengan segera dan tidak berhenti sebelum puas melampiaskan dendamnya.

Berkaitan dengan karakteristik nilai-nilai akhlak yang harus dimiliki seorang muslim, ada beberapa hal yang termasuk dalam kategori sifat-sifat ini yaitu:

1) Seorang yang selalu beriman dan bertakwa bila ditimpa kemiskinan, maka dalam hubungannya dengan Allah SWT ia selalu diliputi berbagai suasana dan keadaan yang mulia seperti kerelaan, qonaah, kesabaran, wara’, dan bergantung hanya kepada Allah.

Ia pun akan beroleh karunia-Nya yang disebut luthf atau althaf Ilahiyyah seperti keridhaan, kedekatan kepada-Nya, pertolongan dan support berupa ketabahan dan kesabaran.

Luthf adalah Kelembutan dan kasih sayang dan Althaf Ilahiyah adalah Kasih sayang Ilahi yang menjaga seseorang dari terperosok dalam dosa-dosa atau tertimpa berbagai bencana, dan atau meredam dampak bencana yang telah menimpa.

Dalam hubungannya dengan sesama manusia, ia selalu berhasil menyembunyikan penderitaannya dan tampak ceria dihadapan mereka. Dan mereka senantiasa bersikap baik sangka (husnu al-dzonn) kepada Allah, demikian pula mereka memandang bahwasanya Allah SWT mengarahkannya ke jalan orang - orang yang baik hamba-hamba pilihan-Nya.

2) Selama manusia dalam keadaan beriman, bertakwa, dan ber-ihsan, Allah SWT memberikan anugrah kekayaan (kecukupan) dan keluasan rizki baginya.

Sifat-sifat yang meliputinya senantiasa mengabdi kepadaNya dan menggunakan hartanya untuk kemaslahatan.

Allah berfirman dalam Surat At Talaq Ayat 2 dan 3

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar (dalam menyelesaikan masalah). Dan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.

Di dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa takwa merupakan pokok dari segala urusan di sisi Allah dan dengan takwa itu diperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dan orang yang menyerahkan urusannya serta memasrahkan kebebasannya kepada Allah SWT, maka Dia akan mencukupinya dalam hal yang menyulitkannya di dunia dan akhirat.

Maksudnya hamba (kekasih Allah) itu mengambil sebab-sebab yang dijadikan Allah termasuk sunnah-sunnah-Nya dalam kehidupan ini dan menunaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya, kemudian menyerahkan urusannya kepada Allah dengan sebab-sebab yang tidak diketahuinya dan tidak dapat ia capai pengetahuannya.

Untuk lebih jelasnya bahwa orang yang senantiasa menjaga ketakwaannya itu pasti Allah memberi kemudahan dalam masalah urusannya, hal ini disebutkan di dalam firman Allah dan surat  Al-Fath Ayat 4

Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

3) Bila mendapatkan kesehatan dan keselamatan, orang yang mempunyai nilai akhlak mulia senantiasa bersyukur kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh dalam mencari keridhaan-Nya dan menggunakan kesehatan dan kekuatannya itu dalam ketaatan kepadaNya. Ia pun akan memperoleh balasan dari Allah SWT berupa keridhaan dan kemuliaan.

Demikian pula orang lain menilainya dengan menunjukkan rasa hormat dan memuji atas segala amal shalihnya serta kesungguhannya dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

4) Bila seseorang itu menderita sakit, ia tetap ridha, sabar, pasrah atas kehendak Allah, dan hanya mengharap pertolongan dari-Nya.

Dengan demikian Allah melimpahkan kepadanya ridha, dan inayah serta kekuatan agar merasa tenang dan tentram.

Orang beriman dan bertakwa meyakini bahwa Allah SWT menggiring penyakit itu kepadanya semata-mata untuk menjadi kaffarah dan penambah pahala yang akan meninggikan derajatnya atas kehendak-Nya.

Kaffarah  adalah suatu pembayaran atau perbuatan untuk menghapus kesalahan atau dosa. Penyakit yang diterima dengan sabar oleh seorang mu’min dapat menghapus dosa - dosanya dan mensucikannya kembali.

Bagi orang yang beriman dan bertakwa, Allah menjanjikan bagi orang tersebut hilangnya ketakutan dan kekhawatiran seperti dinyatakan dalam Al - Qur'an surat Al Baqarah ayat 38,

Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku maka akan lenyap segala ketakutan (khauf) dan kesusahan (huzn).”

Demikian pula disebutkan dalam surat Yunus ayat 62,

ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan atas mereka dan tiada pula kesusahan.”

Untuk lebih jelasnya Allah berfirman  dalam surat Al Fath ayat 4

Allah SWT. yang menurunkan ketentraman di dalam hati orang- orang mu’min supaya mereka bertambah imannya beserta iman mereka (yang sudah ada). Dan kepunyaan Allah tentara yang ada di langit dan di muka bumi; dan bahwasanya Allah itu Maha Mengetahui dan Bijaksana.”

Oleh karenanya hati (perasaan) orang mu’min itu stabil dan keadaannya tenang walaupun orang lain mencelanya (QS. Al Maidah ayat 54).

Hal ini karena mereka  itu senantiasa ingat kepada Allah “ketahuilah, dengan ingat kepada Allah maka hati manusia menjadi tenang-tentram”.

5) Berusaha untuk senantiasa beramal salih.

Amal salih ini mempunyai pengertian yang luas, baik yang berhubungan dengan Tuhan atau yang bertalian dengan sesama manusia, diri sendiri dan alam semesta.

Juga berkaitan dengan keikhlasan (bersih dari riya). Bentuk amal salih itu bermacam-macam, bisa berupa pemberian harta benda, tenaga, pikiran, dan tingkah laku, atau berupa ucapan nasihat yang baik demi kemaslahatan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari.

Dalam hal ini antara iman dan amal salih itu tidak bisa dipisahkan. Hamba Allah yang senantiasa beriman dan beramal salih akan terhindar dari menderita kerugian, memperoleh ampunan dosa dan pahala yang cukup, mendapat kehidupan yang baik, dan tiada merasa ketakutan dan duka cita.

6) Bersikap tawakkal kepada Allah dalam berusaha dan ikhtiar.

Pengaruh tawakkal terbukti dalam gerak-gerik seseorang, berusaha keras dengan segala kemampuan dan pengetahuannya, supaya tujuannya tercapai.

Gerak-gerik seseorang selalu mengikuti apa yang terlintas dalam hati, usaha seseorang dengan ikhtiar dan kemauannya, adakalanya untuk mendapatkan manfaat mempertahankan manfaat yang telah dimiliki, atau menolak bahaya yang mungkin datang menimpanya.

Dalam Al-qur’an disebutkan, dalam menentukan sikap dari kebijaksanaan nabi Muhammad melaksanakan musyawarah dengan para sahabat. Setelah mempunyai kemauan yang bulat barulah bertawakkal kepada Allah dalam melaksanakannya.

Tawakkal kepada Allah merupakan kunci kemenangan. Oleh karena itu cukuplah Allah sebagai penolong.

7) Tulus ikhlas dalam beriman dan bertakwa.

Al-Qur’an menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah adalah amal yang dikerjakan dengan niat ikhlas hendak  mencari ridha-Nya.

Selanjutnya keikhlasan bersabar dan memohon kepada Allah tidak hanya ketika dilanda kesulitan saja, melainkan juga dalam masa senang dan lapang.

Keikhlasan dalam bekerja biasanya dapat dibuktikan dengan pelaksanaan yang sungguh-sungguh, sehingga pujian dan terima kasih manusia tidak menjadi tujuan atau mempengaruhi tujuan.

Oleh karenanya para waliyullah dalam beramal, sebagai bukti keimanan dan ketakwaannya mereka mengharapkan keridhaan Allah, bukan balas jasa dan ucapan terima kasih dari manusia. Demikian pula dalam beribadah kepada Allah Rabbul ‘alamin senantiasa dikerjakan dengan tulus ikhlas.

Tulus ikhlas dalam beriman dan bertakwa itu disamping mematuhi dinullah yang disampaikan dengan perantaraan para rasullulah, juga mematuhi sunnatullah.

Setiap orang yang beriman belum tentu bertakwa, namun setiap orang yang bertakwa pasti dia beriman. Dalam hal ini nilai tinggi rendah kemuliaan dan kehormatan seorang manusia pada sisi Allah diukur dengan ketakwaannya.

Orang yang bertakwa mempunyai mata hati yang tajam, bukan saja dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah juga mempunyai kekuatan lahir dan batin untuk mengatasi berbagai kesulitan. Di sisi lain, keimanan dan ketakwaan seseorang bisa membuka pintu berkah dari langit dan bumi.

Disamping tujuh hal di atas, ada pula karakteristik lain yang termasuk dalam kaitannya dengan pembentukan nilai-nilai akhlak mulia, yaitu:

Pertama, memelihara sifat tawadhu’ dan qana’ah. Manifestasi karakternya itu akan tampak dalam kehidupan bermasyarakat di sekitarnya (sosialisasi).

Oleh karena itu pelaksanaan nilai-nilai terlihat pada kehidupan yang penuh kasih sayang, bermurah hati, dan cenderung untuk mengajak kebenaran (ma’ruf) dan melarang kemunkaran. Berkenaan dengan masalah ini, Ali bin Husain berkata:

Orang yang  mengeluarkan hartanya karena diminta, tidak termasuk bermurah hati. Yang disebut bermurah hati adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah atas kemauan niat sendiri dan ta’at kepada-Nya, tanpa tekanan ataupun harapan untuk ucapan terima kasih”.

Pembentukan nilai-nilai akhlak mulia dapat ditampilkan dengan sifat pemurah, suka memberi, dan sanggup menanggung segala resiko untuk kemaslahatan. Demikian pula hal itu bermakna manis muka, memberi yang terbaik, serta menahan segala gangguan.

Oleh karenanya sebagai orang yang bertakwa selayaknya tidak mempunyai sifat kedurhakaan, keingkaran, kemunafikan, sikap suka menentang, kedzaliman, dan akhlak-akhlak lain yang semacamnya.

Kedua, syukur dan ridha atas kehendak Allah. Kedua hal ini merupakan perbuatan yang sangat terpuji karena berhubungan dengan kerelaan hati seseorang dan sikap lapang dada sehingga menimbulkan ketenangan batin bagi yang memilikinya.

Hakikat pembentukan nilai akhlak syukur ada tiga hal, yaitu:

Mengakui segala nikmat yang datang dari Allah, meskipun diterima melalui tangan manusia. Karena hal ini pada hakikatnya manusia digerakkan untuk meneruskan nikmat itu oleh Allah.

Membesarkan syukur atas nikmat yang telah Allah anugerahkan (senantiasa bersyukur kepada-Nya).

Mempergunakan segala nikmat untuk berbuat kebajikan dan kemaslahatan (digunakan untuk beribadah).

Kesimpulannya, orang yang bertakwa tidaklah sepatutnya mengandalkan sesuatu selain mencari keridhoan Ilahi, keselamatan diri dan masyarakat serta kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat.

Demikian pula berusaha untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian yang bersemayam jauh di lubuk hati, seraya menjauhkan diri dari dosa-dosa dan segala yang mendatangkan nista.

Dalam hal ini, mereka tidak terlalu mengindahkan siapa pun di antara manusia yang telah disibukkan dengan kepentingannya sendiri dan untuk segala yang mendatangkan kebaikan baginya di dunia.

Oleh karenanya dalam nilainilai akhlak Islami yang ideal senantiasa istiqomah berpegang teguh dengan tali Allah SWT.

Jika nilai-nilai akhlak di atas tekanannya pada kepribadian muslim, maka dalam pembentukan nilai-nilai akhlak dapat dilakukan lembaga-lembaga pendidikan, formal, non-formal, dan informal, bahkan dalam kegiatan lainnya yang dilakukan masyarakat.

Melalui kerja sama yang baik antara tiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif  (pengetahuan), afektif (penghayatan), dan psikomotorik (pengamalan) ajaran yang diajarkan akan terbentuk.

Dalam hubungan ini, faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak minimal ada dua hal, yaitu:

faktor dari dalam (internal) yakni potensi fisik, intelektual, dan hati (rohaniah); dan faktor dari luar (eksternal) yakni lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat sekitarnya.


Blog : Surau Tingga || Judul : Pembentukan Nilai-nilai Akhlak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar